JENDELAISLAM.ID – Di Yogyakarta, ada empat Masjid Pathok Negoro. Masjid Pathok Negoro atau dikenal sebutan Pathok Negari merupakan Masjid Kagungan Dalem Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Fungsinya di samping sebagai tempat ibadah, dulu sebagai benteng pertahanan rakyat saat masa penjajahan.
Perlunya didirikan Masjid Pathok Negoro adalah sebagai batas wilayah dan tempat pertahanan bagi Keraton Ngayogyakarta. Keempat masjid dibangun di empat penjuru mata angin, yang berjarak 5 – 10 kilometer dari Kutanagara atau pusat pemerintahan.
Di bagian selatan, ada Masjid Dongkelan (Kec. Kasihan Kab. Bantul), di bagian timur ada Masjid Babadan (Kec. Banguntapan Kab. Bantul), di bagian utara ada Masjid Plosokuning atau Masjid Sulthoni (Kec. Ngaglik Kab. Sleman) dan bagian barat adalah Masjid Mlangi (Kec. Gamping Kab. Sleman).
Nah, satu dari masjid-masjid yang disebut Pathok Negoro yang masih terjaga keasliannya adalah Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Masjid ini juga sering disebut Masjid Sulthoni Plosokuning, yang berdiri di atas tanah kasultanan seluas 2.500 m2. Konon apabila Keraton berdiri 1755, masjid ini telah ada sejak 1724.
Pada saat didirikan, bangunan masjid luasnya 288 m2 dan setelah pengembangan menjadi 328 m2. Lokasi Masjid Pathok Negoro satu ini berada sekitar 9 km arah utara dari Keraton Ngayogyakarta. Persisnya di Jalan Plosokuning Raya Nomor 99 Minomartani, Ngaglik, Sleman Yogyakarta.
Oleh karena masjid ini punya nilai historis dan masih asli, ia dinobatkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kalau ada perbaikan, itu karena kebutuhan dan tetap tidak mengubah bentuk aslinya. Itu pun melalui persetujuan pihak keraton.
Milik Kesultanan
Masjid Pathok Negoro punya kemiripan dengan Masjid Agung Yogyakarta. Kesamaan ini terlihat dari beberapa komponen yang ada di dalamnya, seperti: mihrab, kentongan dan beduk.
Ciri Masjid Pathok Negoro beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota masjid terbuat dari tanah liat dan atap masjid terbuat dari sirap. Selain itu, Masjid Pathok Negoro juga mempunyai ciri lain, yakni pada masing-masing masjid terdapat kolam, pohon sawo kecik dan terdapat mimbar yang ada di dalam masjid.
Begitu pula dengan Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Di depan masjid, ada dua kolam yang kedalamannya 3 m. Filosofinya adalah setiap orang yang akan masuk masjid, harus bersuci terlebih dahulu di kolam tersebut. Makna lain dari dua kolam ini adalah seseorang yang menuntut ilmu, haruslah sedalam-dalamnya.
Dikatakan bahwa Masjid Pathok Negoro Plosokuning terbilang asli dan tetap terawat hingga kini. Indikasinya dapat dilihat di bagian atap dimana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak atap masjid. Dulu, penutup atap masjid menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun 1946.
Sementara bagian lantai masjid, yang tadinya diplester biasa dengan menggunakan semen merah, tetapi pada tahun 1976 lantai masjid kemudian diganti dengan tegel. Begitu juga dengan daun pintu dan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984.
Dahulu, pintu masjid hanya ada satu dan sangat rendah yang menyebabkan ruang utama masjid menjadi gelap. Maksudnya agar setiap orang yang masuk masjid hendaknya menunduk dan merendahkan diri di hadapan Ilahi Rabbi. Namun demi kemaslahatan bersama, maka pada tahun 1984, pintu masjid ditambah hingga menjadi 3 plus jendela di dalam masjid sehingga ruang utama yang tadinya gelap terlihat lebih terang.
Di dalam masjid, ada mimbar tua berbahan dari kayu jati dengan ornamen pada pegangan mimbar. Dilengkapi tongkat yang biasa digunakan khatib saat khutbah. Juga, ada beberapa pilar penyangga dari jati yang sebagian masih asli.
