Ketika Nafsu lebih Menguasai, Manusia bisa Berulah seperti Tikus  

JENDELAISLAM.ID – Semua orang tahu hewan tikus. Hewan satu ini ada dimana-mana. Di sawah, di rumah, di gorong-gorong, dan kadang terlihat berjumpalitan di kantor. Mengendap-endap lebih dulu untuk mengintai mangsa. Saat yang tepat, ia beraksi. Ia sangat lincah bergerak, bahkan dengan seutas kabel  sekali pun si tikus mampu melintasi. 

Nah, apabila merpati disimbolkan dengan perdamaian, tikus justru sebaliknya. Tikus identik dengan hewan perusak. Bahkan manusia yang punya sifat merusak kerapkali diserupakan  dengan tikus. Ya, perilaku korup itu berkonotasi dengan karakter tikus.

Tikus menggerogoti apa saja. Tanpa peduli halal atau haram. Karena ia tak mengenal hukum. Yang penting, ia bisa mendapatkannya, meski sekedar untuk mengganjal perutnya. Cara apapun ditempuh. Sedikit ada celah,  akan masuk. Dari situlah penggerogotan dimulai, di situlah “makan siang” dan “makan malam” si tikus berlangsung. Masa bodoh ulahnya itu berakibat merugikan liyan dan merusak tatanan. 

Tentu menyebalkan bukan, jika tikus berseliweran di sekeliling Anda.  Sehingga amat lucu jika Anda tetap nyaman membiarkan lalu lalang tikus dan secara perlahan menghancurkan yang ada.

Di rumah, pabrik, perkantoran, yang disinyalir ada kehidupan tikus,  sebagai langkah preventif untuk menyetop pertumbuhan tikus dipasang perangkap/jebakan agar tikus tertangkap. Sebab, membiarkan artinya mengikhlaskan tikus merusak apa saja. Baju, buku, uang, makanan, kayu, bahkan sabun pun bisa jadi sasarannya. Makin dibiarkan, ia makin merajalela, dan menghancurkan. Dimana pun tikus berada, ia akan membawa kehancuran. Apalagi tikus mudah beranak-pinak. Semakin berkembang, semakin cepat pula laju penghancurannya.

Semakin sigap mengantisipasi perkembangan tikus, maka kerusakan semakin bisa dicegah. Tak heran, banyak petani berikhtiar sedemikian rupa untuk mencegah perkembangannya. Bisa dengan gropyok tikus, pasang obat tikus, bahkan pasang jebakan. Karena bila dibiarkan akan menghabiskan padi yang ditanam. Bahkan mereka bisa gagal panen akibat ulah tikus.

Dalam konteks ini, hewan perusak ini menjadi musuh sekaligus momok bersama. Pasalnya, di mana pun keberadaannya hanya akan membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia. Hewan pengerat ini bagi manusia, wajib hukumnya diberantas.

Lantas, kenapa kelakuan tikus ini banyak diadopsi oleh manusia di kehidupan nyata?

Tentu, bagi tikus tidak bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. Antara merusak dan membangun. Antara merugikan liyan dan menguntungkan. Sebab, tikus tak punya akal seperti manusia. Ia bergerak berdasar insting dan naluri. Saat perut lapar, ia cenderung membabat apa yang ada. Jika tak menemukan makanan kesukaannya, ia bisa memakan apa saja.

Beda dengan manusia yang punya akal pikiran. Jelas, manusia bisa membedakan baik dan buruk dengan akalnya. Tahu yang hak dan batil. Paham batasan antara yang baik dan buruk.

Tapi manusia bisa berulah seperti tikus manakala nafsu lebih menguasai jiwa ketimbang penggunaan nalar dan hati. Sifat tamak yang membara bisa meluluhlantakkan sifat syukur.  Manusia akan rela menilap untuk mendapat iming-iming keuntungan dan perut kenyang.

Di dunia ini, manusia punya pilihan. Menjadi manusia jujur tanpa menerobos tatanan yang ada, atau menjadi manusia yang rela melakukan apa saja demi sesuap nasi, atau demi tegaknya pundi-pundi kekayaan, meskipun itu dilarang oleh Tuhan Sang Penguasa Jagat.***  

Sumber Foto: Pexels/Alexas Fotos