Ramadhan, Bulan Pembakaran Dosa-dosa

JENDELAISLAM.ID – Ramadhan adalah bulan dimana keutamaan bergelimang, pahala dilapatgandakan, pintu pengampunan dosa dibuka lebar-lebar, juga keberkahan dan rahmat ditebarkan ke seluruh penjuru alam. Tapi, tentu saja bagi orang-orang yang mau meraihnya, mau menjumputnya dengan sungguh-sungguh hanya karena mengharap ridha Allah SWT.

Yang enggan, yang masa bodoh, yang apatis, sudah pasti sangat merugi  karena melewatkan begitu saja “suguhan-suguhan” keutamaan dan kemuliaan selama sebulan penuh dalam setahun. Maka, sungguh beruntung orang yang bisa memanfaatkan waktu Ramadhan untuk meraup sebanyak-banyaknya kemuliaan tersebut.

Sebab, dosa-dosa akan terbakar, pupus, akibat kesadaran dan amal shaleh yang dilakukan. Itulah Ramadhan yang memang punya makna membakar. Asalkan puasa Ramadhan itu dilakukan dengan benar, dengan iman, dan hanya karena ridha dari Allah SWT, maka garansinya adalah pengampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. 

Demikianlah, kenapa puasa disebut sebagai bulan ampunan, bulan penuh berkah dan bulan penuh kucuran rahmat. Hikmah yang bisa dipetik pun tak terbilang. Karena perintah berpuasa menanamkan banyak nilai ke dalam diri setiap Muslim.

Sebagai contoh, menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkan puasa, punya tujuan untuk membiasakan tidak mengkonsumsi makanan berlebihan. Sahur dan berbuka adalah cerminan disiplin waktu bagi seseorang memberikan hak perut untuk makan. Dan, dari rasa lapar yang dirasakan kiranya mampu melahirkan empati terhadap sesama, terutama orang-orang yang membutuhkan.

Namun ironisnya, di hari-hari dimana setiap Muslim berpuasa, justru yang terjadi di lapangan, konsumsi masyarakat meningkat tajam. Tak bisa disangkal, anggaran belanja keluarga membengkak dari hari biasa ketika bulan Ramadhan.  

Pasalnya, tidak sedikit pula yang berpuasa di siang harinya, saat bedug Maghrib tiba, menggunakan aji mumpung.  Mumpung tidak puasa dan mumpung banyak makanan, maka apa yang tersedia dilahap habis.  Pola makan seperti inilah yang menyebabkan kocek harus keluar lebih dari biasanya. Pada gilirannya, hikmah puasa bukannya melatih kepekaan sosial, tapi seakan malah membuat orang hidup secara konsumtif.

 Memang, tidak semua orang mengerti tujuan puasa. Maka tak heran, bila ada yang puasa, tapi tidak mengerti dan menerima hikmah dari puasa yang dilakukan. Tragisnya, tak sedikit orang yang menganggap bahwa puasa adalah sekedar tidak makan, tidak minum, serta tidak melakukan hubungan seksual di siang hari Ramadhan.

Jika puasa didefinisikan seperti itu, maka itu menurut Imam al-Ghazali sebagaimana dikatakan dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, adalah tingkatan puasa yang paling rendah, yaitu puasanya orang awam. Jadi, orang memahami puasa hanya karena mulut tidak diisi makanan dan minuman. Puasa hanya sebatas menggugurkan kewajiban.  Puasanya sah, tapi kualitas puasanya masih rendah.  

Mestinya, seseorang bukan saja mampu mengendalikan diri dari makan, minum, dan seks, melainkan juga bisa menahan diri dari nafsu dan dosa. Bisa menjaga panca indera (mulut, tangan, kaki, hidung, telinga) dari segala macam bentuk dosa atau maksiyat. Karena maksiyat bisa menyebabkan batalnya puasa. Inilah upaya dari cara mendekatkan diri kepada Allah.  

Apabila orang yang berpuasa sudah mampu mengendalikan diri dari dorongan nafsu dan perbuatan dosa, kata Imam Ghazali, puasanya yang dilakukan dikategorikan sebagai puasanya orang shaleh atau puasanya orang khusus.

Yang lebih tinggi lagi levelnya adalah puasanya orang-orang tertentu, yakni puasanya orang yang bukan saja mampu mengendalikan nafsunya, tidak maksiyat namun hatinya selalu terhubung kepada Allah dalam hal apa saja. Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa. Namun tentu saja, untuk mencapai level ini sangat berat dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya.

Sekarang, kita harus bercermin, apakah puasa yang selama ini kita jalani setidaknya ada di level orang khusus ataukah puasa yang kita kerjakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban belaka? Jika kita masih pada tingkatan yang paling rendah, artinya pemahaman puasa kita masih cetek, maka kita patut bertanya, mungkinkah dosa-dosa kita yang begitu bertumpuk-tumpuk dapat dibakar? Akankah hikmah puasa yang begitu banyak bisa kita dapatkan?

Sumber Foto: Pixabay/Freebiespic