Masjid Agung Payaman: Tempat Pencarian Spiritual yang Menyatukan Kaum Lansia

JENDELAISLAM.ID – Coba Anda jalan dan mampir ke Masjid Agung Payaman! Maka Anda akan menemukan keunikan di masjid yang berlokasi di Desa Payaman Kecamatan Secang Kabupaten Magelang ini.

Dari segi bangunan fisik, tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid lainnya. Bedanya terletak pada jamaahnya. Anda bisa melihat pemandangan yang luar biasa; jamaah yang senantiasa antusias dalam beribadah.

Uniknya, mereka rerata sudah berusia lanjut. Mereka berasal dari berbagai daerah di sekitar Magelang.

Di usia senja, mereka rela meninggalkan sanak saudara dan kesenangan duniawi hanya untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.

Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di Masjid Payaman. Dari Fajar hingga tengah malam, yang mereka lakukan hanyalah berdoa, membaca al-Qur’an, dan mujahadah, baik yang wajib maupun sunnah.

Ada asrama dua lantai yang dibangun masyarakat untuk mereka. Asrama putri terletak di sebelah halaman masjid, sedang asrama putra ada di pondok kidul tidak jauh dari masjid.

Selama bulan Ramadhan, jumlah jamaah meningkat drastis. Mereka mengikuti ngaji pasanan (pengajian bulan Ramadhan) hingga tanggal 20 Ramadhan. Tujuannya sama, ingin ngalab berkah (mendapatkan berkah) di masjid ini dengan berpartisipasi dalam pengajian yang berlangsung hampir tanpa henti.

Peran Mbah Kyai Romo Agung

Semua itu tak lepas dari peran Muhammad Syirodj bin Abdurrasyid alias Mbah Kyai Romo Agung. Sosok kharismatik ini mewarnai perjalanan Masjid Agung Payaman.

Romo Agung merupakan pimpinan umat di Magelang, selain Mbah Kyai Dalhar Watucongol Muntilan, yang disegani pada masanya karena kedalaman ilmunya.   

Saat itu, sepulangnya dari Makkah dan Madinah, beliau melihat kebiasaan umat Islam di sekitar desanya untuk melaksanakan ibadah masih rendah. Maka, beliau mengajak mereka untuk tinggal di masjid selama 40 hari (mondok) untuk mempelajari Islam, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW di Masjid Nabawi.

Yang mengejutkan, banyak dari jamaahnya adalah wanita lanjut usia.  

Warisan ketelatenan Romo Agung dalam ngopeni (memperhatikan) para lansia di masjid ini terus berlanjut hingga sekarang, dengan 90% murid-muridnya adalah perempuan.

Papan nama Masjid Agung Payaman Magelang (M. Nasir)

Sejarah Berdirinya Masjid

Masjid ini letaknya di pinggiran jalan raya yang menjadi persimpangan Magelang – Semarang. Kapan dan oleh siapa masjid ini pertama kali disebut Masjid Agung, tidak diketahui.  Tidak ada catatan mengenai kapan masjid ini didirikan yang dapat dijadikan acuan faktual.

Kalau pun ada, itu adalah catatan dari masa setelah masjid ini dikelola oleh Romo Agung. Seperti kentongan dari tahun 1937 dan catatan pada jam di tahun 50-an. Di sisi lain, Masjid Payaman sudah ada jauh sebelum masa Romo Agung.

Awalnya sangat sederhana. Dinding yang mengelilingi masjid terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan atapnya terbuat dari jerami. Perluasan dan perbaikan dilakukan di bagian depan setelah pembukaan Jalan Daendels.

Pada tahun 1930-an, masjid ini direvitalisasi lebih lanjut ketika Romo Agung kembali dari Makkah selama delapan tahun untuk belajar agama.

Ia  prihatin terhadap sepak terjang seorang misionaris dari Vatikan bernama Van Lith di Sendang Sono Muntilan di tengah masyarakat yang awam.

Melihat situasi ini, ia mengorganisir pengajian pertama di daerah Magelang.

Bila sekarang, pengajian umum di masjid, mushalla atau di lapangan sudah populer di desa-desa terpencil, namun pada masa kolonial, pengajian umum merupakan kegiatan yang langka. Pengajian umum pertama, yang disebut Majelis Taklim, berlangsung di masjid ini.

