JENDELAISLAM.ID – Judi online kini tengah menuai sorotan tajam. Pemerintah sendiri sudah membentuk Satuan Petugas Pemberantasan Judi Online.
Baca juga: Muhammadiyah Apresiasi Langkah Tegas Pemerintah dalam Memberantas Judi Online
Baca juga: Kominfo Blokir 2,1 Juta Situs Judi Online
Atas fenomena praktik judi online ini, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Miftahul Huda, menegaskan bahwa praktik judi merupakan perbuatan terlarang dan hukumnya haram.
Dalam QS. al-Maidah: 90 menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Ini isyarat bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar yang sangat berbahaya dan besar mudharatnya.
Baca juga: Judi Online, Ancaman Serius terhadap Moral dan Ekonomi Bangsa
Mudharat dari judi di antaranya: memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan. Selan itu, judi juga menjadikan seseorang malas beribadah serta lalai kepada Allah SWT.
Dari aspek lain, lanjut Kyai Miftah, judi juga dapat menyebabkan kemiskinan dan merusak hubungan rumah tangga.
Pertanyaannya, bagaimana hukum menghidupi keluarga dari hasil perjudian?
Kyai Miftah menjelaskan bahwa apabila seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan isteri) mengetahui sesuatu yang ia makan adalah haram, maka wajib baginya untuk meninggalkan (tidak memakannya). Sebab, kelak akan ada pertanggung-jawabannya di akhirat.
Kyai Miftah menerangkan, darah yang mengalir dalam tubuh dari hasil sesuatu yang haram, maka akan membentuk tubuh, jiwa dan tabiat yang tidak baik.
Demikian halnya, seorang yang makan karena ajakan teman, sementara ia mengetahui bahwa makanan yang tersaji adalah haram, maka haram baginya memenuhi ajakan tersebut. Sebab, memakan makanan haram adalah dosa.
Kyai Miftah menukil pernyataan Imam Nawawi dalam kitab “Raudhatut Thalibin,” jilid 7. Dalam kitab itu menyebutkan, seorang Muslim yang mendapat undangan dari seseorang, yang sebagian besar hartanya haram, maka makruh baginya untuk memenuhi undangan tersebut, sebagaimana ia makruh untuk melakukan transaksi dengannya. Jika ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan haram, maka haram baginya untuk memenuhi undangan tersebut.”
Oleh karena itu, Kyai Miftah mengingatkan, bila seseorang mengetahui makanan yang dimakan merupakan hasil judi, maka sebaiknya pihak keluarga tidak memakannya kecuali dalam kondisi darurat.
Lantas, bagaimana sebaiknya keluarga menyikapi hal ini?
Kyai Miftah menjelaskan, seorang anak atau isteri yang mengetahui ayah atau suaminya main judi, alangkah baiknya senantiasa mengingatkan bahwa hukum menafkahi keluarga dari harta yang haram adalah haram.
Selain itu, imbunya, menafkahi keluarga dari harta yang haram akan menimbulkan dampak negatif bagi kedua belah pihak.***
Sumber Teks & Foto: MUI
