JENDELAISLAM.ID – Kepada siapa saja, zakat yang berasal dari muzakki akan disalurkan?
Tentulah kepada orang yang sangat berhak saja. Tidak boleh sembarang orang. Mereka yang berhak menerima zakat inilah yang disebut dengan istilah mustahik.
Secara eksplisit, al-Qur’an menyatakan bahwa ada 8 kelompok orang yang termasuk kategori mustahik.
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. at-Taubah: 60).
1. Fakir
Fakir dan miskin adalah golongan yang disebutkan lebih awal mengingat sasaran zakat untuk menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat. Menurut pendapat yang terkuat, fakir adalah orang sangat membutuhkan daripada miskin.
Dengan kata lain, orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta juga pekerjaan untuk memenuhi penghidupannya. Pendapat ini dikemukakan Syafi’i dan jumhur ulama sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Bari.
2. Miskin
Pengertian miskin hampir sama dengan fakir. Bedanya, kalau fakir tidak punya apa-apa untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan miskin adalah orang yang mungkin memiliki sesuatu yang bisa menghasilkan, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Kata “miskin” ini disebutkan dalam firman-Nya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…” (QS. al-Kahfi: 79).
Jelas, di dalam teks tersebut menyebut mereka (orang-orang miskin) padahal mereka memiliki kapal. Artinya apa? Miskin adalah orang yang memiliki harta, namun belum mencukupi kebutuhannya. Jadi, baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, tetapi fakir lebih parah kondisinya ketimbang miskin.
3. Amil Zakat
Amil zakat (pengurus zakat) adalah orang-orang yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai bendahara dan para penjaganya, juga mulai pencatat, penghitung yang mencatat keluar masuknya zakat hingga petugas yang membagikan zakat kepada mustahik.
Tetapi untuk menjadi amil, ada beberapa syarat, yaitu:
a. Muslim
b. Merdeka
c. Mukallaf, yaitu orang dewasa dan sehat akalnya
d. Jujur
e. Paham hukum-hukum zakat
f. Mampu melaksanakan tugas
Mengingat amil itu melaksanakan tugas-tugas berkenaan dengan penggalian sumber zakat sekaligus pembagiannya, maka amil pun berhak mendapatkan upah sesuai kepantasan. Tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan.
Meskipun amil berlatar ekonomi yang berkecukupan, ia tetap berhak menerima bagian. Amil mendapatkan bagian bukan karena berupa pertolongan bagi yang membutuhkan melainkan bagiannya adalah upah atas kerjanya.
4. Golongan Muallaf
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam 4 menerangkan bahwa muallaf adalah orang yang dibujuk/dijinakkan hatinya agar cenderung kepada Islam. Muallaf ini meliputi kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim.
Muallaf yang termasuk kategori Muslim adalah orang yang baru masuk Islam, pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam dan mempunyai sahabat-sahabat orang kafir.
Adapun yang termasuk kategori non-Muslim terdiri dua golongan. Pertama, kelompok orang kafir yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok dan keluarganya.
Dalam sejarah penaklukkan Makkah (Fathul Makkah), Rasulullah SAW memberi jaminan keamanan kepada Safwan bin Umayyah. Dia punya kesempatan selama empat bulan untuk berpikir dan menentukan pilihan. Setelah beberapa lama menghilang, ternyata Safwan bin Umayyah turut berperang bersama kaum Muslim dalam Perang Hunain, padahal waktu itu ia belum masuk Islam. Setelah perang usai, Rasulullah SAW justru memberinya beberapa ekor unta.
Pemberian kepada Safwan ini terjadi berulang kali sehingga Safwan luluh hatinya dan akhirnya memutuskan untuk masuk Islam.
Imam Muslim dan Tirmidzi merekam peristiwa ini melalui Said bin Musayyib bahwa Safwan bin Umayyah berkata,“Demi Allah, Rasulullah SAW telah memberi kepadaku, padahal beliau adalah orang yang paling kubenci, tetapi beliau tidak pernah berhenti memberi kepadaku, sehingga beliau menjadi orang yang paling kucintai” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).
Kedua, kelompok orang yang dikhawatirkan akan berbuat bencana. Zakat yang diberikan kepada kelompok ini diharapkan dapat mencegah bencana yang mereka perbuat.
Imam at-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan ada suatu kaum datang kepada Nabi SAW yang apabila mereka diberi (bagian dari zakat), mereka memuji Islam dengan menyatakan, “Inilah agama yang baik.” Akan tetapi apabila mereka tidak diberi, mereka mencelanya. Di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, Aqra’ bin Habis, dan Uyainah bin Hisn. Nabi SAW memberi 100 ekor unta kepada masing-masing.
Semua kelompok tersebut di atas, menurut Sayid Sabiq dan Yusuf Qardawi, termasuk dalam kategori golongan muallaf.
