JENDELAISLAM.ID – Hidup dalam kemiskinan biasanya bukanlah pilihan mayoritas manusia. Namun, jika seseorang ditakdirkan hidup dalam kemiskinan, itu bukan berarti harus merasa hina dan meninggalkan etika. Sebab, Allah melihat seseorang bukan dari fisik dan harta, melainkan dari hati dan ketakwaannya.
Syekh Abdul Qadir Jailani menyampaikan sejumlah etika yang harus dipegang ketika menghadapi kemiskinan. Mengeluh dan meratapi nasib dianggap sebagai tindakan sia-sia.
Oleh karena itu, Syekh Abdul Qadir menganjurkan agar orang miskin bisa menikmati kemiskinannya lebih dari orang kaya menikmati kekayaannya.
ومن شرطه أن يكون قلبه أقوى بصفاء الحال عند خلو يده من المال، فكلما قل الفتوح كثر طيب قلبه وقوته ونوره، وازداد فرحه بشعار الصالحين
“Di antara syarat orang fakir adalah memiliki hati yang kuat dan bersih ketika tidak memiliki apa-apa di tangannya. Semakin sedikit rezeki yang diperoleh, semakin baik pula hati, kekuatan, dan cahayanya, serta semakin senang dengan nasihat orang-orang saleh.” (Syekh Abdul Qadir Jailani, Al-Ghunyah li Thâlibi Tharîqil Ḫaq [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997] Juz II, halaman 291)
Salah satu syarat orang miskin adalah memiliki hati yang kuat dan jernih saat tidak memiliki apa-apa. Semakin sedikit rezeki yang diperoleh, semakin baik hati, kekuatan, dan cahayanya, serta semakin bahagia dengan nasihat orang-orang saleh.
Jika kemiskinan membuat seseorang marah, mengeluh, atau bahkan murka kepada Allah, maka dia telah tertipu dan melakukan dosa besar, sehingga harus segera bertobat dan memohon ampun kepada Allah.
Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang fakir sejati adalah orang yang hatinya tenang dan yakin pada Allah dalam urusan rezeki, meski harus menafkahi banyak anggota keluarga. Dia tetap bekerja keras mencari rezeki halal dan percaya bahwa Allah akan memberikannya, baik melalui tangannya sendiri atau tangan orang lain.
Berikut lima etika yang harus dilakukan ketika berada dalam kemiskinan menurut Syekh Abdul Qadir Jailani:
1. Tidak Cemas
Seorang fakir tidak perlu cemas memikirkan rezeki untuk esok hari. Fokusnya hanya untuk hari ini, yakin bahwa Allah telah menyiapkan rezeki untuk esok. Rezeki yang didapat hari ini adalah yang terbaik.
2. Mengingat Kematian
Selalu mengingat kematian yang bisa datang kapan saja. Dengan begitu, seseorang akan menikmati kemiskinannya, menghilangkan angan-angan duniawi, dan fokus pada persiapan untuk kehidupan selanjutnya.
3. Mandiri
Bersikap mandiri, tidak bergantung atau mengharapkan pemberian dari orang lain, adalah sikap mulia bagi seorang Muslim, terlebih bagi orang fakir.
4. Tidak Mengharap Imbalan
Ketika kebutuhan keluarga telah tercukupi dan ingin berbagi dengan orang lain, hendaknya dilakukan karena Allah dan tidak mengharapkan imbalan. Bagi Allah, orang fakir yang berbagi lebih baik dari orang kaya yang hanya menerima.
5. Wara
Memiliki sikap wara, yaitu berhati-hati terhadap hal-hal yang tidak jelas status halalnya. Meskipun sedang dalam kesulitan ekonomi, seorang fakir harus mencari rezeki halal dan tidak tergoda dengan barang haram dan kemaksiatan.
Seorang ahli hikmah mengatakan:
من لم يصحبه الورع في فقره أكل الحرام وهو لا يدري
“Barang siapa yang tidak memiliki sikap wara saat fakir, maka tanpa sadar ia akan memakan barang haram.”
Itulah lima etika yang harus dijaga dalam kemiskinan: tidak cemas akan rezeki esok hari, ingat akan kematian, mandiri, tidak mengharap imbalan, dan wara. Etika ini juga sangat layak dipegang oleh orang kaya jika Allah mengubah nasib seseorang menjadi kaya. Wallahu a‘lam.***
Sumber Teks: NU Online & Foto: Pexels/Pixabay
