Sisi Gelap Haji Berulang: Kaum Miskin yang Terlupakan

JENDELAISLAM.ID – Setiap tahun, jutaan umat Islam berhaji. Mereka datang dari seluruh penjuru negeri. Banyak dari mereka, yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Mereka rela menggelontorkan uang untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali.

Padahal di sekeliling, banyak orang miskin yang menggelepar kelaparan dan banyak orang tua mengantri panjang untuk mendapatkan jatah berangkat haji.

Akan lebih bermakna, jika dana haji dari orang-orang yang sudah berhaji, namun ingin berhaji lagi, digunakan untuk membantu kaum dhuafa. Entah itu memberikan cash money sebagai modal usaha atau memberdayakan mereka dengan memberikan ketrampilan.

Ironis, tatkala banyak orang menderita, namun di lain sisi, sebagian orang yang memiliki rezeki berlebih justru berulang kali naik haji.  

Prioritas Peduli Orang Miskin

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(QS. 3: 97). 

Inilah dasar perintah kewajiban berhaji sekali dalam seumur hidup. Adapun hukum sunnahnya merujuk hadits riwayat Imam Ahmad, “Barang siapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji, itu hukumnya sunnah.”

Mengacu dasar teologis di atas, kewajiban haji sebenarnya sudah gugur jika seseorang telah melaksanakannya sekali saja dalam hidupnya. Namun, sering kita melihat orang yang berduit biasa menjalankan berulang kali.

Menurut Dra. Erna Karim, M.Si, staf pengajar sosiologi UI, motivasi untuk menunaikan ibadah haji berulang kali biasanya didominasi oleh nilai bahwa haji merupakan eskalasi ke jenjang sosial yang lebih tinggi. Haji memiliki makna derajat sosial, yaitu mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat tempat mereka berada. Jadi, tidak mengherankan jika ada orang yang menjual tanahnya atau melakukan segala cara agar bisa naik haji, jelas Erna Karim.

Permasalahannya, hanya karena semangat ingin meningkatkan spiritualnya dengan pergi haji untuk kedua dan seterusnya, terkadang orang melupakan kondisi orang di sekitarnya.  Alih-alih berpikir untuk maslahat banyak orang, egoisme spiritual justru lebih dominan.

Dalam konteks inilah, bila kepergiannya mengabaikan orang-orang miskin di sekitarnya, sebenarnya sama saja dengan sengaja memperlebar jurang pemisah. Padahal Nabi SAW bersabda bahwa umat Islam itu bersaudara satu sama lain. Artinya, jika ada yang menderita, maka sesama Muslim mesti peduli.

Bahkan Nabi SAW juga memberikan sinyalemen, tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya menggelepar kelaparan (padahal ia mengetahui kondisi tetangganya itu).

Terkait hal ini, Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyikapi secara kritis. Menurutnya, orang-orang yang lebih antusias menjalankan haji sunnah berulang daripada memberi sedekah kepada para tetangganya yang kelaparan dan hidup dalam penderitaan, sebagai orang yang terpedaya (ghurur) karena mengabaikan prioritas dalam beribadah. 

Masih menurut al-Ghazali, ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya sesungguhnya hanyalah sunnah, sementara peduli pada orang miskin adalah prioritas.

Oleh karena itu, sejalan dengan pandangan agama, orang harus terlebih dahulu melihat sekelilingnya, sebelum memutuskan untuk pergi haji kedua atau ketiga.

Sebenarnya, seseorang boleh melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena alasan-alasan syar’i. Misalnya, mengulangi ibadah haji karena tidak memenuhi salah satu syarat atau rukun haji ketika menunaikan ibadah haji, atau karena menghajikan orang lain (yang sudah meninggal).

Selain dua alasan tersebut, hukum mengulang haji adalah sunnah. Bahkan, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ’illat berupa kebutuhan mendesak di saat masyarakat mengalami krisis dan kemiskinan, dalam kondisi tertentu, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh, atau haram.

Selain itu, bila seseorang melakukan haji berulang dan kemudian meninggal, abai sekitarnya di lain sisi, tidak ada nilai tambah atau pahala untuk ibadahnya. Sebaliknya, jika seseorang berhaji satu kali dan menggunakan dana haji dari haji kedua untuk membantu orang miskin sehingga lebih kreatif dan produktif, maka justru ada nilai tambahnya.

Sekali Seumur Hidup

Dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menyebutkan bahwa perintah amal sosial selalu beriringan dengan amal individual. Semua itu ada hikmahnya.

Demikian pula dengan ibadah haji. Ketika orang lebih mendahulukan kepentingan sosial dibanding dengan keinginan individual untuk mengulang ibadah haji, sesungguhnya ada pelajaran berharga di dalamnya. 

Pertama, ibadah haji merupakan sarana untuk mengekang egoisme spiritual. Umat Islam diajak untuk berpikir dalam tataran sosial, bukan hanya tentang diri mereka sendiri. 

Kedua, dengan menunaikan ibadah haji satu kali, berarti memberikan kesempatan kepada orang lain yang belum menunaikan rukun Islam kelima.  Rasanya, tidak etis membiarkan orang yang sudah tua dan sudah lama berada dalam daftar tunggu, tergeser oleh mereka yang sudah berhaji namun ingin berhaji lagi karena punya dana lebih.

Ketiga, kewajiban menunaikan ibadah haji satu kali mendorong orang untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Ketika panggilan untuk berhaji datang, mereka telah siap secara fisik dan mental serta mampu menunaikannya semaksimal mungkin.

Perlu diketahui, relijiusitas seseorang tidak diukur dari frekuensi dan ketekunan ritual ibadahnya kepada Sang Khaliq semata, tetapi juga seberapa peka mereka terhadap orang-orang di sekitarnya.

Untuk itu, kesalehan individu harus berbanding lurus dengan kesalehan sosial.  Sebab, ibadah pada hakikatnya bukan hanya komunikasi yang baik dari seorang hamba kepada Khaliq-nya, tetapi juga komunikasi yang baik kepada sesamanya.***

Sumber Foto: Pexels/Sultan