JENDELAISLAM.ID – Bila Anda pernah menonton film “Ketika Cinta Bertasbih (KCB)”, karakter asli pemeran Azam, Kholidi Asadil Alam, tidak jauh beda. Seorang lelaki sederhana, tidak neko-neko, relijius, dan teguh menjaga prinsip.
Atau Anda masih ingat cuplikan dialog antara Eliana (Alice Norin) yang akan memberikan hadiah “french kiss”, namun ditolak oleh Azam dan dianggapnya sebagai musibah. Tampaknya Azam lebih rela disebut sebagai orang kampung, kolot ketimbang mengorbankan prinsip hidup yang dianutnya.
Letak kesamaan antara Azam dan Kholidi itu setidaknya dapat dilihat dari berbagai sisi.
Pertama, sama-sama orang Jawa (Azam dari Jawa Tengah, sementara Kholidi dari Pasuruan, Jawa Timur) sehingga logat dan budayanya tidak jauh beda.
Kedua, atmosfernya sama. Azam dan Kholidi mendapat bimbingan agama yang memadai karena keduanya hidup di lingkungan pesantren. Lingkungan pesantren inilah yang menggodok Kholidi juga teguh memegang prinsip agama.
Ketiga, sama-sama hidup prihatin. Azam menimba ilmu dan merantau ke Mesir, sementara Kholidi belajar mandiri di Jakarta selepas SMP di Pasuruan.
Di Jakarta, saat SMA bahkan harus cukup dengan uang 10 ribu sehari. Kholidi mesti masak sendiri dan tidak canggung-canggung bertanya pada ibunya di Pasuruan tatkala tidak tahu bumbu-bumbunya. Padahal uang 10 ribu buat makan di warteg sekali sudah habis.
Saking prihatinnya, tatkala jam istirahat sekolah sementara teman-temannya bermain di luar dan makan di kantin, Kholidi diam di kelas. Bukan apa-apa karena memang tidak punya uang untuk jajan. Begitu pun tatkala berangkat atau pulang sekolah, Kholidi seringkali jalan kaki padahal jarak antara sekolahnya dengan tempat tinggalnya cukup jauh. Kendati demikian, toh Khalidi bertekad tidak ingin kalah prestasinya dengan orang-orang di Jakarta.
Titik kesamaan inilah yang menjadikan karakter Azam yang dilakoninya lebih natural. Apalagi film yang diangkat dari novel ini, dinilai Kholidi, sangat relijius dan baik bagi pembelajaran umat. Karena itu begitu mendapat kesempatan, ia tidak menyia-nyiakannya.
Menurut Kholidi, film ini sarat dengan pesan-pesan agama yang luar biasa.
“Novel itu bagus dan Islami. Karena itu, bila kemudian saya punya kesempatan terlibat di dalamnya, saya mengharap itu bagian dari dakwah. Karena film merupakan media efektif dan efisien yang bisa mempengaruhi masyarakat,” kata Kholidi.
Kalau kemudian film tersebut mendapat apresiasi dan antusiasme dari masyarakat tentu merupakan hal yang sangat positif pula. Masyarakat bukan saja mendapat suguhan film yang menarik dan berbobot, tetapi lebih dari itu. Masyarakat bisa belajar banyak tentang nilai-nilai kesusilaan dan prinsip-prinsip agama yang mungkin belakangan ini diacuhkan oleh banyak orang karena perubahan zaman.
Inilah salah satu motivasi Kholidi. Jika kerja kerasnya mendapat sambutan positif, maka pesan dakwah dalam film tersebut akan sampai ke masyarakat.

Penulis bersama Kholidi Asadil Alam usai ngopi bareng di Pejaten Village Jakarta (Foto: Wulan)
Bermula dari Teater
Sukses memerankan Azam, seperti diakui Kholidi, sebenarnya tidak terlepas dari dunia teater yang digelutinya. Sejak kelas 2 SMA, lelaki kelahiran Pasuruan, 30 Maret 1989 ini sudah aktif di dunia teater, seperti di Teater Ciliwung pasar Minggu. Dari teater inilah membuat dirinya gila membaca dan belajar akting secara total.
Menurutnya, teater mempelajari kehidupan dan banyak perenungan. Di samping itu, Kholidi juga belajar pada teater Populer, dimana pembimbingnya adalah Slamet Raharjo, Christine Hakim, Alex Komang.
