Meneladani Nabi SAW: Kunci Cinta menuju Ilahi

JENDELAISLAM.ID – Setiap 12 Rabiul Awal, kaum Muslim di belahan dunia, termasuk di Indonesia, merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Melalui Maulid Nabi, kita bisa melakukan refleksi (muhasabah); apakah kita benar-benar sudah mencintai Nabi SAW? Apakah kita menjalani hidup ini sudah sesuai dengan ajarannya? 

Pelajaran dari peringatan maulid adalah mengkaji ulang nilai-nilai dari sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, mengingat kembali kehidupan Nabi SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah SWT tegaskan sebagai rahmatan lil ‘âlamîn untuk kita teladani.   

Bagi kita, mencintai Nabi SAW adalah sebuah keniscayaan. Sudah semestinya kecintaan pada beliau melebihi kecintaan kita pada anak dan isteri kita, harta kita, kedudukan kita, bahkan kecintaan kita terhadap diri sendiri. Tapi tentu saja, tolok ukur kecintaan pada Nabi SAW bukan sekedar mengadakan seremonial belaka, melainkan dibuktikan dengan mengamalkan ajarannya secara benar.

Karena itu, hal terpenting dalam memperingati maulid Nabi SAW adalah bagaimana kita mau meneladani dan melanjutkan misi kenabian. Misi Nabi adalah membawa risalah dari Allah, yaitu menyampaikan Islam untuk menjadi jalan hidup (way of life) dan membawa keselamatan bagi seluruh alam.

Kalau kita membuka sejarah, pesan-pesan agama pada masa nabi-nabi terdahulu masih sangat lokalistik, dimana mereka diutus hanya untuk kaumnya masing-masing. Ini ditandai dengan kata “Wahai kaumku! (yâ qaumi)” seperti disinggung dalam al-Qur’an.  Berbeda saat Nabi Muhammad SAW hadir, pesan agama beralih dari yang sifatnya sektarian menjadi universal, seruannya lebih luas dengan kata, “Wahai manusia! (Yâ ayyuhan nâs)”  dan ini dikukuhkan dengan sebuah ayat yang artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’: 107).

Bila kembali mengingat background kelahiran Nabi, apa yang terjadi pada masa itu? Masa itu adalah masa Jahiliyah, dimana segala kebobrokan moral terpampang demikian nyata; sosok wanita tak ada harganya, dilecehkan dan dipersamakan dengan barang, anak perempuan yang lahir biasa dikubur hidup-hidup, perbudakan dan kezaliman dimana-mana, dan hukum yang berlaku pun menganut hukum rimba (siapa punya kuasa, kaya, jabatan, maka dialah yang menggenggam segalanya).

Namun Nabi Muhammad SAW yang mendapat mandat dari Allah, merombak segala tatanan/budaya yang rusak menjadi tatanan yang terhormat. Eksistensi manusia dimuliakan. Sehingga masa yang penuh kebejatan, kesuraman, dan kegelapan sebelumnya, –setelah melalui proses perjuangan yang luar biasa–, bersalin rupa menjadi masa yang penuh kegemilangan. Buah perjuangan beliau membawa rahmat bagi semuanya; semuanya merasakan kedamaian dan keadilan, tak ada lagi diskriminasi, perbudakan sirna, wanita ditempatkan terhormat, dan hukum pun ditegakkan. Inilah misi utama Nabi, yakni memperbaiki akhlak masyarakat.

Sekarang, tinggal bagaimana mengaktualisasikan ajaran Nabi SAW ke dalam setiap gerak kehidupan kita. Penegasan Allah SWT  demikian gamblang, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. al-Ahzab: 21).

Mestinya, keteladanan Rasul ini, kita tanamkan dalam diri kita. Sebab sejak kita menyatakan kesaksian bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT (wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh), berarti kita menjadikan segala perbuatan dan ucapan beliau sebagai acuan/rujukan kita dalam menjalani kehidupan. 

Dan siapa pun yang betul-betul mengimani sekaligus mengamalkan ajaran Nabi yang mengantarkan pada cinta Allah, garansinya adalah curahan kasih sayang Allah yang tak terhingga, “Katakanlah,  “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali Imran: 31).***

Foto: YT ABJ