JENDELAISLAM.ID – Anda mengenal kue apem? Makanan yang terbuat dari tepung beras ini punya arti tersendiri bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Sampai kini, masyarakat masih melanggengkan tradisi ngapem.
Tradisi ini dapat kita jumpai pada bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Islam. Dulunya, bulan ini dipercaya masyarakat sebagai bulan yang sering terjadi malapetaka (blai) khususnya hari Rabo terakhir di bulan ini.
Untuk itu, dianjurkan untuk membantu orang lain dan memperbanyak sedekah khususnya untuk anak-anak yatim, para janda tua dan kaum jompo. Di samping itu, dianjurkan pula untuk meningkatkan dan mempererat tali silaturahim antara sesama. Dan kue apemlah yang menjadi kebiasaan kala itu.
Ngapem berasal dari kata “apem” yaitu kue yang terbuat dari tepung beras yang dipermentasi. Apem dimakan dengan kinca (pemanis yang terbuat dari gula Jawa dan santan). Hingga kini, masyarakat masih melakukannya dengan membagikan ke tetangga sebagai rasa syukur.
Ada yang menyebutkan tradisi ngapem ini berasal dari keraton yang sering membagi-bagikan apem di bulan Safar. Versi lain menyebutkan bahwa apem melambangkan Belanda yang harus dimusnahkan dari Cirebon dengan memasukkan apem ke dalam kinca.
Apapun versi yang berkembang di masyarakat tentang tradisi ngapem, akan tetapi muaranya tetap sama, yakni menumbuhkan kepedulian kepada sesamanya, mengajarkan bagaimana bermasyarakat dengan baik, sikap toleran dan hormat-menghormati untuk mempererat tali silaturrahim. Orang yang berkecukupan membantu yang miskin, yang lemah ekonominya, sehingga akhirnya orang yang lemah pun merasa diorangkan dan bisa menghargai orang lain juga.
Tradisi ngapem di Cirebon biasanya juga dibarengi dengan tradisi ngirab (napak tilas perjalanan dakwah Sunan Kalijaga di bumi Cirebon). Adat ngirab dikatakan memberikan keberkahan dan perlindungan, apalagi jika dilakukan pada hari Rabu terakhir (Rabu Wekasan) bulan Safar. Dimana masyarakat melakukan doa keselamatan dan keberhasilan dalam pekerjaan mereka.
Demikianlah sekilas tradisi ngapem di Cirebon dan sekitarnya. Di satu sisi, kita memang harus cerdas dan kritis terhadap keyakinan-keyakinan yang berkembang agar bisa menyikapi dengan bijak.
Di lain sisi, kita perlu mengapresiasi secara positif upaya para wali yang gigih menanamkan nilai-nilai Islami pada masyarakat, –seperti: anjuran mempererat silaturahim, bersedekah kepada orang lemah,– yang waktu itu masih kental dengan animisme dan dinamisme.***
Sumber Foto: Click Zone
