JENDELAISLAM.ID – Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Afifuddin Muhajir, menyampaikan ihwal pandangan Islam terhadap tradisi Syawalan di berbagai daerah.
Dia mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Tradisi syawalan adalah wujud rasa syukur kepada Allah atas limpahan rezeki dan karunia-Nya setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta sebagai syukuran di bulan Syawal.
Di berbagai daerah di Indonesia, tradisi Syawalan ini begitu marak. Di Kota Batu Malang, misalnya, ada tradisi Grebeg Kupat, berupa pawai meriah dengan menampilkan gunungan ketupat raksasa dan berbagai hasil bumi dari berbagai daerah di Kota Batu.
Di Solo, ada Grebeg Syawalan, dimana gunungan ketupat diarak untuk dibagikan kepada pengunjung.
Di Karimunjawa, Jepara, warga menyantap bersama hidangan ketupat dan lepet dalam tradisi Kupatan Syawalan di tepi pantai Dusun Legon Cikmas.
Tradisi tersebut rutin digelar serentak di wilayah yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan sepekan setelah Idul Fitri itu sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki serta keselamatan ketika melaut.
Di Kabupaten Rembang, Syawalan dilakukan oleh para nelayan, di mana mereka melarung kapal replika satu pekan setelah Hari Idul Fitri.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi tersebut?
Kyai Afifuddin menjelaskan bahwa ungkapan syukur kepada Allah SWT atas terhindarnya dari marabahaya memang dianjurkan dalam Islam. Karena memang ada nilai kebaikan.
Namun, dia mengingatkan, jangan sampai tradisi tersebut ada unsur tabdzir atau mubadzir terhadap sesuatu yang memiliki nilai harta.
“Syukurnya dianjurkan karena memang baik. Akan tetapi, harus diungkapkan dengan cara yang baik. Kalau ungkapan syukur itu dengan menggunakan satu hal yang tidak baik misalnya membuang-buang sesuatu yang punya nilai harta, jangan sampai terjadi hal seperti itu,” tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (22/4/2024).
Bila ada makanan, lanjut dia, maka makanan itu harus dimakan dan tidak boleh dibuang ke laut. Makanan apa saja. Sebab, menurutnya, membuang sesuatu yang memiliki nilai harta itu dilarang dalam Islam.
Sepanjang tidak mengandung unsur tabdzir atau membuang-buang sesuatu yang memiliki nilai harta, tambah Kyai Afifuddin, tradisi Syawalan boleh-boleh saja.
Kemudian berikutnya, lanjutnya, tidak ada dimensi syirik. “Jangan sampai timbul keyakinan bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan Allah SWT. Itu syaratnya,” pungkasnya.***
Sumber Teks: Republika & Foto: Unsplash/Mufid Majnun
