JENDELAISLAM.ID – Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk melestarikan kehidupannya, beda dengan binatang yang hidup bebas mengikuti hawa nafsunya tanpa adanya aturan.
Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Islam mengatur sedemikian rupa perangkat hukum yang sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha, dengan ijab kabul serta dihadiri para saksi.
Dalam kondisi seperti ini, perkawinan dianggap bukan saja sebagai momentum krusial, namun juga sebagai sesuatu yang sakral atau ibadah, sekali pun karakteristiknya berbeda dengan sesuatu yang dalam fiqih dianggap ibadah, seperti: shalat, puasa dan haji.
Nabi SAW bersabda, “Menikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, ia bukan termasuk umatku. Menikahlah karena aku akan senang atas jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Siapa yang telah memiliki kesanggupan, menikahlah. Jika tidak, berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali”(HR. Ibnu Majah).
Namun dalam tataran praktis, tak sedikit orang yang ragu-ragu untuk menikah. Banyak alasan yang menyebabkan mereka menunda-nundanya atau takut untuk menikah, seperti: merasa belum siap, kekhawatiran akan terkekang dan terbelenggu kebebasannya atau khawatir memikul beban yang sangat berat. Padahal sejatinya, Islam memperingatkan bahwa dengan menikah, Allah akan memberikan kepadanya jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan memberikan kekuatan utuk mengatasi kemiskinan.
“Dan nikahlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”(QS. an-Nur: 32).
Begitu pentingnya pernikahan, orang yang hidup untuk menjauhkan diri dari masalah duniawi, serta orang yang hidup hanya untuk mengabdikan diri untuk beribadah layaknya seorang pendeta sekali pun dipandang sebagai hidup yang berlawanan dengan fitrah dan menyalahi ajaran agama. Karena Nabi Muhammad pun yang jelas-jelas orang yang bertakwa kepada Allah, masih tetap berpuasa, shalat malam dan tidur, seta menikah pula.
Dalam catatan Ali ash-Shabuni, penulis buku “Nikah, Kenapa Mesti Ditunda?”ada beberapa manfaat kenapa pernikahan disyariatkan.
Pertama, untuk melanjutkan regenerasi. Inilah tujuan utama pernikahan, yakni bahwa dunia tetap dipenuhi oleh spesies manusia. Nafsu seks hanya diciptakan sebagai pemicu dan pendorong berketurunan.
Kedua, melindungi diri dari godaan syetan dan mencegah dari perbuatan maksiat. Sebab, jika nafsu bergejolak, sulit sekali akal maupun iman akan mampu melawannya.
Ketiga, untuk menenangkan jiwa, menentramkan hati serta mendapatkan kasih sayang satu sama lain. Dengan menikah, ketenangan itu bisa jadi melimpah, karena rindu itu menemukan muaranya, kasih sayang itu berada pada bingkai yang halal bahkan dinilai Allah sebagai ibadah.
Ini selaras dengan firman-Nya, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian kasih sayang…”(QS. ar-Rum: 21).
Tidak Bisa Dipahami secara Literal
Kendati disebutkan dalam beberapa teks hadits bahwa menikah adalah sesuatu yang sunnah, tapi dalam khazanah fiqih, ternyata menikah tidak selalu dihukumi sunnah.
Ungkapan “menikah adalah sunnah” tidak bisa dipahami secara literal dan berlaku secara mutlak. Memang, ungkapan ini merupakan motivasi agar setiap orang mengondisikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat. Namun realitasnya, bisa saja yang terjadi justru sebaliknya, dimana pernikahan juga bisa mendatangkan malapetaka.
Pernyataan Nabi SAW tentang “sunnah menikah” memang mengisyaratkan suatu perbuatan mulia jika seseorang melakukan sunnahnya, yakni menikah. Namun yang dimaksud “sunnah”, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani,adalah jalan yang biasa dilakukan Nabi SAW.
