JENDELAISLAM.ID – Suatu hari, Abdullah bin Faraj al-Abid mencari seorang tukang batu untuk memperbaiki rumahnya. Di pasar, tempat para tukang biasanya mangkal, dia melihat seorang pemuda berkulit kuning, mengenakan jubah dan sarung wol putih.
Abdullah bertanya, “Apakah kamu sedang mencari pekerjaan?”
Pemuda itu menjawab, “Ya, saya sedang mencari pekerjaan.”
“Berapa upah yang kamu minta?” tanya Abdullah.
“Punya satu dirham. Tapi saya memiliki syarat,” jawab pemuda itu.
“Apa syaratnya?” tanya Abdullah.
“Pada waktu adzan Zhuhur berkumandang, saya akan keluar, berwudhu, dan shalat berjamaah di masjid. Begitu pula jika adzan Ashar terdengar,” jelas pemuda itu.
“Baiklah, saya setuju!” jawab Abdullah.
Abdullah membawa pemuda itu ke rumahnya. Pemuda itu bekerja tanpa banyak bicara. Ketika terdengar adzan Zhuhur, dia memberitahu Abdullah, “Tuan Abdullah, muadzin memanggil!”
“Silakan, silakan shalat!” jawab Abdullah.
Pemuda itu kemudian pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Setelah shalat, dia kembali ke rumah Abdullah.
Abdullah menceritakan kejadian itu kepada Raja Harun ar-Rasyid dengan penuh kagum. Mendengar cerita tersebut, sang raja tersenyum.
“Abdullah, pemuda yang kamu ceritakan itu sebenarnya adalah putraku!” ungkap Ar-Rasyid.
“Bagaimana bisa?” tanya Abdullah bingung.
“Ia lahir sebelum saya menjadi raja. Dia tumbuh dengan baik dan memperdalam ilmu agama serta al-Qur’an. Ketika saya menjadi raja, dia meninggalkan semua kemewahan dan harta milikku. Saya memberikan cincin Yaqut ini kepada ibunya, dengan pesan agar diberikan kepadanya sebagai simpanan. Anak itu sangat berbakti kepada ibunya, bahkan setelah ibunya wafat. Setelah itu, saya kehilangan kontak dengannya sampai kamu datang menemuiku hari ini,” jelas sang raja.
Putra mahkota itu memilih jalan kebajikan dan kebaktian, meninggalkan segala kemewahan dan kekuasaan. Ini menjadi teladan di tengah maraknya korupsi di kalangan para pemimpin.***
Sumber Teks: Alonesia.com & Foto: Istimewa
