Masjid Cheng Ho Surabaya: Menelusuri Jejak Pembawa Islam dari Tiongkok

JENDELAISLAM.ID – Sekilas bangunan Masjid Cheng Ho kelihatan seperti kelenteng, atau tempat Ibadah umat Kong Hu Cu, dengan dominasi merah, hijau, dan kuning. Arsitekturnya khas bangunan-bangunan klasik Cina dengan rumah Joglo Jawa. Ini sekaligus menunjukkan keeratan budaya Cina dan Jawa yang sudah terjalin sejak dahulu.

Pintu masuknya menyerupai pagoda lengkap dengan patung naga dan singa. Hanya bedanya antara kelenteng dan masjid ini terletak pada lafadz “Allah” dalam huruf Arab di puncak pagoda dan kaligrafi bertuliskan “Bismillahirrahmanirrahim” pada jendela depan yang berbentuk bulat. Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa tempat ini bukanlah kuil penganut Tao, tetapi masjid Muslim.

Pada sisi kiri bangunan masjid terdapat sebuah taman dengan relief Muhammad Cheng Ho berikut prototype kapal yang dikendarainya.

Rancangan Masjid Cheng Ho sendiri diilhami dari bangunan Masjid Niu Jei di Beijing, Cina, yang dibangun pada 996 M. Jadi klop antara sosok Cheng Ho, seorang muslim yang berperan dalam perkembangan Islam di Nusantara, dengan bangunan tempat ibadah muslim yang mengadopsi desain bangunan dari Tiongkok dengan beberapa perbedaan di beberapa titik.

Pembangunan Masjid Muhammad Cheng Ho sendiri diawali dengan peletakan batu pertama pada hari Ahad 15 Oktober 2001, bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh para sesepuh, penasehat dan pengurus PITI dan pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta para tokoh agama dan masyarakat Tionghoa di Surabaya.

Namun, pembangunan masjid baru dilaksanakan pada 10 Maret 2002 dan diresmikan pada 13 Oktober bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. pula. Arsitekturnya dirancang oleh Ir. Aziz Johan Arifin dari Bojonegoro dan dikembangkan oleh Tim Pengawas dan Pembangunan Masjid Cheng Ho dari PITI dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia.

Sedangkan penggunaan masjid ditandai dengan acara Grand Opening pada hari Rabu 28 Mei 2003 oleh Bapak Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husain al-Munawar, MA. Di samping itu juga dihadiri oleh para tamu undangan dari atase Kebudayaan Kedubes PRT di Indonesia Mr. Mao Ji Cong dan Wakil Konjen AS Mr. Craig.

Secara keseluruhan, masjid ini berukuran 21 x 11 meter dengan bangunan utama 11 x 9 meter yang beratap persegi 8 berbentuk pagoda susun tiga, ciri dari arsitektur Tiongkok. Bentuk ini lazim di Indonesia digunakan pada tempat peribadatan Tridarma/klenteng.

Bangunan ini mempunyai delapan sisi di bagian atas bangunan. Ketiga ukuran atau angka tersebut mempunyai arti tersendiri. Angka 11 melambangkan ukuran Ka’bah yang baru dibangun. Angka 9 menggambarkan Walisongo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sedangkan angka 8 melambangkan pat kwa yang bermakna keberuntungan atau kejayaan berdasarkan filosofi Cina.

Terletak di tengah kota Surabaya, berdekatan dengan pusat pembelanjaan dan hiburan Surabaya Mall (eks Taman Hiburan Rakyat/THR) dan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, tepatnya di jalan Gading No. 2 Kelurahan Ketabang, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, berjarak kira-kira 1.000 m sebuah utara Gedung Balaikota Surabaya, Masjid Cheng Ho menunjukkan geliatnya  untuk turut menyemarakkan syiar Islam.

Mengenang Laksamana Cheng Ho

Nama Cheng Ho terinspirasi oleh nama besar Laksamana Cheng Ho atau Zheng He (1371-1435), seorang bahariawan Muslim Tongkok yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia sejak 1404, yang juga masuk Kerajaan Majapahit. Nama itu diabadikan sebagai penghormatan pada laksamana Cina yang beragama Islam itu.

