Perdebatan Nasab Rasulullah SAW Ramai di Indonesia, Gus Baha Berikan Pencerahan

Gus Baha Gus Baha

JENDELAISLAM.ID – Perbincangan mengenai nasab atau garis keturunan belakangan ini ramai diperbincangkan di Indonesia, terutama terkait dengan nasab Rasulullah SAW.

Isu ini menjadi perhatian publik karena melibatkan kelompok yang mengklaim diri sebagai keturunan Nabi, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan habib, habaib, syarif, atau sayyid.

Di satu sisi, kelompok ini bangga dengan status mereka sebagai keturunan Rasulullah, sementara di sisi lain, terdapat kelompok yang meragukan bahkan menolak klaim tersebut. Mereka mempertanyakan keabsahan jalur nasab yang diklaim dan menilai bahwa tidak ada hubungan langsung dengan Rasulullah.

Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang akrab disapa Gus Baha, memberikan pandangannya terkait perdebatan ini.

Dalam ceramahnya yang disampaikan pada acara haul Kiai Ahmad Mutamakkin di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah pada Kamis (27/7/2023), Gus Baha menegaskan pentingnya tidak menjadikan nasab sebagai ajang untuk gagah-gagahan.

“Nasab itu jangan dijadikan untuk gagah-gagahan. Nasab yang baik seharusnya menjadi sarana untuk mengontrol diri,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya yang dikutip dari tayangan Takhtimul Quran Binnadhor Tahlil Haul & Mauidhoh Hasanah Haul Mbah Ahmad Mutamakkin Kajen 1445H, via NU Online, Senin (19/8/2024).

Gus Baha juga menekankan bahwa nasab seharusnya berkorelasi dengan perilaku. Ia mencontohkan, tidak pantas jika keturunan seorang wali seperti Mbah Ahmad Mutamakkin justru terlibat dalam perilaku yang tidak terpuji seperti dugem atau kebodohan. Menurutnya, nasab yang baik seharusnya mendorong seseorang untuk menjauhi akhlak yang tidak terpuji.

“Yang repot sekarang itu bangga dengan nasab tapi tidak mau meniru atau mencontoh hal-hal baik dari leluhurnya,” tambahnya.

Selain membahas soal nasab, Gus Baha juga menyoroti pentingnya penguasaan ilmu, terutama ilmu fiqih bagi seorang Muslim.

Ia menyatakan bahwa ia lebih memilih untuk mampu mengajar kitab Taqrib daripada memiliki kemampuan untuk terbang, karena mengajarkan fiqih dapat membawa manfaat besar bagi umat dalam menjalankan ibadah dengan benar.

“Berbeda kalau saya mengajar Taqrib, nanti ada orang yang sujud kepada Allah, orang jadi bisa shalat secara benar, zakat dengan benar, dan itu karena jasa saya mengajarkan Taqrib,” jelas Gus Baha.

Pernyataan Gus Baha ini diharapkan dapat menjadi pencerahan bagi masyarakat dalam menyikapi perdebatan soal nasab dan pentingnya meneladani akhlak leluhur serta menguasai ilmu agama.***