PBNU: Murur, Solusi Bijak Urai Kepadatan Mabit di Muzdalifah

JENDELAISLAM.ID – Pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur dapat menjadi solusi fiqih atas kepadatan jamaah di area mabit. Demikian putusan Bahtsul Masail Syuriyah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang ditandatangani oleh Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar dan Katib Aam PBNU KH. Ahmad Said Asrori di Jakarta pada Selasa, 19 Dzulqa’dah 1445 H/28 Mei 2024 M.

Sebelumnya, PBNU membahas hukum mabit di Muzdalifah dengan cara murur (melintas tanpa turun dari bus).  Menurut keputusan tersebut, mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah.

Oleh karena itu, jamaah haji yang melakukan murur tidak ada kewajiban membayar dam menurut pandangan ulama yang mensyaratkan pelaksanaan mabit di Muzdalifah tengah malam 10 Dzulhijjah Waktu Arab Saudi.

Begitu pula, pelaksanaan murur sebelum tengah malam di Muzdalifah, juga sudah cukup secara syariat dengan mengikuti pendapat sebagian ulama yang menganggap mabit di Muzdalifah sebagai sunnah haji, bukan wajib apalagi rukun haji. Dengan demikian, jamaah haji yang melakukan murur sebelum tengah malam juga tidak ada kewajiban membayar dam.

“Jika mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah,” tulis putusan Syuriyah PBNU.

Perlu diketahui bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah.

Pendapat pertama, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, menyebutkan bahwa mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji.

Pendapat kedua, sebagian sahabat nabi dan tabi’in, yaitu: Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair, al-Qamah, as-Sya’abi, an-Nakha’i, dan Hasan Basri, berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah termasuk rukun haji.

Pendapat ketiga, Abu Hanifah dan salah satu pendapat ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah termasuk kategori sunnah haji, sehingga tidak ada kewajiban membayar dam saat meninggalkannya.

Musyawarah bahtsul masail Syuriyah PBNU ini berangkat dari semangat untuk memberikan perlindungan keamanan jamaah haji dalam melaksanakan mabit di Muzdalifah. Sedangkan ibadah haji dengan murur di Muzdalifah tetap sah secara syariat.

Tahun ini, total kuota haji Indonesia pada tahun 1445 H/2024 M adalah 241.000, lebih banyak 20.000 dari tahun sebelumnya. Sudah barang tentu area mabit di Muzdalifah akan semakin padat oleh jamaah.  Ini dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan layanan jamaah haji, terutama di area Muzdalifah. Karena itu, murur bisa menjadi solusi bijak urai kepadatan jamaah yang mabit di Muzdalifah.

Para peserta yang hadir dalam musyawarah bahtsul masail syuriyah PBNU, para kyai syuriyah PBNU, yaitu KH. Afifuddin Muhajir, KH. Musthofa Aqiel Siroj, KH. Masdar F. Masudi, KH. Sadid Jauhari, KH. Abd Wahid Zamas, KH. Kafabihi Mahrus, KH. M. Cholil Nafis, KH. Muhibbul Aman Aly, KH. Nurul Yaqin, KH. Faiz Syukron Makmun, KH. Sarmidi Husna, KH. Aunullah A’la Habib (Gus Aun), KH. Muhyiddin Thohir, KH. Abdul Moqsith Ghazali, KH. Reza A. Zahid (Gus Reza), KH. Tajul Mafakhir (Gus Tajul), Habib Luthfi al-Athas, dan KH. Abd Lathif Malik (Gus Latif).***

Sumber Teks & Foto: NU Online