Problem Menjalankan Ibadah bagi TKI

JENDELAISLAM.ID – Selama ini, problem pelik yang santer terdengar seputar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah kekerasan majikan  pada pembantu, lemahnya perlindungan hukum maupun gaji yang tak sesuai kontrak.

Padahal ada hal prinsip yang mungkin luput dari perhatian kita, yakni problem beribadah. Di samping sulitnya menjalankan shalat tepat waktu, juga sulit untuk tidak berinteraksi dengan daging babi, terutama di sejumlah negara tujuan para TKI dimana masyarakatnya kerap menjadikan daging babi sebagai menu utama.

Mungkin tak soal bila ada toleransi bagi para TKI untuk bebas menjalankan ibadah. Namun lain persoalannya ketika TKI dikekang bahkan dilarang menjalankan kewajibannya di saat jam-jam kerja. 

Demikian halnya bila majikan memberikan toleransi agar TKI yang bekerja kepadanya tidak perlu memasak daging babi, maka tidak akan ada kebimbangan di dalam hatinya. Akan tetapi mengingat mengonsumsi daging babi sudah menjadi tradisi majikan, muncul keraguan akan kebersihan atau kenajisannya.   

Menjalankan Shalat

Seperti yang lazim diketahui, ketentuan soal shalat fardhu haruslah di dalam waktunya, tidak boleh diundur barang sedetik pun. Seseorang hanya boleh memajukan atau memundurkan waktunya bila dalam kondisi musafir atau sakit. 

Masalahnya ketika seorang pekerja dalam tekanan dan aturan ketat yang dibuat oleh majikan sehingga ada instruksi, “Waktu kerja untuk kerja, tak sedikit pun boleh untuk menjalankan aktivitas lain”, maka menjadi dilema bagi para TKI.

Di satu sisi, ada kewajiban menjalankan shalat pada waktunya. Di lain sisi, ada kekhawatiran pemutusan kerja bila tidak menuruti aturan majikan yang melarang aktivitas shalat meski dilakukan hanya sejenak. Padahal niat mereka merantau adalah mendapatkan penghasilan yang lumayan tanpa meninggalkan/mempermainkan kewajiban.

Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, ketentuan shalat fardhu 5 waktu sehari tidak ada keringanannya kecuali dengan menjama’ Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’. Tidak boleh kelimanya dijamak dalam satu waktu.

“Dan menjama’ itu hanya dibenarkan kalau seorang berstatus musafir, sakit, darurat sesekali, kondisi hujan dan selama masa ibadah haji. Sementara itu, larangan dari majikan atau peraturan perusahaan, bukan halangan yang membolehkan adanya keringanan,” lanjut Ust. Sarwat.

Oleh karena itu, menurut ustadz satu ini, tetap wajib hukumnya shalat 5 kali dalam sehari. Tinggal diatur saja teknisnya agar tidak sampai mengganggu kerja. Toh shalat boleh dilakukan dimana saja tanpa harus di masjid, juga tanpa harus memakai mukena, yang penting aurat tertutup, juga tidak perlu berlama-lama, kalau satu rakaat 30 detik, maka shalat Dzuhur bisa dikerjakan dalam durasi 30 x 4 = 120 detik, alias dua menit saja.

“Dua menit itu sama dengan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk minta izin buang air kecil ke WC. Kalau majikan melarang memberi waktu 2 menit izin ke WC, maka majikan itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kalau tidak ada tempat sama sekali, boleh saja dilakukan di dalam kamar mandi, asalkan bersih tidak ada najis.”

Larangan majikan kepada pembantu untuk tidak menjalankan shalat, dimata sang ustadz, bukanlah kondisi darurat. Baru bisa dikatakan darurat itu seperti seseorang ditabrak mobil sehingga pingsan seharian, maka begitu sadar, dia boleh melakukan lima waktu shalat secara sekaligus. 

Karena itu, tinggal tergantung bagaimana bisa-bisanya kita saja dalam bermuamalat dengan mereka. Kalau kinerja kita baik dan majikan puas, maka otomatis secara manusia, dia pasti akan bersikap baik juga kepada kita. Setidaknya memberi izin untuk sekedar shalat yang cuma butuh 2 menit.

Memang Rasulullah SAW pernah meninggalkan (tanpa sengaja) 4 waktu shalat terturut-turut, yaitu ketika terjadi Perang Khandaq di tahun kelima Hijriyah. Dalam perang, kalau kita lengah, ya kita dibunuh. Apa yang beliau lakukan? Begitu perang usai, maka beliau mengajak para shahabat untuk mengganti 4 waktu shalat yang tertinggal itu, meski dilakukan tengah malam.

