JENDELAISLAM.ID – Sebelumnya, Rabi Marc Schneier curiga terhadap Islam, yakin mereka antisemit. Begitu pun Shamsi Ali meyakini, semua orang Yahudi ingin menghancurkan Muslim. Awalnya, keduanya ada di kutub berlawanan, sehingga mustahil mereka bisa sepaham.
Akan tetapi setelah peristiwa 11 September, kondisi berubah. Di tengah kecurigaan yang tajam antara Yahudi dan Muslim, kedua tokoh ini bersatu, dengan membuka ruang dialog. Mereka bukan sekedar berteman, tapi juga saling membela agama rekannya, mengecam antisemitisme dan Islamophobia.
Dalam satu tulisan “Perang dan Jihad”, Shamsi Ali menulis bahwa dalam Yudaisme ada sebuah konsep yang mengatakan, “Barang siapa menghancurkan sebuah nyawa, ia seolah-olah telah menghancurkan seluruh dunia. Dan barang siapa menyelamatkan sebuah nyawa, ia seolah-olah menyelamatkan seluruh dunia.” Ini sama persis terdapat dalam al-Qur’an, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Lanjut Shamsi Ali, jihad bukanlah sebuah konsep yang membenarkan dan mendukung terorisme. Tapi sesungguhnya terkait erat dengan visi Islam, yaitu berjuang menjalankan kehidupan yang bermoral. Mungkin non-Muslim yang sudah terlanjur dengan penafsiran jihad sebagai “berjuang” bertanya-tanya mengenai hubungan antara berjuang dan terorisme, jawabannya adalah tidak ada.
Dalilnya QS. al-Maidah 35, “Hai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Tentang Islamophobia, keduanya berbicara blak-blakan soal pentingnya mengadakan diskusi dan mencapai solusi damai. Menurut Rabi, bersanding dengan umat Islam bukan hanya soal berjuang bagi pihak yang kalah. Namun soal empati. Katanya, “Kita harus memperlakukan ketidakadilan terhadap umat Muslim sebagaimana terhadap kita, fitnah terhadap umat Muslim sebagaimana terhadap kita, kecaman terhadap umat Muslim sebagaimana terhadap kita.”
Karena itu, ia menyayangkan orang-orang yang merasa lebih nyaman untuk membenci daripada mengasihi. Sebagai seorang Yahudi dan warga Amerika, ia sering mendengar dan melihat Muslim yang digambarkan sebagai teroris, seperti tampak dalam kontroversi Masjid Ground Zero di New York, dimana stereotype tersebut menjelma dalam demonstrasi yang menentang pembangunan masjid di puluhan komunitas. Ini justru menciptakan konflik dan ketegangan umat Islam dan Yahudi. Menurut Rabi, Yudaisme tidak mengikuti perintah apapun yang menuju titik ekstremisme.
Demikian beberapa pandangan keduanya, ternyata dengan memahami tradisi-tradisi agama lain, umat Islam dan Yahudi pun bisa menyadari bahwa keyakinan pokok mereka, sesungguhnya adalah satu. Tradisi keduanya menganjurkan kebaikan hati, rasa saling menghormati, menyayangi dan nilai-nilai kebajikan lainnya serta membenci kekerasan, kekejaman dan terorisme.
Demikian diskusi menarik yang terdapat dalam buku “Anak-anak Ibrahim (Dialog Terbuka Mengenai Isu-isu yang Memisahkan dan Menyatukan Muslim-Yahudi) pemikiran Rabi Marc Schneier dan Imam Shamsi Ali.***