Untuk menarik warga datang ke masjid, Romo Agung menyuruh isterinya membuat ketan dan air santan untuk dibawa ke masjid. Anak-anak pun ingin datang ke masjid. Akhirnya, orang tua mereka juga datang ke masjid untuk menikmati hidangan istimewa.

Sejak saat itu, masjid tak pernah sepi lagi. Ia menjadi tempat orang bertanya. Dan Romo Agung mengajak masyarakat di sekitarnya untuk shalat berjamaah.

Dalam perjalanan selanjutnya, Romo Agung secara intensif membimbing orang-orang tua yang awam tentang agama. Sementara itu, untuk para remaja diserahkan kepada anaknya.

Banyak jamaah berdatangan dari berbagai daerah datang untuk belajar di masjid. Bahkan dengan sukarela, mereka membawa sendiri batu-batu yang digunakan untuk merenovasi masjid.

Meskipun masjid ini sering menjadi sasaran serangan Belanda pada masa penjajahan kedua, Romo Agung tetap tenang. Beliau dianggap bersekutu dengan Laskar Hizbullah, juga dengan Jendral Sudirman yang meminta restunya saat hendak merebut Ambarawa.

Ia memerintahkan jamaahnya untuk tiarap sambil berdzikir. Konon, bom-bom yang dijatuhkan oleh penjajah Belanda di sekitar masjid, tidak meledak. Dan Masjid Payaman masih berdiri kokoh.

Asrama Pondok Pesantren Sepuh Putri persis di samping Masjid Agung Payaman Magelang. Di sinilah jamaah manula mondok dan mengikuti kegiatan ngaji di masjid (M. Nasir)

Kondisi Saat Ini

Lokasi masjid ini persis bersebelahan dengan pemakaman umum Payaman di areal tanah seluas 1.214 m2. Ruang utama masjid hanya berukuran 10 x 10 m. Di sebelah kanan dan kiri ruang utama terdapat serambi. Pengajian harian yang diikuti oleh jamaah lansia berlangsung di serambi ini.  Pengajian ini biasanya diisi oleh para kyai di sekitar Payaman secara bergilir.

Pada masa Romo Agung, Masjid Agung Payaman mengalami beberapa kali renovasi. Di antaranya adalah renovasi yang dilakukan oleh Bupati Magelang, R. Danuningrat, pada tahun 1930-an.

Hubungan antara Romo Agung dan umara sangat dekat dan bahkan sang bupati sangat menghormatinya. Romo Agung sering dimintai pendapat oleh bupati dalam mengelola daerahnya.

Renovasi selanjutnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 1974. Beberapa tahun terakhir, masjid ini juga mengalami renovasi. Namun, renovasi yang dilakukan tidak mengubah bentuk asli masjid. Bentuknya tetap khas arsitektur Jawa dengan sedikit sentuhan warna Eropa.

Menurut satu versi, Masjid Payaman ditangani oleh arsitek Belanda bernama Van Misch pada tahun 1937 yang menggabungkan mustaka Jawa dengan dua atap berbentuk kerucut seperti kastil di Eropa. Sampai hari ini, kita masih dapat melihat keasliannya.

Dominasi arsitektur Jawa memang lebih kentara. Mimbar terbuat dari kayu, dengan sedikit sentuhan ukiran di atasnya yang ditutup dengan kayu berbentuk limasan. Kaligrafi Arab tertulis di pintu pengimaman, mengajak semua orang yang berada di masjid untuk beri’tikaf.

Dengan segudang keistimewaan yang dimilikinya, tak heran jika masjid bersejarah ini dianggap sebagai masjid yang  istimewa, tidak hanya bagi masyarakat Payaman, tapi juga kebanggaan seluruh masyarakat Magelang. Nilai plus lainnya adalah masjid ini seakan tak mengenal kata “mati”  dari berbagai aktivitas dakwahnya.

Kini, Romo Agung memang telah tiada, namun apa yang mentradisi di masjid ini masih terus dijalankan. Putra-putri beliau telah mengambil alih perjuangannya, menghidupkan masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan serta memfokuskan perhatiannya kepada para manula.

Kota Magelang, tampak lebih semarak dengan adanya Masjid Payaman. Sederhana namun fungsinya sebagai tempat ibadah lebih menonjol. ***

Sumber Foto: M. Nasir