Di bagian luar, masjid memiliki pintu gerbang berundak. 3 undakan pertama menggambarkan bahwa Islam itu terdiri dari 3 elemen yakni iman, Islam dan ikhsan. 5 undakan kedua menunjukkan bahwa rukun Islam itu ada 5, sedangkan pada 6 undakan ketiga menunjukkan bahwa rukun iman itu ada 6.
Untuk menambah kenyamanan jamaah, beberapa tahun terakhir, pengurus masjid mengadakan perbaikan dan penambahan ruang yang ada di samping kanan dan kiri masjid. Tujuannya agar kegiatan keagamaan di masjid ini berlangsung dengan nyaman dan bisa menampung jamaah lebih banyak.
Pada tahun 2000, Masjid Plosokuning kembali mengalami renovasi, khususnya di bagian 4 tiang utama dan beberapa elemen lain. Kemudian pada 2001, pemugaran bagian serambi dan tempat wudhu pun dilakukan. Renovasi ini dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Di tahun tersebut, masyarakat secara swadaya juga mengganti lantai tegel masjid dengan keramik, memasang konblok di halaman serta mendirikan menara pengeras suara.
Tradisi Keraton yang Kuat
Nama Plosokuning sendiri diambil dari nama pohon ploso yang memiliki daun berwarna kuning, yang ada di sebelah timur masjid. Dari pohon tersebut, juga sekarang dijadikan nama Desa Plosokuning. Letak pohon ini kira-kira berada di sekitar 300 m sebelah timur masjid, namun sekarang sudah tidak ada.
Mengingat masjid ini merupakan Masjid Pathok Negoro yang berada di bawah kekuasaan keraton, maka ada abdi dalem yang ditugaskan untuk mengurus kemasjidan. Sebuah tradisi yang khas dilaksanakan di masjid bersejarah satu ini, yakni Bukhorenan. Bukhorenan merupakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga keraton pada momen-momen tertentu.
Tradisi ini sudah menjadi bagian dari tradisi keraton dari masa ke masa yang lestari hingga sekarang. Tujuannya adalah mengkaji ajaran dan tuntunan Nabi SAW dengan membaca dan memahami hadist-hadist yang terdapat dalam Shahih Bukhari.
Tradisi lainnya adalah ritual menyambut 1 Syura/1 Muharram. Biasanya ada ritual kirab mengelilingi kampung. Prosesi kirab ini bermula dari halaman masjid yang diiringi dengan lantunan shalawat nabi dan tembang bernuansa Islam. Kirab baru akan dimulai setelah ada restu dari sesepuh masjid. Jarak yang ditempuh kirang lebih sepanjang 4 kilometer. Pasukan berkuda mengambil posisi terdepan. Selama proses kirab, orang tak diperkenankan berbicara.
Keunikan lain, di masjid ini dulu ada adzan 5 yang dilaksanakan dalam rangkaian shalat Jum’at. Ini terjadi di tahun 1950-an. Hanya saja, adzan pertama yang dilakukan oleh 5 orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang dari mereka, sekarang sudah tidak ada. Sejak 1960-an, adat tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2 orang, meskipun demikian adzan tetap dilakukan 2 kali.
Begitu juga kebiasaan khutbah yang semula berbahasa Arab, berganti dengan bahasa Jawa. Ini sedikit berbeda dengan keunikan di Masjid Sang Cipta Rasa (Keraton Kasepuhan) Cirebon, dimana adat di Masjid Kasepuhan, tradisi adzan 7 dan khutbah berbahasa Arab, tetap langgeng hingga sekarang.
Menarik bukan? Arsitekturnya unik, nilai sejarahnya kuat, sehingga sangat layak Masjid Pathok Negoro Plosokuning dijadikan sebagai destinasi wisata reliji. Jadi, bila kebetulan kita melancong di Yogyakarta, tak ada salahnya berziarah di Masjid Plosokuning. Apalagi masyarakat yang tinggal di kampung tersebut berada dalam lingkungan santri dan relijius sehingga menarik juga untuk diteliti.
Foto: Tangkapan Layar Youtube Sudaryono Alblitari