Dialog “Majelis Hukama Muslimin”: Dua Tantangan Besar Tokoh Agama di Masa Mendatang

JENDELAISLAM.ID – Ada dua tantangan yang dihadapi tokoh agama di masa mendatang. Pertama, soal pergeseran otoritas keagamaan. Kedua, tokoh agama yang lebih sering diperankan sebatas sebagai pemadam kebakaran.

Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar, menyampaikan hal ini saat memberikan sambutan secara virtual dalam dialog “Peran Tokoh Agama dalam Merawat Kerukunan dan Menjaga Kelestarian Alam” di Jakarta, pada Senin (11/11/2024).

Dialog ini diadakan oleh Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia dalam rangka “Hari Toleransi Internasional” yang diperingati setiap 16 November dan menyongsong gelaran Paviliun Iman pada COP29 yang akan berlangsung di Baku, Azerbaijan.

Para narasumber yang hadir dalam dialog ini: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA (pendiri dan anggota MHM), Dr. TGB. M Zainul Majdi, MA (Anggota Komite Eksekutif MHM), serta Dr. Muchlis M Hanafi, MA (Direktur MHM kantor cabang Indonesia).

MHM adalah sebuah lembaga lintas negara yang bersifat independen, berdiri pada 2014 di Abu Dhabi. MHM bertujuan mempromosikan perdamaian dan kehidupan damai pada masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim, menyebarkan dan menguatkan nilai-nilai dialog, toleransi, dan koeksistensi (hidup berdampingan secara rukun dan damai). Pada tahun 2021, MHM kantor cabang Indonesia dibuka, yang diawali sebagai kantor virtual dan selanjutnya diresmikan berkantor di Jakarta pada Oktober 2023.

Menag menegaskan bahwa tantangan tokoh-tokoh umat beragama pada masa mendatang semakin berat. Sebab, keadaan sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Apabila dulu, pesan kitab suci dan nasehat tokoh agama, menjadi rujukan masyarakat. Berbeda dengan saat ini mengingat ada otoritas lain yang ikut serta memberikan pengaruh terhadap pendefinisian apa itu kebenaran dan kebaikan.

“Dahulu kala, apa kata ulama dan apa kata kitab suci, tokoh agama, itu serta-merta kita lakukan. Tapi terkadang saat ini, ada kebenaran yang dipromosikan kitab suci, juga dipraktikkan dan diamalkan oleh ulama dan tokoh agama, tapi tidak serta-merta diterima oleh masyarakat karena ada otoritas lain yang ikut cawe-cawe dalam merumuskan dan mendefinisikan kebenaran itu,” jelasnya.

Tantangan kedua, lanjut Menag, tokoh-tokoh agama cenderung lebih banyak diajak berbicara untuk menyelesaikan akibat, tapi jarang dilibatkan untuk membicarakan sebab yang menyebabkan akibat itu muncul.

Untuk itu, Menag berharap tokoh agama tidak diperlakukan seperti pemadam kebakaran yang hanya dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan, tapi sebab yang menyebabkan persoalan itu tidak dilibatkan. Menurutnya, perlu ada introspeksi dari tokoh agama, mengapa ada jarak antara lingkungan pacu dan kehidupan umat beragama itu sendiri.

Kalau berbicara agama, lanjut Menag, seoalah-olah umat berbicara tentang sesuatu yang sangat kualitatif, sangat deduktif, sangat tekstual, sangat tradisional, sangat konservatif, dan terkesan masa lampau. Sementara lingkungan pacu sekarang ini kelihatan sangat kuantitatif, serba angka, sangat induktif, sangat kontekstual, sangat canggih, apalagi dengan adanya artificial intelligence, dan sangat modern, bahkan berorientasi ke masa depan.

“Hal ini tidak bisa kita biarkan terjadi. Terjadi perbedaan pemahaman vocab, antara vocab agama dan vocab lingkungan pacu sekarang, ini perlu didekatkan. Karena itu, mungkin perlu kita melakukan introspeksi, bagaimana caranya mengaktualkan nilai-nilai agama kita dalam masyarakat modern seperti sekarang ini,” ujarnya.

Ia mengajak semua pihak melakukan introspeksi, melakukan pembahasan lebih mendalam, bagaimana supaya nilai-nilai agama berkontribusi dalam menuntun, men-direct kehidupan umat manusia.***

Sumber: Kemenag