Akibat Perang, Tradisi Buka Puasa Bersama di Jalanan (al-Dhara) di Sudan jadi Hilang

Orang-orang mengadakan buka puasa Ramadhan bersama di Khartoum, Sudan, 17 Maret 2024. Orang-orang mengadakan buka puasa Ramadhan bersama di Khartoum, Sudan, 17 Maret 2024. (Xinhua)

JENDELAISLAM.ID – Perang antara pasukan militer dan paramiliter Sudan membayangi bulan suci Ramadhan, mengganggu tradisi lama negara itu untuk berbuka puasa bersama di jalanan.

Selama beberapa generasi, keluarga-keluarga di Sudan telah menjalankan “al-Dhara”, sebuah tradisi di mana warga menyiapkan meja berisi berbagai makanan, mengundang tetangga dan orang yang lewat untuk berbuka puasa bersama.

Kata “al-Dhara” sendiri dapat diterjemahkan sebagai “dukungan” atau “perlindungan”, mencerminkan semangat solidaritas dan hubungan sosial yang dibina oleh pertemuan tersebut.

Namun tahun ini, suara tembakan dan bombardir telah menggantikan suasana meriah yang pernah menghiasi acara buka puasa di jalan ini, yaitu jamuan makan malam yang menandai berakhirnya puasa sehari di bulan suci Ramadhan.

“Kami rindu berbuka puasa di jalan. Karena perang, kami berbuka puasa di dalam rumah,” kata Saif-Eddin al-Sanussi, warga lingkungan al-Ingaz di Khartoum.

Al-Sanussi menggambarkan al-Dhara sebagai landasan Ramadhan di Sudan, yang terkait erat dengan tatanan sosial negara tersebut. Ia merujuk pada situasi keamanan saat ini yang marak dengan serangan udara dan penembakan secara acak sehingga membuat warga tidak bisa berkumpul.

Menyikapi hal tersebut, beberapa komunitas beradaptasi dengan kondisi baru tersebut dengan mengadakan acara buka puasa bersama di rumah-rumah pribadi.

“Kami berusaha semaksimal mungkin untuk berkumpul di dalam ruangan dan menghidupkan kembali tradisi buka puasa bersama,” kata Khalil Bushara dari lingkungan al-Azhari.

Meski mengakui keterbatasan yang dihadapi, Bushara menekankan keinginan mereka untuk menjaga keadaan normal.

“Perang telah memaksa kami untuk memindahkan pertemuan Ramadhan ke dalam ruangan. Tempat umum tidak aman,” katanya.

Dampak perang ini tidak hanya sebatas hilangnya al-Dhara saja. Melonjaknya harga pangan dan berkurangnya stok pangan telah memaksa banyak keluarga merayakan Ramadhan dengan lebih sederhana.

Makanan pokok tradisional seperti bubur Asida dan Hulu-murr, minuman berbahan dasar sorgum, masih tersedia di meja makan, namun makanan lain kini menjadi barang mewah.

“Perang telah berdampak pada setiap aspek kehidupan di Sudan,” kata Abdalla Sheikh Idris, peneliti warisan budaya Sudan, yang menambahkan bahwa hilangnya al-Dhara merupakan pukulan besar bagi warisan budaya Ramadhan di negara tersebut.

Idris menuding kesulitan ekonomi akibat konflik menjadi penyebab menurunnya jumlah acara buka puasa di jalan raya.

“Bahkan kebutuhan pokok tidak terjangkau bagi banyak orang. Harga daging naik dua kali lipat, minuman impor tidak tersedia karena pembatasan impor,” ujarnya.

Konflik yang sedang berlangsung, yang meletus pada April 2023, telah menyebabkan jutaan orang mengungsi dan merenggut ribuan nyawa.

Gangguan terhadap al-Dhara merupakan simbol dampak perang terhadap masyarakat Sudan, yang tidak hanya membebani mata pencaharian namun juga struktur tradisionalnya.***

Sumber Teks & Foto: Xinhua