Kurban Ajarkan Kepekaan Sosial 

JENDELAISLAM.ID – Sebentar lagi, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idul Adha  atau hari raya kurban. Hari yang istimewa dan penuh makna. Inilah momentum bagi umat Islam yang mampu (istitha’ah) bisa melangsungkan rangkaian ibadah yang sangat mulia, yakni menyembelih binatang kurban (udhiyah).

Pada hari itu, umat Islam menyembelih hewan kurban, seperti: domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.  Setelah penyembelihan hewan kurban, dagingnya dibagi terutama kepada fakir miskin, kaum dhuafa dan yang membutuhkan.

Ini mengisyaratkan bahwa bagi orang yang berkemampuan selalu diingatkan untuk tidak egois, tidak rakus, tidak pula serakah, melainkan harus tetap mawas diri dan peduli terhadap masalah sosial di sekitarnya.

Meneladani Kisah Ibrahim

Dalam sejarah, peristiwa berkurban ini sudah ada sejak masa Nabi Adam yang berlanjut pada peristiwa besar masa Ibrahim dan umat Islam mengamalkannya hingga kini.

Dalam QS. al-Kautsar: 2 menyebutkan, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.”

Perintah kurban mulai diperintahkan kepada dua putra Nabi Adam AS, yakni Habil yang berprofesi sebagai petani dan Qabil seorang peternak. Keduanya diminta untuk berkurban dengan harta terbaik yang mereka miliki.

Peristiwa kurban dua anak manusia itu dikisahkan dalam QS. al-Maidah: 27, ”Dan ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Setelah Adam, perintah berkurban juga datang kepada Nabi Ibrahim AS. Saat itu, Ibrahim baru saja memiliki seorang putra bernama Ismail, dari isterinya bernama Hajar. Ibrahim sangat gembira mengingat memang sudah menunggu datangnya seorang anak sekian lama.

Namun di tengah kebahagiaannya, datanglah sebuah perintah Allah SWT kepadanya melalui sebuah mimpi, ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia pun menjawab, ”Wahai Ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar” (QS. as-Shaffat: 102).

Mendapat jawaban dari putranya yang melegakan, Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sepi di Mina. Ketika pisau telah diarahkan ke arah leher Ismail, lalu Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba yang besar.

”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”’ (QS: as-Shaffaat: 107-110).

Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan berat seorang Nabi. Pasalnya, Ibrahim sudah menunggu kelahiran seorang anak setelah mengharap demikian lamanya, tapi begitu hadir dan sedang menikmati kebahagiaannya, rupanya Tuhan mengujinya agar ikhlas mengurbankannya.

Yang terungkap dari pesan agama ini adalah ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada perintah Tuhan.

Dari sini juga terlihat bahwa pengurbanan sesungguhnya bukan hanya harta benda, melainkan juga jiwa, raga, hati dan pikiran yang semata-mata karena Allah. Seorang yang beriman, akan memberikan sesuatu yang paling dicintainya kepada Allah SWT, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS.

Pesan Berkurban

Dengan mencermati kisah dramatis peristiwa Ibrahim dan Ismail di atas tentu menjadi alasan penting kenapa Islam sangat menganjurkan untuk berkurban.

Pertama, berkurban adalah bagian dari cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Perintah Allah kepada Ibrahim untuk mengurbankan anaknya, Ismail, merupakan sebuah peristiwa besar yang mengajarkan bahwa kecintaan seorang ayah terhadap anaknya, jangan sampai mengalahkan kecintaan terhadap Allah SWT.

Betapa pun Ibrahim sangat mencintai anaknya, tetapi perintah Allah SWT haruslah dipatuhi. Ibrahim rela dan lapang dada untuk mengurbankan anaknya sendiri yang sangat berharga ketika diminta oleh Tuhan.

Kedua, berkurban mempunyai dimensi kemanusiaan yang sangat luas. Bentuk kepedulian terhadap masalah sosial ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban.

Ali Syari’ati (1997) mengatakan bahwa ritual kurban bukan hanya bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan.  Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir.

Ketiga, berkurban berarti harus melenyaplam sifat kebinatangan dalam diri.  M. Quraish Shihab (1998) mengatakan bahwa apa yang Ibrahim lakukan, sebenarnya upaya melawan sifat kebinatangan yang pada dasarnya ada pada diri setiap manusia, seperti: sifat tamak, egois, zalim, hasrat berlebihan, dan sifat-sifat buruk lain.

Kesalehan Sosial

Memang waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun bukan berarti pesan berkurban pada momentum itu saja. Tidak, tetapi pada momentum lain di luar hari raya Kurban, Islam pun terus menggelorakan sikap saling berbagi, saling peduli, dan peka terhadap masalah-masalah sosial.  Semangat berkurban harus senantiasa melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam kurban itu juga terdapat pesan penting bahwa kesalehan individu haruslah berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Jangan sampai njomplang, yakni memupuk ibadah-ibadah yang sifatnya sangat personal sekali, seperti: shalat, berpuasa, bahkan beribadah haji berkali-kali, namun lupa tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya.

Kita juga mesti peka terhadap kondisi masyarakat dimana kita tinggal, apabila ada di antara sekitar kita yang kelaparan, kesakitan dan sebagainya, maka kita berkewajiban menyantuninya. Salah satu medianya adalah dengan berkurban.

Mari di hari raya Idul Adha ini, kita bersama mengurbankan hawa nafsu, membuang sikap egois dan menghilangkan sifat kebinatangan dari dalam diri kita. Kita teladani Ibrahim AS dan Ismail AS, perjuangan dan kepatuhan mereka kepada Tuhan, agar kita bisa mentransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.***

 Sumber Foto: Pexels/Matthias Zomer