Money Laundering, Bolehkah?

JENDELAISLAM.ID – Kejahatan sekarang ini beragam dan makin canggih caranya. Cara menyelamatkan hasil kejahatan pun dilakukan dengan ‘cerdas’ supaya tak terdeteksi oleh penegak hukum.

Belakangan ini, ada cara yang dinilai para pelaku bisa menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan hasil tindak kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan agar uang tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal. Upaya ini dikenal dengan istilah money laundering (pencucian uang).

Pencucian uang dilakukan dengan tujuan agar terhindar dari penuntutan dan penyitaan. Umumnya, pelaku tindak kejahatan ini menggunakan berbagai cara agar harta hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta tersebut, baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.

Dunia Mengharamkan

Istilah money laundering sebenarnya sudah muncul ketika Al-Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang diperoleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal.  

Kemudian ada Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis illegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf, dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasiaan nasabah untuk didepositokan.  

Dan masih banyak tokoh lain yang merugikan keuangan negara sekaligus menimbulkan keresahan masyarakat. Hanya saja, mengingat aturan hukum tentang pencucian uang kala itu belum ada, maka mereka yang tersangkut tindak kejahatan dan melakukan pencucian uang, bisa terbebas dari jerat hukum.

Namun, dunia internasional akhirnya sepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan pencucian uang setelah money laundering dinilai berdampak negatif sangat luar biasa. Di samping, sangat merugikan masyarakat juga sangat merugikan negara, lantaran dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh korporasi dalam suatu negara bahkan melintasi batas wilayah negara lain. Oleh karena itu, orang yang terlibat kasus money laundering kemudian dapat diperkarakan di meja hukum.

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) –lembaga internasional yang memantau praktik pencucian uang haram—merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan.  

Di Indonesia, masalah ini juga diatur dalam pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Hasil tindak pidana pencucian uang itu meliputi banyak hal, seperti: korupsi, suap, narkotika, penyelundupan tenaga kerja,  bidang perbankan, pasar modal, asuransi, cukai, trafficking, perdagangan senjata gelap, terorisme, perjudian, prostitusi, dan masih banyak lainnya.  

Mencari dan Mendapat Rezeki yang Benar

Sebenarnya mencari rezeki (harta) adalah sebuah kebutuhan dan wajib bagi orang Islam. Sebab dengan rezekilah, manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Tapi, yang perlu diingat adalah cara memperolehnya mestilah dengan cara yang dibenarkan oleh agama, tidak boleh asal menyerimpung ketentuan agama.  Nabi SAW juga menganjurkan untuk berdoa,  “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu petunjuk dan ketakwaan, keluhuran budi, dan kekayaan” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain pun menyatakan, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (berkecukupan) dan yang tidak menampakkannya” (HR. Muslim).

Kendati setiap manusia memerlukan harta, namun sejatinya materi bukanlah segala-galanya. Sebab ada kalanya seseorang memiliki kekayaan melimpah-limpah, tetapi hatinya miskin. Nabi SAW bersabda, “Kaya itu bukan karena banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati” (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena itu, salah mempersepsikan kaya bisa jatuh pada tindakan yang tidak benar, seperti: korupsi, perdagangan narkotika, perdagangan senjata illegal, perdagangan wanita dan anak-anak dan sebagainya. Namun, perbuatan jahat yang terlarang, baik negara maupun agama, dan terancam hukuman, terkadang tidak menjadikan orang ciut nyali.

Ada sebagian orang yang berpikiran bahwa yang terpenting adalah dapat menyembunyikan hasil kejahatan dan berkelit dari sasaran hukum. Pencucian uang adalah salah satu pilihan para pelaku untuk menyamarkan tindak kejahatannya.

Tetapi dalam agama, tetap saja bila cara perolehan harta berlumur dengan kejahatan, maka hasil yang didapat pun tidak akan mampu menghilangkan kejahatannya sekali pun disamarkan melalui pencucian uang.

Jelas, Islam mengharamkan perolehan rezeki melalui cara-cara yang batil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti: perampokan, pencurian, korupsi, perdagangan narkoba, trafficking, dan sebagainya. Karena money laundering –perbuatan yang bersumber dari tindak kejahatan yang kemudian diupayakan legalitasnya—pun mengandung kerusakan (mafsadah) dan bahaya (madharat), merugikan, maka hukum Islam dengan tegas menyatakan bahwa money laundering adalah perbuatan yang dilarang.

Menurut Miftah Fariedl dalam makalah “Konsep dan Etika Bisnis Perbankan Syariah”pada Seminar Nasional Perbankan Syariah, LPPM UNPAD dan BI, Bandung, 13 Oktober 2000, kerja keras mencari nafkah dinilai oleh Islam sebagai ibadah, amal saleh, jihad dan penghapus dosa kesalahan. Di antara indikator kesalehan seorang Muslim itu tampak pada kompetitif (sabiqun bil khairat), bermanfaat untuk orang lain (anfa’uhum linnas), ramah (rahmatan lil ‘alamain), serta jujur.  Sebaliknya, usaha dari riba, judi, curang, mencuri, batil, suap-menyuap serta mempersulit pihak lain, haram ditempuh.

Mengacu prinsip dan etika bisnis, maka pencucian uang termasuk kategori perbuatan yang diharamkan. Setidaknya, ada dua alasan kenapa diharamkan.

Pertama, proses memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang haram (misalnya: judi, bisnis narkoba, korupsi, atau perbuatan curang lainnya). Kedua, proses pencuciannya, yaitu upaya menyembunyikan uang hasil kemaksiatan yang selanjutnya dapat menimbulkan kemadharatan berikutnya.

Dalam kajian fiqih, kejahatan money laundering ini dapat dikategorikan ke dalam jinayat. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana, dimana pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.***

Foto: Pixabay/Ralphs_Fotos