Bagaimana Cara Shalat di Atas Kendaraan Umum bagi Musafir? Inilah Penjelasannya

JENDELAISLAM.ID – Bila Anda naik kereta api malam dari Jakarta menuju Yogya atau Surabaya, katakanlah kereta berangkat jam 20.00 WIB, dalam perjalanan normal akan sampai tujuan masih mendapatkan waktu untuk menunaikan shalat Shubuh. Tetapi karena suatu sebab, KA mengalami keterlambatan sehingga diprediksi sampai di tempat tujuan waktu Shubuh telah lewat.   

Menghadapi problem ini, apa yang akan Anda lakukan? Anda tetap mengerjakan shalat wajib pada waktunya di kendaraan dengan kondisi apa adanya atau memilih mengqadha shalat di tempat tujuan saja karena beralasan bahwa shalat di kendaraan tidak bisa dilakukan sebagaimana mestinya.


Memprioritaskan Tepat Waktu

Shalat di dalam kendaraan ini terkait juga dengan perjalanan jauh. Dalam masalah bepergian, ini ada rukhshah (dispensasi) yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita semua. Bentuk dispensasi tersebut adalah boleh melakukan shalat dengan jama’ dan qashar. Maksudnya Dzuhur dan Ashar dapat digabung pada satu waktu, baik di waktu Dzuhur atau Ashar dengan masing-masing dua rakaat.

Demikian pula shalat Maghrib dan Isya, boleh digabung pada waktu Mahgrib atau waktu Isya’, dan shalat Isya’ boleh diqashar menjadi dua rakaat. Sementara Shubuh tetap harus dikerjakan seperti biasa (tidak ada jama’ dan tidak ada qashar).  

Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hanya saja, kendaraan pada masa Nabi SAW saat bepergian tentunya berbeda dengan zaman sekarang. Kendaraan di masa Nabi SAW berupa hewan tunggangan (unta, kuda, dan lain-lain) sehingga sewaktu-waktu dengan mudah bisa turun untuk melakukan shalat pada waktunya.

Sementara kendaraan zaman sekarang sudah jelas berbeda. Barangkali kalau kita saat bepergian jauh menggunakan naik mobil pribadi atau sepeda motor, kita masih bisa berhenti dan melakukan shalat wajib di mushalla atau masjid sesuai dengan waktunya.

Tapi di dalam kendaraan umum, seperti: kapal laut, pesawat terang, bus atau kereta api, bisa saja terkendala dengan ruang yang terbatas dan tidak bisa seenaknya sendiri turun. Kita belum tentu mendapatkan ruang memadai yang bisa kita gunakan untuk melakukan shalat secara sempurna, selain itu ada faktor lain; seperti goncangan karena pergerakan kendaraan dan belum tentu bisa menghadap kiblat saat kita menjalankan shalat.

Apabila kasusnya seperti dicontohkan di atas, naik kereta dan sudah masuk Shubuh namun diperkirakan sudah habis waktunya ketika sampai di tempat tujuan, maka kita dihadapkan dilema.

Pertama, kita harus menjalankan shalat tepat waktu.

Kedua, harus menjalankan shalat secara sempurna sesuai dengan tuntunan Nabi SAW dimana kita belum tentu bisa memenuhi syarat ini saat berada di dalam kendaraan.

Mari kita lihat satu per satu. Dalil bahwa shalat fardhu harus tepat waktu jelas dinyatakan dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”(QS. an-Nisa: 103).  

Ini berarti siapa saja yang sengaja mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan, maka akan berdosa. Yang bisa dikategorikan halangan di antaranya adalah haidz dan nifas bagi wanita, pingsan, tertidur atau lupa.

Begitu pun dengan shalat secara sempurna merupakan keharusan bagi orang yang sehat. Selagi fisik orang mampu semestinya melakukan shalat dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’, sujud secara normal.  Sedangkan duduk dan isyarat diperbolehkan bagi orang yang sakit.  