Patut dicatat bahwa dalam kunjungan muhibah selama 28 tahun (1405-1433), di samping Cheng Ho mengemban misi utama, yaitu memajukan kerukunan dan persahabatan antara Tiongkok dengan negara-negara di Asia Afrika dan sekitarnya, mempererat hubungan persahabatan kebudayaan antar bangsa, merintis dan memperlancar jalur dan frekwensi lalu lintas pelayaran di antara kawasan-kawasan dimaksud, ia juga juga menyebarkan agama Islam di beberapa daerah yang dikunjunginya, termasuk di nusantara.

Komunitas Muslim Cina yang membangun masjid ini, terutama yang berada di sekitar Surabaya, ingin mengingatkan kembali bahwa ajaran Islam yang selama ini diketahui banyak orang dibawa oleh orang-orang Timur Tengah dan India, ternyata juga disebarkan orang Tiongkok, salah satu di antaranya adalah Muhammad Cheng Ho.

Dan sampai kini, tempat-tempat peninggalan yang pernah dijelajahi Cheng Ho yang bersejarah 600 tahun silam, tetap masih dapat ditelusuri. Untuk memonumentalkan catatan dan fakta perjalanan bersejarah Laksamana Cheng Ho sebagai bahariawan yang jaya serta utusan perdamaian dan persahabatan yang terpuji, seorang Muslim yang taat dan shaleh, kini masjid Cheng Ho sebagai masjid perdana berdiri di tengah-tengah kota Surabaya.

Menekankan Pentingnya Pluralisme

Masjid ini tampak unik. Kesan ekslusif sirna saat kita memasuki kompleks ini.  Jamaah masjid tidak hanya berasal dari warga perkampungan di sekitar masjid, tapi sudah menyebar pada karyawan perkantoran yang ada di sekitarnya.

Malahan pada hari Jum’at dan hari libur, masjid ini banyak dikunjungi oleh masyarakat kota dan luar kota Surabaya. Tak sedikit di antaranya datang dari luar pulau. Karena keunikannya pula, menjadi daya tarik tersendiri bagi para peziarah Walisongo sebagai tujuan wisata reliji dan para wisatawan manca negara yang kebetulan singgah di Surabaya.

Mereka bukan saja mengagumi arsitektur masjid, dan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan berbagai kegiatan umat Islam, akan tetapi juga mereka senang melihat pembauran dan kebersamaan yang ada di Masjid Cheng Ho. 

“Di masjid ini juga merupakan media silaturrahmi dan komunikasi bagi siapa pun tanpa memandang dari kelompok mana mereka berasal. Karena, visi Masjid Cheng Ho adalah rahmat bagi alam semesta.

Artinya, masjid juga sebagai sarana yang efektif dalam mengajak umat untuk saling hormat-menghormati. Mungkin perbedaan pandangan biasa terjadi antara umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, namun begitu seorang Muslim memasuki masjid, semua perbedaan tersebut hilang dengan sendirinya. Yang ada hanyalah umat yang satu sama arah kiblatnya, sama bacaannya, sama dalam satu komando imam,” tutur Haryono, Wakil Takmir Masjid Cheng Ho.

Diharapkan tempat ibadah ini juga bisa menjadi media transisi bagi muallaf dari etnis Tionghoa. Sebab, banyak muallaf dari Tionghoa yang masih malu menjalankan ibadah secara bersama-sama.

“Hampir setiap jum’at, masjid juga digunakan untuk pengikraran dari saudara kita yang ingin menjadi muslim. Dengan mengucap dua kalimat syahadat diharapkan mereka dapat diakui eksistensinya sebagai muslim. Biasanya mereka yang baru muallaf, kita bimbing soal akidahnya selama tiga bulan secara intensif. Kita tidak membedakan perbedaan warna kulit, bahasa, serta adat istiadat,” lanjut Haryono.

Di bulan Ramadhan selain kegiatan tarawih, masjid juga mengadakan buka bersama dengan jamaah. Ratusan nasi bungkus disediakan setiap malamnya. dan pada pertengahan Ramadhan di halaman masjid juga diadakan bazar, nuzulul Qur’an dan kegiatan penunjang lainnya.   Selain itu, masjid juga dipakai untuk kegiatan akad nikah, baik lokal maupun campuran seperti warga Amerika, Austeralia dan Belanda dengan penduduk setempat.***

Sumber Foto: Facebook/Masjid Cheng Ho