JENDELAISLAM.ID – Beberapa waktu yang lalu, kata “etika” menggemparkan seantero Nusantara. Dari meja MK, panggung debat, hingga diskusi rakyat jelata. Perdebatan membuncah dari satu ruang diskusi ke ruang yang lain.
Kenapa demikian? Karena etika adalah hal paling prinsip. Etika adalah segalanya. Baik buruknya orang terletak pada etika. Orang akan dihargai manakala attitude-nya baik. Sebaliknya, apabila buruk, maka sekan tidak ada nilainya. Betapa pun ia memiiki keilmuwan mumpuni, status sosial tinggi, maupun kekayaan tiada terkira. Etika dalam apapun. Etika konstitusi. Etika bernegara. Etika pergaulan. Dan sebagainya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, susila. Manakala etika yang baik itu diabaikan, maka nilai dari orang yang bersangkutan pun tak ada. Siapa pun itu, apapun latar belakangnya, strata sosialnya, jabatannya, yang membuat ia bernilai adalah beretika. Termasuk, seorang pemimpin/calon pemimpin tentu harus memiliki attitude yang baik.
Kemajuan bangsa tergantung pemimpinnya. Bila pemimpinnya memiliki karakter yang baik, maka harapan baik bisa membawa arah bangsa ini. Sebaliknya, bangsa akan mengalami kehancuran apabila menepikan etika. Miris bukan? Ketika abai terhadap etika , maka trust (kepercayaan), lambat laun akan pudar. Bukankah seorang pemimpin adalah seharusnya menjadi role model yang baik?
Oleh sebab itu, attitude baik mutlak menjadi pegangan dalam setiap beraktivitas. Dalam hal apapun, mesti mengedepankan etika. Etika bagaikan jiwa yang membuat seseorang lebih bermakna. Bahkan setinggi apapun ilmu seseorang, tidak ada artinya manakala tidak dibarengi dengan etika atau adab yang baik.
Ibnu al-Mubarak RA menyatakan, “Mempunyai adab (kebaikan budi pekerti) meskipun sedikit adalah lebih kami butuhkan daripada (memiliki) banyak ilmu pengetahuan”. Maksudnya adalah mempunyai adab itu lebih penting dan dibutuhkan daripada mempunyai banyak ilmu pengetahuan. Karena orang yang berilmu belum tentu beradab, tetapi jika orang memiliki adab sudah pasti berilmu. Dan tingkatan adab lebih tinggi dari ilmu.
Apabila ilmu jadi patokan kemuliaan manusia, maka manusia masih kalah jauh dibanding iblis. Kok bisa? Merujuk pada QS. Al-Baqarah: 30-34 yang mengisahkan tentang kesombongan iblis dan tidak punya adab, tidak mau taat kepada perintah Allah SWT hanya karena ia memiliki ilmu.
Demikian pula, orang yang memiliki ilmu tapi tidak disertai dengan adab, maka hanya akan berujung pada kesombongan, seperti yang dilakukan iblis yang membuat kedudukannya dihinakan. Mereka akan mudah merendahkan orang lain.
Tentu saja, siapa pun orangnya di muka bumi ini, tak ada yang mau dianggap tak beretika. Masing-masing orang tetap mengaku dirinya beretika. Karena siapa pun juga tak mau disamakan perbuatannya dengan iblis yang sombong.***
Sumber Foto: Unsplash/Sean Weaver