Nah, antara shalat tepat waktu dan shalat secara sempurna tatkala berada di atas kendaraan ini bisa dipertemukan. Shalat wajib tetap harus tepat waktu, sedangkan kondisi yang tidak memungkinkan (karena ruang terbatas, tidak bisa terus-menerus menghadap kiblat dan sebagainya) bisa dianalogikan dengan shalatnya orang yang sakit.

Wajib bagi seorang Muslim saat berada di kendaraan, apabila tiba waktu shalat, melaksanakan shalat sesuai kemampuannya. Apabila mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku’ dan sujud, memang seharusnya melakukan demikian.

Sebaliknya bila tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisyaratkan ruku’ dan sujud (dengan membungkukkan badan). Firman Allah SWT, “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. at-Taghabun: 16).

Ada pula sabda Nabi SAW pada Imran bin Husain RA di kala ia sedang sakit, “Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup, maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring” (HR. Bukhari).

Ini senada dengan pendapat Syaikh Hasan Ayyub yang dituangkan dalam buku “Fikih Ibadah”. Syaikh menjelaskan, apabila kita berada di dalam kereta api, pesawat atau kendaraan umum, kita boleh shalat sesuai kemampuan kita. Tapi menurut Syaikh, sebisanya saat takbiratul ihram dalam posisi menghadap kiblat, meskipun selanjutnya menghadap ke arah lain. Apabila tidak memungkinkan, bisa shalat sesuai yang bisa kita lakukan. Demikian pula saat berdiri, ruku’, dan sujud. Orang yang mengalami kondisi ini dikiyaskan dengan orang yang sakit.

Wajib I’adah

Jelas di sini, menjalankan shalat fardhu tepat pada waktunya harus didahulukan sekali pun tidak bisa menjalankan secara sempurna. Sedangkan meninggalkan shalat walau dalam safar lalu mengerjakan bukan pada waktunya tidak ada dalil yang menyebutkannya.  

Namun, meskipun kita sudah melakukan shalat tepat waktu –secara belum sempurna–, tetap ada kewajiban untuk mengulangi shalat (i’adah) begitu menemukan sarana yang memadai untuk shalat secara normal. Karena shalat yang kita lakukan sewaktu di dalam kendaraan tadi pada dasarnya belum memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya.

Misalnya, saat melakukan shalat di kendaraan, kita hanya bisa ruku’, sujud, dengan duduk padahal fisik kita sehat atau kendaraan yang kita naiki arahnya berubah-rubah sehingga tidak menjamin kita bisa menghadap kiblat selama shalat. Shalat yang kita lakukan tadi untuk menghormati waktu shalat (lihurmatil waqti), sebab ada keharusan menjalankan shalat wajib berada dalam waktunya.

I’adah di sini, menurut istilah para fuqaha, adalah menjalankan shalat yang sama untuk kedua kalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama tadi terdapat cacat atau ada shalat kedua yang lebih tinggi keutamaannya.

KH. MA. Sahal Mahfudz, dalam “Dialog Dengan Kyai Sahal Mahfudh (Problematika Umat)”, memetakan i’adah ada yang wajib, tidak wajib, dan sunnah. I’adah yang wajib di antaranya bila kita tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib mengulangi pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa digunakan untuk bersuci.

Dalam konteks ini, shalat di atas kendaraan yang tidak sempurna tadi, apabila kita tiba di tempat tujuan ada kewajiban mengulangi shalat. Pengulangan ini masuk kategori i’adah yang wajib.

Adapun i’adah  yang tidak wajib, seperti orang tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Dan yang terakhir, i’adah sunnah yaitu apabila ada shalat kedua yang lebih utama, seperti orang yang sudah shalat sendirian kemudian melihat ada jamaah, maka disunnahkan i’adah mengikuti shalat berjamaah.

Dengan demikian, rasanya tidak perlu ada kekhawatiran bila kita sedang bepergian dengan keterbatasan kendaraan yang kita naiki asal kita paham kaifiyahnya. Inilah bagian dari rasa welas asih Allah SWT yang tidak akan membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kesanggupannya.***

Dari Berbagai Sumber & Foto:  Pixabay/Surprising_Media