MUI akan Gelar Ijtima Ulama Fatwa se-Indonesia VIII, Ini Tema Pembahasannya

JENDELAISLAM.ID — Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung pada 28-31 Mei 2024.

Ketua MUI Bidang Fatwa yang juga Ketua SC Ijtima Ulama VIII Prof. KH. Asrorun Ni’am Sholeh menyampaikan hal tersebut pada MUIDigital, Jumat (19/4/2024).

Kegiatan Ijtima ini, kata Prof. Niam, merupakan kegiatan rutin yang digelar setiap tiga tahun sekali. Salah satu tujuan diadakannya kegiatan tersebut untuk membahas berbagai permasalahan aktual yang dihadapi umat.

Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, hasil dari Ijtima Ulama tersebut nantinya bakal dijadikan panduan bagi umat dalam kehidupan beragama dan berbangsa.

“Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia merupakan forum permusyawaratan ulama yang diselenggarakan secara reguler tiap tiga tahun untuk membahas masalah stretegis kebangsaan, masalah fiqih kontemporer, dan masalah perundang-undangan,” katanya.

Pra-Ijtima Ulama VIII

Sebelumnya, Komisi Fatwa MUI telah menggelar Pra-Ijtima Ulama VIII yang digelar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur dan Madrasah Muallimin Muhamadiyah Yogyakarta.

Pra-Ijtima Ulama VIII di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah ini membahas mengenai Fiqih Hubungan antar-Umat Beragama.

Setidaknya ada tiga pembahasan penting, kata Prof. Niam, yakni salam lintas agama, Muslim mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, dan mengucapkan “Assalamu’alaikum” bagi non-Muslim, dan hukum menjawabnya.

“Bisa jadi ini nantinya menjadi isu publik, tapi dengan keilmuan dan kedalaman bahasan para ulama, dengan pertimbangan aspek sosiologis sehingga fatwa ini nanti bisa mudah dicerna, minim kontroversi, dan kemudian bisa dipedomani,” kata Prof. Niam ketika Pra-Ijtima Ulama VIII di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sabtu (3/2/2024).

Prof. Niam menjelaskan, persoalan ini kerap menjadi pembahasan tahunan dan tidak menemukan ujungnya. Apakah hal ini termasuk permasalahan muamalah atau berkaitan dengan ibadah.

“Maka harus ada ikhtiyar, kalau muamalah mengoptimalkan pertimbangan kemaslahatan, atau jangan-jangan ini mix (campuran) antara ibadah dan muamalah?” jelasnya.

MUI Pusat sudah menyampaikan kepada MUI Provinsi untuk meminta pendapat, terang Prof. Niam. Dari penyampaian MUI Provinsi dan pembahasan, tambahnya, ada pertanyaan apakah salam ini membuat toleransi semakin tumbuh di Indonesia atau tidak.

“Apakah orang yang diberikan salam itu nyaman? Seperti kita, apakah kita merasa terhormat ketika mendengarkan assalamu’alaikum dari umat agama lain? Jangan-jangan ada gap antara apa yang diprogramkan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh masing-masing agama,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof. Niam menuturkan, jika hal ini dibiarkan, maka akan menjadi adat yang diterima oleh masyarakat sebagai norma. Apakah itu menjadi adat yang baik atau tidak, itu yang masih menjadi pertanyaan.

Pertimbangan-pertimbangan seperti itu, menurutnya, merupakan tema pembahasan dalam fiqih hubungan antar-umat beragama.

Tujuannya agar ada keputusan terkait hal-hal ini tidak menimbulkan hiruk-pikuk yang tidak perlu. Selain itu agar substansi juga masuk.

Sementara Pra-Ijtima Ulama VIII di Madrasah Muallimin Muhamadiyah Yogyakarta, melaksanakan diskusi muzakarah.

“Masalah keagamaan yang kita bahas harapannya berkontribusi yang solutif terhadap masalah kemasyarakatan, praktik kenegaraan, dan masalah kemanusiaan secara umum,” kata Prof. Niam saat penutupan Pra-Ijtima Ulama VIII di Madrasah Muallim Muhamadiyah Yogyakarta, Ahad (9/3/2024).

Ijtima Ulama VII

Sebelumnya, Ijtima Ulama VII digelar di Hotel Sultan, Jakarta, pada 9-11 November 2021 dengan tema  “Optimalisasi Fatwa Untuk Kemaslahatan Umat.”

Pada tema “Strategis Kebangsaan atau Masail Asasiyah Wathaniyah,” membahas mengenai distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan (fungsionalisme tanah), tinjauan pajak, bea, cukai, dan retribusi, dlawabit (batasan-batasan) dan kriteria penodaan agama, jihad dan khilafah dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan panduan pemilu dan pemilukada yang lebih maslahat bagi bangsa Indonesia.

Sementara, permasalahan keagamaan kontemporer atau masail fiqhiyyah mu’ashirah, di antaranya membahas mengenai hukum cryptocurrency, hukum pernikahan online, hukum pinjaman online (Pinjol), dan transplantasi rahim.

Sementara permasalahan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan (masail qanuniyah), membahas mengenai tinjauan peraturan tata kelola sertifikasi halal, tinjauan rancangan Undang-undang tentang Larangan Minuman Beralkohol.

Kemudiaan, tinjauan tentang RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Kajian Permenristekdikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan Ketentuan Pedoman Penggunaan Pengeras Suara dan Masjid/Mushalla.***

Sumber Teks & Foto: MUI