Hingga suatu saat, seorang pelukis di Bulungan, teman Kholidi, menyarankan agar Kholidi mengikuti audisi KCB. Apalagi orang-orang yang terlibat dalam produksi ini sangat luar biasa dan pas di bidangnya, seperti: Didi Petet, Dedy Mizwar, Kang Abik sendiri serta Neno Warisman.
Kholidi yakin bahwa film ini baik dan hasilnya juga akan baik. Dari sini, Kholidi membaca berulang kali novel KCB tersebut dan mempelajari karakter Azam sedetail mungkin. Kenapa Azam? Inilah karakter yang hampir mirip dengan kehidupan keseharian Kholidi. Karakter Azam adalah mandiri, tekun, sederhana dan teguh memegang prinsip agama.
“Dalam ilmu teater, memerankan suatu karakter tokoh dalam film itu seperti menyusun puzle yang satu per satu mesti disusun kalau sudah utuh baru dapat diperankan. Kebetulan saya berasal dari Jawa, berlatar belakang pesantren dan sama-sama merantau,” tambah Kholidi.
Kholidi berusaha membaca karakter-karakter Azam. Jika Azam punya kerutan di muka, Kholidi pun berusaha mempelajarinya dari orang-orang agar peran yang dimainkannya semirip mungkin dengan karakter dalam novelnya.
Birrul Walidain
Kholidi lahir di Pasuruan, dari buah perkawinan H. Abd. Latif dan Hj. Afidatuz Zahra. Masa kecilnya hingga lulus SMP, ia habiskan di Pasuruan di lingkungan pesantren yang taat. Pada tahun 2004, Kholidi merantau ke Jakarta ikut saudaranya dan sekolah di SMA 55 Jakarta.
Di kota Metropolitan ini, harapannya bisa mandiri meski hidup dengan kondisi prihatin. Kendati demikian, ia toh tidak minder dengan teman-teman lain yang tingkat ekonomi maupun status sosialnya lebih tinggi darinya, justru memicu Kholidi bisa berprestasi lebih ketimbang mereka. Ia juga ingin membanggakan keluarganya sebagai manifestasi dari bakti kepada orang tuanya (birrul walidain).
Lulus SMA pada tahun 2007, Kholidi tak segera meneruskan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Namun, ia pergunakan untuk belajar mandiri, ia pernah menjadi distributor sarung, serta berdagang ayam di samping tetap menekuni dunia teater. Sampai kemudian ada pembukaan audisi KCB dan mendapat kesempatan main di film yang sarat makna ini. Barulah pada tahun 2009, Kholidi melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Jakarta.
Bila sekarang Kholidi terjun di film, dunia yang mungkin bersentuhan dengan kehidupan glamour dan berinteraksi dengan para artis, keluarga tidak mempermasalahkan selama Kholidi bisa menjaga diri dan menjaga hati serta peran yang dilakukannya tidak menyimpang dari norma agama dan adat-istiadat. Bahkan kedua orang tuanya sangat mendukung Kholidi terlebih bila film yang dimainkannya bermuatan dakwah.
“Abah saya selalu berpesan bahwa yang penting mengerjakan sesuatu itu diniati ibadah, banyak sedikit yang kamu dapatkan yang penting barakah. Ibu saya juga wanti-wanti agar jangan cipika-cipiki bila berinteraksi dengan banyak artis,” kata Kholidi.
Ketulusan kedua orang tuanya inilah yang selalu diingat Kholidi. Selain itu, ia juga masih ingat pesan ustadznya waktu di Pasuruan yang mengatakan, “Sukses dunia akherat itu gampang, asalkan mendapat ridha orang tua, kemudian mendoakan orang tua, dan berbakti kepada orang tua.”
Kholidi berusaha profesional, selektif mengambil peran. Konsekwensinya, kalau ada peran yang ada adegannya tidak Islami, keluar dari norma agama atau adat, Kholidi akan menolaknya meski dibayar dengan harga tinggi.
“Saya main di film bukan money oriented, yang paling penting banyak sedikit yang saya dapatkan barakah. Saya berpegang pada keimanan, mesti berkomitmen dan konsisten terhadap prinsip yang saya pegang,” pungkas Kholidi.***
Foto: FB Kholidi Asadil Alam