Membasmi Egoisme, Meneladani Pengorbanan Ibrahim AS

JENDELAISLAM.ID – Wajah Ibrahim AS berbinar-binar setelah lahirnya sang putra, Ismail AS. Si anak seakan menyempurnakan kehidupan Ibrahim AS setelah menantinya sekian lama.

Hingga suatu ketika, sebuah perintah Allah SWT melalui mimpi, membuyarkan kebahagiaannya, ”Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia pun menjawab, ”Wahai Ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insyaallah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar” (QS. as-Shaffat: 102).

Konflik batin dalam diri Ibrahim AS menyeruak, antara mengiyakan bujukan syetan agar menangguhkan untuk tak berkurban dan memenuhi perintah Allah SWT.

Namun kemudian, drama menegangkan tersaji. Demi kecintaannya pada Tuhan, Ibrahim pun melaksanakan perintah-Nya sampai akhirnya Allah SWT mengganti dengan seekor domba.

Dari kisah dramatis peristiwa Ibrahim AS dan Ismail AS, anaknya, tentu menjadi alasan penting kenapa agama memerintahkan untuk berkurban. Mengingat telah demikian suburnya, berbagai drama nasional, baik di belantara politik, sosial, juga ekonomi, yang hampir semuanya mencerminkan tipikal egoisme yang telah mengendap menjadi kerak dalam perilaku banyak pihak.

Kini sudah saatnya, perilaku egois yang telah mengerak untuk dikikis habis, dengan berkaca pada hikmah dari peristiwa agung yang dialami Nabi Ibrahim AS bersama anaknya.

Hikmah Peristiwa Kurban

Hikmah yang terkandung dalam peristiwa kurban, yakni Ibrahim AS yang mengurbankan anaknya, Ismail AS, di antaranya:

Pertama, berkurban adalah bagian dari cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Perintah Allah kepada Ibrahim AS untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS, merupakan sebuah peristiwa besar yang mengajarkan bahwa kecintaan seorang ayah terhadap anaknya, jangan sampai mengalahkan kecintaan terhadap Allah SWT.

Betapa pun Ibrahim AS sangat mencintai anaknya, tetapi perintah Allah SWT haruslah ia patuhi. Ibrahim rela dan lapang dada untuk mengurbankan anaknya sendiri yang sangat berharga ketika Tuhan memerintahkannya. Apa balasan Tuhan kepada orang yang patuh terhadap perintah-Nya, tidak lain adalah sebuah kemuliaan di sisi-Nya.

Demikian halnya sikap Ismail AS, yang ikhlas menerima perintah Allah tanpa keraguan sedikit pun. Inilah salah satu ekspresi kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT.

Kedua, berkurban adalah ungkapan cinta kasih dan peduli kepada sesama, terutama yang lemah secara ekonomi. Sehingga berkurban mempunyai dimensi kemanusiaan yang luar biasa.

Manifestasi kepedulian terhadap masalah sosial ini terlihat dengan pembagian daging kurban.  Bila kita memiliki kelebihan, sebaiknya kita membaginya agar mereka juga merasakan kebahagiaan bersama. Dengan spirit inilah, maka kurban mengajarkan kepekaan sosial.

Ketiga, berkurban berarti membinasakan sifat kebinatangan yang bersemayam dalam diri.  Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim, semestinya mampu mengingatkan bahwa sejatinya yang dikurbankan adalah sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti: rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma-norma apapun. Sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan kurban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT.

Itu sebabnya Allah mengatakan, “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya” (QS. al-Hajj: 37).

Maka dapat dikatakan, sejatinya Ibrahim telah membunuh nafsu syetan yang terus menggodanya. Sebab Ibrahim memang sempat bimbang ketika dihadapkan pada pilihan antara mengurbankan Ismail AS karena Allah SWT atau menuruti bisikan syetan. Tetapi setelah yakin bahwa mimpi yang diterimanya berasal dari Allah SWT, maka sekali pun berat hati awalnya, Ibrahim AS ikhlas mengurbankan Ismail.

Kalahkan Ego, Hayati Sirah Nabi Ibrahim AS

Isyarat-isyarat dalam metafora hari raya kurban sesungguhnya mengajari kita betapa sejarah agama ini adalah sejarah pengurbanan untuk melaksanakan kewajiban. Nilai dan keshalehan beragama diletakkan di dalam amal dan gerak memberikan pengurbanan.

Jika saja, semua umat manusia di muka bumi ini, sudi meneladani hikmah dari peristiwa di atas, bumi nusantara tanpa terkecuali akan senantiasa damai dan sejahtera.

Sebab, semua konflik dan penyimpangan sosial sejatinya adalah berasal dari bercokolnya ego dalam hati dan pikiran umat manusia. Sayangnya penyimpangan itu telah ada sejak insiden Qabil-Habil, anak-anak Adam AS, dimana Qabil lebih memenangkan egonya daripada menghargai saudaranya sendiri.  

Jika saja, semua orang mau mengalahkan egonya, tak akan ada perang yang disebabkan pendewaan terhadap ego untuk berkuasa. Tak akan ada kelaparan karena tak ada nafsu menjajah dan merampas hak bangsa lain.

Yang ada adalah hubungan timbal balik dengan saling menghargai dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Tak akan ada pemaksaan kehendak, karena yang lemah akan rela menggabungkan diri untuk diajari berdikari.  

Bisa jadi, di Indonesia sendiri, tak akan ada lagi korupsi apabila tak ada lagi ego dan niatan menilap hak orang lain. Tak ada kelaparan, karena yang kaya peduli menyalurkan sebagian haknya untuk kalangan yang membutuhkan.

Tak ada kerusuhan, karena kita semua sayang kepada saudara-saudara kita yang lain sebangsa dan setanah air. Tak ada konspirasi apapun, karena kita telah melepaskan nafsu berkuasa kita, dan yang tersisa tinggal rasa tanggung jawab memegang amanah kepemimpinan.  

Tak ada rasa saling curiga dan tuding-menuding, karena kita semua saling percaya, kita semua akan hidup berdampingan dengan damai, karena kita semua telah berhasil menghayati sirah Nabi Ibrahim AS ini.***  

Sumber Foto: Pixabay/mufidpwt