JENDELAISLAM.ID – Lahir dari rahim masa penjajahan membuat pesantren ini sarat pengalaman. Pesantren tetap survive sekali pun dihantam oleh gelombang pasang surut.
Pesantren yang dikelola secara kolektif ini terletak di Desa Arjawinangun, tepatnya di Jl. Kali Baru timur (sekarang dikenal dengan Jl. KH. Syathori) No. 10-12 Arjawinangun Cirebon.
Penggagas Pesantren
Siapa tokoh penggagas pesantren? Dialah KH. Sanawi bin Abdullah. Sayangnya, tak ada penanda kapan berdirinya secara pasti, karena tidak ada bukti otentik yang bisa ditelisik. Tetapi, dimungkinkan sudah berdiri di awal abad XX mengingat KH. A. Syathori, sang putra, kembali ke kampungnya setelah thalabul ilmu pada tahun 1932. Saat itu, aktivitas pesantren sudah berjalan di bawah kepemimpinan KH. Sanawi.
Lazimnya sebuah rintisan pendidikan di masa awal KH. Sanawi, tentu masih sangat sederhana. Apalagi kala itu masih dalam masa penjajahan. KH. A. Syathori sebagai generasi penerus sepeninggal ayahnya mengemban amanat hingga tahun 1969.
Di bawah komando KH. A. Syathori, pesantren berkembang cukup siginivikan. Baik menyangkut sistem pendidikan pesantren maupun pembangunan fasilitas pondok. Di bidang pendidikan, misalnya, beliau menggunakan metode yang sudah lumrah di kalangan pesantren, yakni bandongan dan sorogan.
Tidak cukup di situ, sistem madrasah (klasikal) mulai diperkenalkan. Proses pendidikan pesantren dengan sistem terakhir ini dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan sebutan Sifir Awal (Nol Pertama), Sifir Tsani (Nol Kedua), Sifir Tsalits (Nol Ketiga). Setiap Sifir memiliki tiga jenjang A, B dan C sehingga semuanya berjumlah sembilan jenjang. Sebutan ini, pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Ibtidaiyah (Enam tahun) dan Tsanawiyyah (tiga tahun).
Sepeninggal KH. A. Syathori, pondok pesantren dikelola secara kolektif oleh para menantunya, yaitu yaitu KH. A. Baidlowi, KH. Muhammad Asyrofuddin dan KH. Mahfudz Thoha, Lc. Karena saat itu putra KH. A. Syathori (KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah) baru berusia 20 tahun dan masih menimba ilmu di berbagai tempat.
Barulah setelah KH. Abdurrahman Ibnu Ubaidillah kembali ke Tanah Air pada tahun 1981, kepemimpinan pesantren dikembalikan kepadanya hingga sekarang dengan dibantu oleh kakak-kakak dan beberapa keponakannya yakni Prof. Dr. KH. Khozin Nasuha, Drs. KH Husein Muhammad, KH. A. Zaeni Dahlan, Dr. KH. Ahsin Sakho, Kyai Luthfillah Baidlawi dan KH. Mahsun Muhammad, MA., Kyai Dr. Marzuki Wahid dan Kyai Faqihuddin Abdul Kadir, M.A.
Renovasi bangunan fisik pesantren pun kembali digalakkan oleh KH. Ibnu Ubaidillah Syathori. Pesantren yang awalnya dikenal dengan nama al-Ma’had al-Islami, namanya kemudian disesuaikan menjadi Ma’had Dar al-Tauhid al-‘Alawi al-Islami. Kemudian disederhanakan lagi menjadi Ma’had Dar al-Tauhid al-Islami. Di tangan beliau, beberapa perubahan dan perkembangan dalam sistem pendidikan pesantren juga terjadi. Berbagai lembaga lain non-pendidikan juga berkembang melengkapi aktivitas yang sudah ada di pesantren.
Hingga kini, sejumlah lembaga pendidikan hadir di sini, yaitu Madrasah Tahfidz al-Qur’an, Madrasah Dar al-Tauhid Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyah, Ma’had ‘Aly, Markaz Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah, Majlis Taklim Kaum Ibu, Madrasah Aliyah Nusantara, Madrasah Aliyah Keagamaan, SMP Plus Dar al-Tauhid, TK Islam Wathoniyah, TKA/TPA Dar al-Tauhid, Sekolah Luar Biasa, sub A (Tuna Netra), sub. B (Tuna Rungu) dan sub. C, Panti Asuhan Anak, Ko-Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Baitul Mal wa al-Tamwil, Pusat Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren dan Masyarakat (P2EPM), LP2NU, serta Panti Sosial Anak Asuh (PSAA).
Dengan segudang kiprah di dalamnya, praktis membuat nama pesantren harum dan selalu lekat dengan masyarakat.
Santri dan Kitab Kajian
Sistem boarding diterapkan di pesantren ini. Tetapi, pesantren ini juga terbuka untuk warga setempat yang ingin belajar. Tak heran, ada para santri yang menetap (mondok) dan ada pula yang tidak menetap (ngalong).
Dari sekian banyak santri di pesantren ini, sebagian mengikuti pelajaran yang sepenuhnya diselenggarakan di Dar al-Tauhid dalam bentuk Madrasah Diniyyah Dar al-Tauhid dan pengajian kitab kuning yang diselenggarakan dengan model non-klasikal. Kelompok ini dikenal dengan sebutan santri dalam.
Tetapi ada pula santri yang mengikuti pelajaran pesantren melalui pengajian kitab kuning dan pada saat yang sama mereka juga mengikuti pendidikan formal di luar pesantren, seperti ada yang sekolah di MA Nusantara, SMP Plus Dar al-Tauhid, MTsN, SMPN, SMAN dan sejumlah lembaga pendidikan yang letaknya berada di luar komplek. Kelompok kedua ini dikenal dengan santri luar.
Seperti layaknya pesantren kebanyakan, Dar al-Tauhid juga mengaji beragam kitab kuning. Kitab-kitab ini pun digunakan sebagai referensi pengajaran di madrasah, di antaranya adalah Kitab Tuhfah al-Athfal, Kharidah Bahiyyah, Sullam Munajat, Syabrawiy Awamil, Qawa’id I’lal Amtsilati, Washaya al-Aba’ li al-Abna’, Khulashah Nur al-Yaqin, Lughah Takhattub, Nazham al-Jazariyyah, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Sullam al-Taufiq, al-Ajrumiyyah, Qawa’id al-Sharaf, al-Tahliyyah wa al-Targhib, Kifayah al-Awam, Taqrib, Imrithiy Qawa’id al-I’rab, Nazham Maqshubh, Abu Jamrah dan al-Muhadatsah al-Yaumiyyah.
Selain pengajaran harian kitab-kitab di atas, juga ada ngaji pasaran yang diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Ngaji pasaran ini dilaksanakan secara intens di bulan Ramadhan dengan mengaji kitab Kutubus Sittah (enam kitab hadits) secara estafet setiap Ramadhan.
Itulah Pesantren Dar al-Tauhid yang cukup tua di daerah Arjawinangun Cirebon. Sumbangsihnya tentu tak sedikit. Para alumninya sudah banyak berkiprah di mana-mana. Ada yang meneruskan perjuangan para gurunya sebagai pendiri dan pengasuh pesantren, ada juga yang menjadi guru, birokrat, politisi, pedagang, petani, nelayan, tentara, serta profesi-profesi lainnya. Semua alumni yang bertebaran di berbagai daerah itu terwadahi dalam organisasi bernama HAMADA (Himpunan Alumni Ma’had Dar al Tauhid).***
(Foto: Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun)