Ibnu Hajar menjelaskan, pernyataan tidak termasuk golonganku bagi yang tidak menikah, tidak serta-merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah jika penolakan itu karena alasan yang pantas. Kecuali jika penolakan itu berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidak-benaran menikah, maka ia bisa dianggap keluar dari agama Islam.
Oleh karenanya, ulama fiqih begitu cermat membaca teks hadits dalam konteks realitas kehidupan, sehingga hukum nikah tak selamanya sunnah, tapi bisa saja menjadi wajib, makruh, mubah atau haram. Menikah banyak berkaitan dengan kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan nafkah atau jaminan kesejahteraan.
Dimata Sayyid Sabiq, sebagaimana dijelaskan dalam “Fiqih Sunnah Jilid 2”, hukum menikah menjadi wajib tatkala orang sudah mempunyai kemampuan baik lahir maupun batin, ditambah dengan nafsu yang sudah bergejolak dan takut terjerumus dalam perzinaan. Karena itu, perlu mengambil langkah stategis untuk menghindari dari perbuatan haram dengan jalan pernikahan. Kalau kondisinya demikian, maka pernikahan menjadi sesuatu yang wajib.
Qurthubi membenarkan pernyatan di atas, dengan mengatakan bahwa seorang lajang yang sudah mampu menikah dan khawatir diri dan agamanya menjadi rusak, sedangkan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya kecuali dengan menikah, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah.
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai pemuda, jika di antara kamu ada yang mampu menikah, hendaklah ia menikah karena matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Jika ia belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu ibarat pengebiri” (HR. Jamaah).
Sebaliknya, bagi orang yang nafsunya bergejolak dan mampu menikah, namun masih bisa menahan dirinya dari berbuat zina, maka menikah baginya adalah sunnah.
Akan tetapi menikah bisa juga menjadi haram tatkala kemampuan tak dimiliki, nafsu pun tak bergolak, tak jujur dan justru menjadikan hak-hak seorang isteri atau suami tidak terpenuhi.
Qurthubi menambahkan, bila seorang laki-laki sadar bahwa dirinya tidak mampu menafkahi isterinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak isterinya, maka ia tidak boleh menikah, sebelum ia dengan terus terang menjelaskan tentang keadaan dirinya kepada calon isterinya, atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak isterinya. Begitu pula kalau karena sesuatu hal menjadi lemah, tidak mampu menggauli isterinya, maka ia wajib menerangkannya secara terus terang agar wanita yang ingin dinikahinya itu tidak merasa tertipu.
Apa yang dijelaskan Qurthubi ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya prinsip kejujuran. Seorang lelaki tidak boleh menipu dengan menyebutkan keturunan, harta dan pekerjaan yang palsu.
Demikian halnya perempuan, jika ia sadar dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak suaminya atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya karena sakit jiwa, kusta atau penyakit lainnya, maka ia tidak boleh menutup-nutupinya bahkan wajib menerangkan semuanya itu kepada laki-laki yang ingin menikahinya.
Lain lagi dengan seseorang yang lemah syahwat meski mampu mencukupi kebutuhan materi isterinya. Tentang hal ini, Ibnu Hajar mengatakan bahwa orang yang tidak mampu menikah, lemah syahwat hingga tak memungkinkan untuk berhubungan seksual misalnya, justru disarankan untuk tidak menikah.
Orang yang berada dalam kondisi seperti ini, menikah baginya adalah seuatu yang makruh. Dan bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah, maka hukumnya mubah.
Dengan demikian, pembicaraan “sunnah menikah” sejak awal harus dikaitkan dengan beberapa hal yang lebih mendasar; mampu atau tidaknya menafkahi, mampu atau tidaknya memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing, serta kemampuan mengendalikan syahwat atau sebaliknya. Hal ini berarti, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan atau mungkin kesiapan tertentu, ia tidak dikenai anjuran menikah.***
Sumber Foto: Pixabay/tommyvideo
