JENDELAISLAM.ID – Ramadhan telah berlalu dan insyaallah akan datang lagi tahun depan. Itu pun jika kiamat belum datang, dan kita masih bisa menjumpainya. Tapi masih ingatkah pelajaran terpenting dari Ramadhan? Jangan sampai karena Ramadhan selesai, maka luruh pula nilai-nilai Ramadhan.
Alangkah meruginya kita jika melupakan begitu saja dan tingkah kita kembali sebelum berjibaku dengan Ramadhan. Padahal, nilai Ramadhan yang tertanam dalam diri bisa berdampak positif pada fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Fisik kita bisa lebih sehat, batin kita juga lebih tenang, kita bisa lebih peka terhadap lingkungan sekitar serta menjadikan kita lebih saleh.
Karena itu, justru perjuangan yang sesungguhnya untuk mengimplementasikan nilai Ramadhan adalah bulan-bulan setelahnya.
Barangkali kalau di bulan Ramadhan, kaum Muslim bisa menahan nafsu makan, minum atau menahan emosi dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari di petang hari, itu sudah biasa lantaran lingkungan memang mengondisikan demikian.
Semua orang kelihatan kesalehannya, tapi itu sudah maklum karena semua mendukung; warung-warung tutup, sajian televisi lebih relijius, kegiatan ngaji semarak, banyak orang bersedekah, berzakat sehingga seperti menuntun orang untuk berbuat baik.
Masihkah nilai-nilai kebaikan itu bisa kita jaga pasca Ramadhan? Masihkah kita menjaga lisan kita? Masihkah kita mampu mengontrol sikap angkuh, serakah, dan sifat-sifat buruk lainnya? Masihkah kita berbuat kebajikan tanpa menunggu/melihat orang berbuat kebajikan dulu? Masihkah ada kesadaran dalam diri untuk tetap peduli kepada sesama? Masihkah kita istiqamah mendekatkan diri kepada-Nya dan masih banyak pertanyaan lain?
Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan bulan-bulan lain menjadi wujud nyata bagi kita untuk mengaktualisasikan kebajikan Ramadhan. Jadikan semua bulan itu seperti bulan Ramadhan, maka segala pengampunan, keberkahan serta rahmat akan terus tercurah kepada kita.
Ketika kita mampu mengontrol keempat elemen (fisik, psikis, sosial serta spiritual) di atas, maka tujuan berpuasa Ramadhan telah mampu kita serap dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, jika kita melupakannya karena menilai bahwa Ramadhan hanyalah mata rantai dari bulan ke bulan, maka tak akan ada perubahan dalam diri kita ke arah lebih baik. Ramadhan di tahun berikutnya tak ubahnya bulan yang sekedar numpang lewat. Dan tentu sebuah kerugian yang amat bagi kita.
Relevansi Ramadhan dengan bulan lain itu di antaranya seperti ditunjukkan agama di bulan Dzulhijjah. Anjuran berkurban (bersifat sosial), shalat Id (spiritual), serta ibadah haji itu sendiri (fisik, psikis, spiritual, dan sosial saat orang meninggalkan salah satu wajib haji yang bisa diganti dengan dam).
Jelas setumpuk nilai tersebut ditujukan agar kita benar-benar memahami substansi Ramadhan.
Berbuat Baik, Jangan sampai Waktumu Dicuri
Hari ini mestinya lebih baik dari hari kemarin, itu salah satu kalimat yang seringkali kita dengar. Petuah ini memang memotivasi kita untuk melakukan kebaikan, jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tetapi dalam tataran praktis, tentu tidaklah sederhana. Pasalnya, kita kerapkali berada di tempat bahkan kubangan yang sama. Kita belum mentas dari kesalahan atau kebiasaan yang kita lakukan. Kita cenderung pragmatis, stag, dan leha-leha begitu saja.
Padahal agama selalu mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairât) untuk senantiasa melakukan kebaikan (amal saleh). Kebaikan tidak hanya berlaku pada waktu-waktu tertentu, tetapi merembet di keseluruhan waktu yang ada. Selagi nyawa masih bersemayam dalam raga kita.
Orang yang tidak mau melakukan kebaikan, seperti disinggung dalam dalam QS. al-Ashr adalah merugi (semua manusia berada dalam kerugian).
Menurut Prof. Quraish Shibab, dalam “Tafsir al-Mishbah”, Allah menggunakan kata “lafi khusrin” (di dalam kerugian), bukan sebatas rugi. Seolah-olah manusia berada dalam wadah kerugian. Nah, supaya tidak termasuk menjadi orang yang merugi, lanjut Quraish, manusia harus bisa keluar dari wadah itu. Caranya adalah dengan beriman, beramal saleh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, sebagaimana sambungan ayat “lafi khusrin”. Semuanya harus dilakukan bersamaan, bukan setengah-setengah.
Surat pendek ini (QS. al-Ashr), jelas Quraish Shihab, menekankan pentingnya manusia untuk menghargai waktu. Jangan sampai lengah dan waktunya dicuri oleh para pencuri waktu.
Maksud pencuri waktu adalah orang-orang yang suka menunda waktu, melakukan kegiatan yang tidak bermanfaat, termasuk juga melakukan sesuatu yang sebetulnya kita mesti tolak, tetapi karena sungkan menolak, hal itu tetap dilakukan.
Sayyidina Ali RA mengingatkan, “Kalau Anda tidak dapat ilmu dan uang hari ini, maka kedua hal itu bisa diperoleh dan diusahakan besoknya, tetapi kalau waktu sudah luput, jangan harap ia akan kembali.”
Kemudian kalimat “Wa amilus shalihati” (dan beramal saleh) dalam al-Quran (al-Ashr) tentunya merujuk pada hal-hal baik yang mesti dilakukan oleh orang beriman, sesuai dengan ajaran Islam. Tidak hanya terbatas pada ibadah ritual (seperti shalat, puasa, zakat), melainkan mencakup segala perbuatan baik yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, serta sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan (tidak melanggar hukum Islam).
“Wa amilus shalihati” adalah pesan yang kuat dalam Islam, mendorong umat Islam untuk tidak hanya beriman, tetapi juga mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Amal saleh adalah bukti nyata dari keimanan yang kuat dan jalan menuju kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.***
Dari Berbagai Sumber & Foto: Pexels/ClickerHappy