JENDELAISLAM.ID – Jalan-jalan di kota Cirebon rasanya akan rugi bila tak mengunjungi tempat-tempat penting bersejarah. Di kota ini, Anda bisa menyusuri jejak dakwah Sunan Gunung Jati.
Nah, kalau Anda sedikitnya sudah mendengar bahkan mengetahui banyak tentang perjalanan dakwah sang wali satu ini, maka Anda bisa napak tilas di Cirebon. Anda bisa melihat warisan sang wali.
Makam Sunan Gunung Jati
Tempat yang selalu para peziarah kunjungi biasanya adalah makam Sunan Gunung Jati di area Astana Sunan Gunung Jati. Area ini merupakan lokasi dikebumikannya para sultan pemerintahan kerajaan Cirebon yang memimpin pada waktu itu, termasuk Sunan Gunung Jati.
Inilah pusat wisata perjalanan religi di Cirebon. Para peziarah datang ke tempat ini dari pelosok Nusantara. Bahkan peziarah dari luar negeri; seperti: China, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam tercatat pernah mengunjungi tempat ini.
Area makam di Astana Sunan Gunung Jati ini sangat unik. Terlihat dari dinding yang berukir motif-motif budaya zaman dahulu serta dinding di sekitar makam penuh dengan ornamen mangkok serta piring porselein asal China.
Keraton Kasepuhan
Tempat lain yang sangat penting adalah Keraton Kasepuhan atau dulu dikenal dengan Keraton Pakungwati. Lokasinya di pusat kota Cirebon, kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk.
Tempat ini merupakan pusat penyebaran Islam di Cirebon yang dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati. Nama Pakungwati terinspirasi dari nama seorang anak perempuan putri Pangeran Cakrabuana yang merupakan anak dari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, yang menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Di Keraton Kasepuhan ini, banyak peninggalan bersejarah yang merupakan warisan budaya Islam yang masih ada sampai sekarang, seperti: gamelan sekaten sebagai simbol dakwah Islam melalui budaya lokal, kereta singa barong sebagai simbol persahabatan dengan negara China, India dan Mesir, dan alat-alat kemiliteran jaman dulu; seperti: keris, tombak dan baju perang.
Selain itu, pada halaman alun-alun terdapat pohon beringin yang mengandung pesan agar penguasa selalu mengayomi rakyat. Pada halaman terdapat pohon sawo dan tanjung, simbol pengayom rakyat harus selalu berbuat baik (becik) dan selalu ingat kepada Allah (menyanjung).
Pohon yang ada di lingkungan keraton mengandung makna filsafat yang tinggi. Maknanya adalah penguasa agar selalu mengayomi rakyatnya. Penguasa harus menjadi teladan atau contoh bagi rakyat.

Gedung Pusaka Keraton Kanoman (HM)
Keraton Kanoman
Peninggalan bersejarah lain ada di Keraton Kanoman. Keraton ini juga erat kaitannya dengan syiar Sunan Gunung Jati. Hingga kini, Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Kompleks Keraton Kanoman ini berlokasi di belakang pasar Kanoman. Di keraton ini, masih terdapat dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah keraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Masjid Sang Cipta Rasa
Setelah itu, jangan lupa Anda mesti singgah di Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini berdekatan dengan Keraton Kasepuhan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini dibangun oleh Walisanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga memimpin pembangunannya dan arsiteknya Raden Sepat (dari Majapahit) bersama dengan 200 orang tukang dari Demak.
Masjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan kepercayaan. Masyarakat Cirebon saat itu menamai Masjid Pakungwati karena terletak dalam komplek Keraton Pakungwati.
Yang unik di masjid ini, adzan dikumandangkan oleh tujuh orang secara serentak (adzan wong pitu). Kendati sekarang sudah ada pengeras suara, namun budaya adzan wong pitu ini tetap ada,
Masjid Merah Panjunan
Masjid ini berada di tengah padatnya pemukiman penduduk yang mayoritasnya adalah keturunan Arab.
Lokasi masjid ada di Jalan Kolektoran, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Masjid ini aslinya bernama al-Athiyah. Tapi, masyarakat Cirebon lebih suka menyebut Masjid Merah Panjunan karena dindingnya dari susunan batu-bata merah hingga pagar yang berbentuk seperti benteng juga terbuat dari batu merah.
Masjid ini tidak bisa lepas dari migrasi keturunan Arab ke Cirebon sekitar abad ke-15. Salah seorang keturunan Arab bernama Syarif Abdurrahman (Pangeran Panjunan) berniat membangun surau di tempat ini, yang waktu itu masih berupa hutan belantara. Ia meminta izin penguasa Cirebon, Pangeran Cakrabuana, untuk membangun tempat peribadatan di daerah Panjunan. Surau ini kemudian dibangun pada tahun 1480.
Pada masa Sunan Gunung Jati (1479-1568), masjid itu sering menjadi tempat pengajian dan perundingan Walisanga untuk mengatur strategi penyebaran agama Islam di Jawa. Pada perkembangan selanjutnya, masjid ini juga menjadi pusat strategi melawan penjajahan.
Arsitektur bangunan Masjid Merah sebenarnya tidak berbeda dengan bangunan lain, menganut gaya Hindu dengan atap berbentuk joglo. Semua dindingnya berasal dari batu bata merah tanpa perekat semen dengan cat tanah merah. Kayu penyangga atap terdiri dari kayu jati. Di sepanjang dinding bagian dalam masjid berjajar ornamen piring keramik dari China dan Eropa.

