Kisah Bakti Uwais al-Qarni, Gendong Ibunya untuk Menunaikan Ibadah Haji

JENDELAISLAM.ID – Pemuda itu melintasi sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta dari Yaman menuju Makkah. Berminggu-minggu ia melakukan perjalanan mission impossible sejauh 600 km ini dengan penuh ikhlas dan sabar.  

Impian Sang Ibu

Dulu, di Yaman ada seorang pemuda yang tubuhnya belang-belang. Namanya Uwais al-Qarni. Ia adalah pemuda saleh dan berbakti pada ibunya yang sudah tua dan lumpuh. Dengan telaten, Uwais merawatnya dan memenuhi semua permintaannya. Namun ada satu permintaan yang sulit ia wujudkan.

“Nak, mungkin ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu. Usahakan agar ibu dapat menunaikan ibadah haji,” pinta ibunya.

Sejenak Uwais terdiam, perjalanan ke Makkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Ia berpikir bagaimana caranya menempuh perjalanan sejauh itu. Jaraknya sangatlah jauh, belum lagi badai yang sewaktu–waktu datang.  

Namun akhirnya ia menemukan sebuah ide. Ide brilian yang mungkin orang lain akan menganggapnya aneh dan tak masuk akal.

Uwais, hari itu pamit pada ibunya untuk pergi ke pasar ternak. Sang ibu memberi restu. Di salah satu sudut pasar, pemuda ini membeli lembu kecil. Setelah harganya cocok, pemuda berwajah belang ini membawanya pulang dengan memanggulnya.

Aneh bukan, ia diminta agar keinginan ibunya bisa naik haji, kok malah membeli anak lembu. Lebih aneh lagi, ia membuat kandang lembunya jauh dari tempat mereka tinggal. Kandang itu ia buat di atas bukit. Padahal biasanya orang yang mempunyai hewan peliharaan, tentulah kandangnya tidak jauh dari hewannya.

Setelah kandang siap pakai, Uwais langsung mengambil anak lembu tersebut dan menggendongnya. Ia bawa lembu itu ke kandang yang ada di atas bukit, begitu pun ketika lembu itu mau turun, Uwais menggendongnya turun, begitu seterusnya. Uwais tidak peduli dengan orang-orang yang mengejeknya. Bahkan banyak yang menganggapnya sinting, gila, aneh dan sebagainya.

Terang saja, rutinitas “nyleneh” ini menambah daftar cemoohan orang padanya, yang memang bagi Uwais sendiri merupakan menu akrab sejak sepeninggal ayahnya, Amir ibn Juz ibn Murad al-Qairani. Lebih-lebih setelah Uwais mengidap penyakit belang. Panggilan gila sering mampir di telinganya.

Uwais cuek saja atas cemoohan terhadapnya. Ia tetap melakukan pekerjaan itu dengan rutin. Tak sehari pun terlewatkan tanpa menggendong lembu naik turun bukit.  

Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais untuk menggendongnya. Tetapi karena sudah biasa menggendongnya tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak begitu terasa beratnya.

Jalan Kaki dan Menggendong Ibunya

Delapan bulan berlalu. Dan lembu anakan itu beratnya sudah mencapai 100 kg. Bayangkan, bagaimana tenaga Uwais yang sanggup menggendong lembu seberat itu. Tentulah Uwais sangat kuat. 

Orang lain boleh menertawakan dirinya karena bolak-balik, turun naik dari rumah ke puncak bukit, dengan  menggendong lembu, selama sekitar 8 bulanan. Mereka tidak tahu maksud dan tujuan Uwais yang sebenarnya.

Setelah niatan Uwais bertingkah seperti itu ternyata untuk melatih fisiknya agar kuat menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, barulah orang-orang yang tadinya memandangnya aneh bahkan gila, memahami kelakuan Uwais.  

Subhanallah. Mulia sekali pemuda shaleh itu. Uwais betul-betul serius mempersiapkan fisiknya. Maklumlah, ibunya lumpuh sementara sang ibu berharap bisa menunaikan ibadah haji sebelum ajal menjemput. Mungkin, tak ada zaman sekarang ini yang sanggup mewujudkan niatan itu dengan cara seperti yang dilakukan Uwais.

Illustrasi: Jamaah menjalankan ritual haji (Foto: Unsplash/Ibrahim Uz)

Musim haji telah tiba.  

“Ibu, mari kita berangkat haji!” ucap Uwais pada ibunya.

“Dengan apa, Nak? Mana ada bekal untuk ke sana?” sahut sang ibu kaget.

“Mari, aku gendong ibu. Perbekalan insya Allah cukup. Fisikku insya Allah sudah cukup kuat!” ujar Uwais meyakinkan sang ibu.

Wanita tua itu meneteskan air mata. Hari itu, Uwais mulai melakukan perjalanan, melintasi sahara panas dengan menggendong sang ibu tercinta dari Yaman menuju Makkah. Perjalanan itu ia tempuh berminggu-minggu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.  

Sampai akhirnya Ka’bah berada persis di depan matanya. Mereka berdua pun menunaikan ibadah haji. Sambil tetap menggendong ibunya, saat melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah), mereka berdoa.

“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.

“Bagaimana dengan dosamu, Nak?” tanya ibunya heran.

“Jika dosa ibu terampuni, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga,” jawab Uwais.

Dua Sahabat Nabi SAW Mencari Uwais

Bakti Uwais pada ibunya sungguh luar biasa. Allah SWT pun memberikan kenikmatan-Nya pada Uwais seketika itu –saat masih melaksanakan ibadah haji. Pemuda itu sembuh dari penyakit belang-belangnya. Hanya tertinggal bulatan putih di tengkuknya.

Bulatan itu sengaja disisakan sebagai petanda agar Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat Nabi SAW, dapat mengenali Uwais. Sebab Nabi SAW sebelumnya pernah berpesan,  “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdua untuk kamu berdua.”

Setelah Nabi SAW wafat, hingga tongkat estafet beralih dari kekhalifahan Abu Bakar  kepada  Umar bin Khattab,  khalifah Umar teringat sabda Nabi SAW tentang Uwais al-Qarni. Ia segera mengajak sahabat Ali  bin Abi Thalib untuk mencarinya bersama-sama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, mereka berdua menanyakan tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka. 

Uwais al-Qarni adalah sosok tabiin yang hidup di masa Rasulullah. Karena tidak pernah berjumpa dengan Nabi SAW, maka ia bukan berkategori sahabat. Sebab definisi sahabat adalah hidup di masa Rasulullah, beriman kepadanya, dan pernah berjumpa atau melihat wajah Rasulullah meski sekali.

Dari kisah keteladanan Uwais, kita bisa berintrospeksi, sudah sejauhmana kita berbakti pada orang tua kita?

Allah SWT berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. al-Isra: 23-24).***

Sumber Foto: Unsplash/Sergey Pesterev