Tetapi kisah ini, menurut Ustadz Sarwat, tidak bisa dijadikan jalan keluar bagi para TKI untuk menirunya, karena ada banyak perbedaan mendasar. Yang paling utama adalah peristiwa ini hanya terjadi sekali saja, sedangkan TKI mau mengerjakan shalat seperti ini tiap hari selama bertahun-tahun, tentu tidak sah.

Tetapi pandangan lebih moderat diberikan oleh KH. Ali Yafie. Menurut Pak Kyai, shalat fardhu memang sudah ditentukan waktunya masing-masing. Tapi ada kalanya dalam keadaan tertentu, shalat itu bisa dijama’ dan bisa diqashar, seperti: sakit dan dalam perjalanan jauh (musafir). Untuk kasus para TKI, sebagian ulama mengatakan keadaan yang dialami oleh para pekerja keras di luar negeri dimana lingkungannya bukan lingkungan Islam itu juga disebut udzur. Analog dengan orang yang safar dan sakit.

Hukum darurat bisa berlaku karena tekanan yang luar biasa dan tidak ada pilihan lain. Jika memang ternyata kondisi memaksa demikian, artinya di sepanjang hari tidak boleh menjalankan ibadah shalat oleh majikan, dan hanya punya kesempatan menjalankan pada waktu mau tidur malam saja, maka kesemua shalat wajib bisa dikerjakan sekaligus di satu waktu yang memungkinkan tersebut.

Tetapi jika di sela-sela pekerjaannya masih ada waktu/kesempatan untuk mengerjakan shalat dan majikan tidak mempermasalahkan atau mengancamnya, maka tidak ada alasan menyebutnya sebagai kondisi darurat.

Karena itu, Pak Kyai menyarankan semestinya para TKI menuntut haknya untuk menjalankan ibadah. Pasalnya tiap-tiap negara ada hak untuk menjalankan ibadah dengan baik. “Adakan persatuan semacam serikat buruh untuk menuntut hak beribadah supaya lebih tenang dan normal ibadahnya. Sayangnya, kebanyakan TKI kita masih awam dan belum melakukan hal demikian. Andai saja, tuntutan para TKI itu sudah menjadi aturan sah, maka TKI bisa menuntut majikannya ketika ada pelarangan menjalankan ibadah.”

Berinteraksi dengan Daging Babi

Satu soal lagi adalah berinteraksi dengan daging babi. Entah ikut mengonsumsinya, atau sekedar memasak babi yang artinya wadah untuk menggoreng atau memasak tersebut pastilah bercampur dengan babi, padahal daging babi menurut Mazhab Syafi’i, tergolong najis berat (mughalladzah).

Untuk kasus babi ini, Pak Kyai Ali Yafie berpendapat bahwa babi termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan para ulama, soal kenajisannya. Yang kita kenal dengan baik adalah hukum Mazhab Syafi’i, yakni membersihkan dengan 7 kali dan salah satunya dengan tanah jika berinteraksi dengan binatang tersebut. Adapun Mazhab Maliki menggolongkan sebagai najis biasa. 

Tentu saja bagi para TKI, jika mengacu Mazhab Syafi’i sangat berat apabila setiap saat harus bersentuhan atau memasak daging babi. Maka dalam kondisi seperti ini, lanjut Pak Kyai, seseorang boleh talfiq (mengikuti mazhab lain untuk menghindari satu kesulitan/masyaqqah). Orang awam bisa memilih sesuai dengan kepentingannya; misalnya merujuk pendapat Mazhab Syafi’i atau Maliki. 

Namun Ustadz Sarwat memandang bahwa menyentuh daging babi itu tidak haram. Yang haram itu memakannya. Hanya saja, kalau seorang Muslim mau shalat, maka badan, pakaian, tempat shalatnya, harus suci dari najis. Kalau najisnya babi, maka dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah. Lanjut Ustadz Sarwat, tidak ada yang berat, siapkan saja tanah. Ketika tangan atau baju kita kena babi, kan tidak dosa. Cuma kalau mau shalat, sambil wudhu sambil dicuci 7 kali saja dengan 1 kali tanah. 

Selanjutnya, apabila majikan meminta TKI yang bekerja untuk turut memakan daging babi, maka bisa menolak dengan halus. Ini hanyalah soal diplomasi. Sebab seseorang tidak boleh memaksakan sesuatu yang belum tentu orang lain mau apalagi jika bertentangan dengan keyakinan agamanya. Jika majikan memaksa, di saat itulah keimanan seseorang sedang diuji. 

Mudah-mudahan kesemua penjelasan di atas bisa membantu mengurai kebingungan para TKI yang bekerja di negara non-Muslim, terutama di Hongkong dan Taiwan.***

Sumber Foto: Pixabay/raulplatino