Peta Cirebon
Batik Trusmi
Kini, Anda telah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dengan napak tilas dakwah Sang Wali.
Dan rasanya belum lengkap jika belum datang ke Plered. Sebab di tempat ini, Anda akan dapat melihat-lihat dan membeli batik trusmi, batik khas Cirebon-an, sebagai souvenir. Seni batik ini pun peninggalan Sunan Gunung Jati dan isterinya, Putri Ong Tien, yang disosialisasikan Ki Gede Trusmi, salah seorang murid Sunan Gunung Jati.
Memang ragam hias batik Cirebon ini tidak terlepas dari akulturasi budaya etnis China, Islam maupun Hindu pada masa lampau. Karena sejarahnya, Cirebon merupakan kota perdagangan yang ramai. Banyak pedagang dari berbagai etnis serta saudagar asal China maupun Timur Tengah, berkunjung.
Cirebon dari Masa ke Masa
Awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil. Lalu berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban karena di tempat itu bercampur para pendatang dari berbagai bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan. Mereka menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta membuat trasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan trasi dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Pedalaman Cirebon menghasilkan beras dan bahan pangan lainnya yang diangkut ke pelabuhan, baik melalui jalan sungai maupun darat.
Daerah pedalaman Cirebon yang mengelilingi kota ini merupakan wilayah subur yang terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah menghasilkan beras yang kemudian diekspor sampai ke Malaka, sementara dataran tinggi seperti Gunung Ciremai, Gunung Sawah, dan Gunung Cakrabuana, mengekspor kayu yang berkualitas baik. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.

Buku tentang dakwah Sunan Gunung Jati
Seperti dikatakan Dr. H. Dadan Wildan, M. Hum, dalam bukunya berjudul Sunan Gunung Jati: Antara Fiksi dan Fakta, pertumbuhan Cirebon yang sangat pesat itu didukung oleh faktor-faktor yang sangat kondusif.
Pertama, Cirebon bertindak sebagai pangkalan tempat para pelaut membeli bekal, seperti air tawar, beras, dan sayur-sayuran untuk persediaan dalam perjalanan. Kedua, Cirebon menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar karena bandar Cirebon menjadi tempat penimbunan barang-barang perdagangan.
Ki Gedeng Tapa-lah, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, yang punya kontribusi besar hingga Cirebon menjadi seperti sekarang ini. Awalnya, ia membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tahun 1445 M.
Sejak saat itu, para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban. Kuwu atau kepala desa pertamanya adalah Ki Gedeng Alang-alang dan wakilnya adalah Raden Walangsungsang. Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, Walangsungsang menggantikannya dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana (w. 1479) kemudian mendirikan Istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan Cirebon. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon. Seusai menunaikan ibadah haji, Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan maju sebagai Raja Cirebon pertama yang memerintah Istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik Cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (w. 1568 M). Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.

Area Keraton Kanoman (HM)
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh Syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten setelah berguru di Makkah, Baghdad, Campa, dan Samudra Pasai.
Bersama-sama para Walisanga, Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon untuk menemui uwaknya, Walangsungsang. Kemudian ia mengajarkan agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya. Untuk mendukung dakwahnya, Sunan Gunung Jati mendirikan sebuah padepokan bernama Pekikiran di Gunung Jati.
Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 M, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Walisanga. Akhirnya, pusat kegiatan Walisanga yang semula sentralnya di Tuban berpindah ke Gunung Sembung di Cirebon yang kemudian disebut sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati.
Setelah Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Cirebon, Cirebon memisahkan diri dari kekuasaan Pakuan Pajajaran, terlebih setelah gagal membujuk Raja Pajajaran untuk memeluk Islam. Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, tercatat dalam sejarah bertepatan dengan 12 Shafar 887 atau 2 April 1482 M yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Rekaman perjalanan dakwah Sunan Gunung Jati sewaktu hidupnya mungkin masih melekat di benak masyarakat Cirebon. Oleh karena itu, kalau Cirebon sekarang ini dikenal sebagai kota wali, lengkap dengan budaya dan peradaban Islamnya, semua ini tidaklah lepas dari peran Sunan Gunung Jati pada masanya. Sunan Gunung Jati punya andil besar dalam memajukan Cirebon menjadi kota yang bernuansa Islami.***
Sumber Foto: HM