Akan tetapi Imam Syafi’i dan Fakhruddin ar-Razi punya pendapat berbeda. Menurut pendapat yang kedua ini, golongan muallaf adalah yang baru masuk Islam. Sedangkan orang yang belum masuk Islam, belum berhak mendapatkan zakat.
Imam Syafi’i dan ar-Razi menyebut bahwa harta yang diberikan oleh Rasulullah SAW bukanlah berasal dari harta zakat melainkan dari harta fai’ (rampasan perang). Sebab, kewajiban zakat itu dikenakan kepada kaum Muslim (kaya) dan peruntukannya juga dikembalikan kepada kaum Muslim (yang miskin).

Illustrasi: Ibnu Sabil merupakan salah satu orang yang berhak menerima zakat (Foto: Pexels/Fatih Maraşlıoğlu)
5. Untuk Memerdekakan Budak (Riqab)
Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, menafsiran ar-Riqab (memerdekakan budak) sebagai kalangan yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang akan menerima ganti kemerdekaan budak itu. Untuk itulah para pihak yang berbuat demikian itu yang berhak mendapatkan bagian zakat.
Namun Mahmud Syaltut menafsirkan ar-riqab secara luas, bukan saja menyangkut pembebasan budak, tetapi juga upaya membebaskan negara-negara yang masih terjajah, secara politik, ekonomi, maupun ideologis. Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan dan mengekang kebebasan warganya.
Masih menurut Syaltut, perbudakan yang ditunjuk dalam QS. at-Taubah: 60, itu sudah tidak ada lagi faktanya di dunia sekarang. Karena itu, Syaltut menggunakan pendekatan qiyas.
Dia menganalogikan penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam. Dan illat (sebab) yang mengikat antara memerdekakan budak pada masa awal Islam dengan memerdekakan bangsa terjajah adalah menyingkirkan kesulitan dan menjauhkan nestapa manusia.
6. Orang yang Berhutang (Gharim)
Orang yang terlilit hutang termasuk mustahik. Ada dua golongan bagi orang yang mempunyai hutang. Golongan pertama, golongan yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan diri sendiri (gharim limaslahati nafsihi), seperti: untuk nafkah, membeli pakaian, mengobati orang sakit. Termasuk kategori ini adalah orang yang terkena bencana.
Golongan kedua adalah orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan orang lain (gharim limaslahati ghairihi), seperti: mendamaikan dua golongan yang bermusuhan, orang yang bergerak di bidang sosial (yayasan anak yatim, rumah sakit untuk fakir, anak yatim piatu dan lain-lain).
Syarat-syarat gharim boleh menerima zakat adalah:
a. Beragama Islam
b. Miskin
Syarat ini berlaku pada gharim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada gharim limaslahati lighairihi, syarat ini tidak berlaku. Artinya, kelompok kedua ini boleh menerima zakat meskipun dia kaya.
c. Bukan untuk maksiat
d. Tidak mampu mencari penghasilan lagi
7. Di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “fi sabilillah”. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung meluaskan makna dan yang menyempitkan makna.
Sebagian ulama bersikeras bahwa makna “fi sabilillah” tetap berjihad secara fisik, seperti pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Sementara itu, para ulama kontemporer cenderung meluaskan maknanya.
Menurut kalangan ulama kontermporer ini, kata “fi sabilillah” tidak sebatas perang fisik belaka, melainkan juga berjuang untuk berbagai kepentingan dakwah. Di antara ulama yang meluaskan arti “sabilillah” adalah: Imam Qaffal, Mazhab Ja’fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, ar-Razi, Syeikh Syaltut, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Faris dan Dr. Yusuf Qardawi.
Lebih tegasnya, Yusuf Qardawi memperluas arti “fi sabilillah” bukan terbatas pada peperangan dan pertempuran fisik dengan senjata saja, melainkan termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam.
Yusuf Qardawi menyebutkan contoh bentuk jihad non-fisik, bisa dengan cara:
a. Membangun pusat-pusat dakwah (al-markaz al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non-Muslim di berbagai benua.
b. Membangun pusat-pusat dakwah (al-markaz al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan berpikir, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam.
c. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya.
d. Biaya pendidikan sekolah Islam yang bisa melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/dai yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.
8. Ibnu Sabil
Menurut jumhur ulama, ibnu sabil adalah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang melintas dari suatu daerah ke daerah lain. Orang seperti ini mempunyai hak dari zakat, walaupun ia kaya apabila ia kehabisan bekal.
Ibnu Zaidmengatakan, ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila terkena suatu musibah atas hartanya, atau ia telah habis bekalnya.
Ibnu sabil termasuk salah satu kelompok yang berhak menerima zakat. “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan” (QS. al-Baqarah: 215).
Satu lagi ayat yang memperkuat bahwa ibnu sabil termasuk mustahik adalah, “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat” (QS. al-Baqarah: 177).***
Sumber Foto: Pixabay/aamiraimer
