JENDELAISLAM.ID – Di benak kita, dua butir kurma yang sudah jatuh di tanah dan tak jelas siapa pemiliknya mungkin tak masalah apabila kita pungut dan kita makan. Tapi bagi seorang sufi seperti Ibrahim bin Adham, dua butir kurma itu sangat mengganggu pikirannya dan meresahkan hatinya lantaran bisa menjadi penghalang ibadahnya dan amalan-amalan yang dilakukannya. Bagaimana bisa demikian, simak kisahnya di bawah ini?
Memungut Kurma di Tanah
Saat musim haji tiba, kaum Muslim sibuk dengan ritual ibadahnya. Satu di antara jamaah di Tanah Suci itu adalah Ibrahim bin Adham atau dikenal dengan sebutan Abu Ishak.
Usai menunaikan ibadah haji, lelaki itu mampir di sebuah toko di sekitar Masjidil Haram. Ia berbelanja beberapa tangkai kurma. Tatkala kurma yang dibelinya sedang ditimbang dan dibungkus, dilihatnya ada dua butir kurma tergeletak di bawah kakinya. Ia menyangka kurma tersebut bagian dari kurma yang dibelinya sehingga tanpa pikir panjang langsung memungutnya lalu memasukkan ke dalam kantongnya.
Sepeninggal dari toko itu, belanjaan dibuka. Disantapnya termasuk dua butir kurma yang dipungutnya di bawah kakinya. Tak ada perasaan apa-apa kala itu. Tapi mendadak timbul keinginan untuk berziarah ke Baitul Maqdis. Keinginan itu terus bergejolak sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mempersingkat tinggal di Makkah.
Tatkala ada kafilah yang hendak menuju ke sana, segeralah ia ikut dalam rombongan. Jarak tempuh menuju Baitul Maqdis memakan waktu perjalanan lebih beberapa bulan lamanya, melewati gurun sahara yang panas dan bebukitan. Namun keletihan itu terbayar tuntas tatkala sampai di tempat tujuan.
Sesampai di sana, lelaki itu memasuki tempat suci ketiga setelah Makkah dan Madinah, yakni Qubbatush Shakhra (Dome of The Rock) –tempat yang dipercayai sebagai titik berangkatnya Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Mi’raj. Letaknya di tengah-tengah di dalam tembok kompleks al-Haram asy-Syarif (tempat suci yang mulia) yang berada di dalam tembok kota lama Yerusalem (Yerusalem Timur).
Tak dinyana, Ibrahim dapat masuk dengan mudah. Hatinya luar biasa gembira. Sebab tempat ini diimpikan oleh banyak orang dapat diziarahi. Di tempat itu, ia shalat dan berdoa khusyu’ sekali. Dalam dzikirnya, ia mendengar percakapan yang menurutnya adalah dialog dua malaikat.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah dari Khurasan, Irak Barat, dimana setiap hari cukup banyak amalnya menuju ke langit,” kata yang satu.
“Benar,” jawab malaikat satunya spontan, “Tapi sekarang sudah tidak lagi, lantaran beberapa bulan yang lalu ia memakan kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram,” jawab yang satu lagi.
Kontan saja Ibrahim terkejut. Terhenyak. Jadi, selama beberapa bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah swt. gara-gara ia memakan kurma yang bukan haknya. Sekujur tubuhnya seketika gemetaran. Sendi-sendinya seakan lunglai. Air matanya menetes membasahi tempat sujudnya.
“Astaghfirullahal adzim,” Ibrahim beristighfar.
Dialog tersebut membuat Ibrahim tak tenang. Tatkala pagi tiba, segeralah ia berkemas untuk berangkat lagi ke Makkah menemui pedagang kurma.
Meminta Keikhlasan
Perjalanan jauh kembali dilakukan. Dari Baitul Maqdis menuju Makkah. Keinginannya untuk menemui pemilik dua butir kurma sangat kuat. Sebab, ini menyangkut amalnya. Menurutnya, jika tak ditemui dan diminta keikhlasannya, maka ia akan sangat merugi karena semua ibadah dan amal shalehnya tak kunjung diterima oleh Allah SWT.
Setelah menempuh perjalanan melelahkan, sampailah ia bersama rombongan di Tanah Suci. Begitu turun dari kendaraan, langsung menuju tempat penjual kurma itu. Sayangnya, tidak menemukan pedagang tua yang dicarinya melainkan hanya seorang anak muda.
“Nak, dimana bapak tua yang menjaga toko ini beberapa bulan yang lalu?” tanyanya.
“Oh, dia ayahku, Tuan. Beliau sudah meninggal sebulan yang lalu, dan sayalah yang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”
“Ada apa Tuan menanyakannya?” si pemuda balik bertanya.
Ibrahim langsung menceritakan semuanya sejak ia masih berada di Makkah hingga pengalamannya saat berada di Qubbatus Shakhra. Mendengar cerita ini, sang pemuda itu terharu.
“Sekarang dua butir kurma itu telah saya ikhlaskan dan halal bagi Tuan.”
“Mungkin ibumu atau saudara-saudaramu yang lain masih berhak menuntut kurma itu. Untuk itu, aku mohon, Nak! Bawalah aku ke keluargamu! Aku akan minta keikhlasan hati mereka untuk menghalalkan dua butir kurma yang telanjur kumakan,” desak Ibrahim.
Pemuda si penjual kurma akhirnya sadar bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Ia heran, ternyata di dunia ini masih ada orang yang menjaga betul makanan yang masuk ke dalam perutnya. Lantas pemuda itu menunjukkan rumah ibunya. Setelah Ibrahim mengetuk pintu rumah yang dimaksudkan, maka keluarlah perempuan tua yang berjalan dengan sebilah tongkat.
“Apa keperluan, Tuan?” tanya perempuan itu.
Ibrahim segera menceritakan semua pengalamannya kembali. Sehingga perempuan tua itu terpana dan segera mengatakan, “Sudah… saya ikhlaskan dua butir kurma itu buat Tuan. Sekarang janganlah engkau bersedih lagi.”
“Bagaimana dengan anak-anak ibu yang lain?” sergah Ibrahim yang masih bersedih.
Anak-anak perempuan itu segera dipanggil semuanya. Setelah diceritakan apa yang dialami oleh Ibrahim, akhirnya mereka pun merelakan dua butir kurma itu. Mereka benar-benar takjub atas sikap Ibrahim, karena telah rela menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hanya untuk memperoleh keikhlasan soal dua butir kurma yang sudah dimakannya.
Kini, hati Ibrahim lega. Pikirannya sudah plong. Sudah tak ada lagi yang mengganjal di hati. Karena itu untuk meneruskan ibadah dan dzikirnya yang tertunda, ia balik lagi ke Baitul Maqdis. Tatkala telah berada di Qubbatus Shakhra, kembali dia mendengar dialog para malaikat.
“Dia datang lagi. Namun sekarang doa dan amalnya sudah tak terhalang lagi,” kata malaikat satu.
“Ya, karena dua butir kurma yang telah dimakannya sudah diikhlaskan oleh pemiliknya,” sahut malaikat lainnya.
“Subhanallah… subhanallah…,” rintih Ibrahim bersyukur. Air matanya berurai. Hatinya gembira. Ia pun berujar, “Demi Allah! Untuk menjalani sisa umurku ini, aku berjanji bahwa perutku ini hanya akan aku isi dengan makanan yang jelas-jelas halal.”
Sebuah pelajaran agung dari kisah di atas bahwa apapun yang kita makan haruslah jelas sumbernya, halal lagi baik (halalan thayyiban). Sebab, sekecil apapun makanan atau minuman yang tak jelas masuk ke dalam tubuh, bisa menyebabkan amal shaleh dan ibadah yang kita lakukan menjadi percuma. Mari kita teladani kisah Ibrahim bin Adham di atas.***
Sumber: Pustaka Al-Bahjah & Foto: Pexels/Riki Risnandar
