Pelajaran dari Si Kuli Panggul

JENDELAISLAM.ID – Pagi itu, ada perjamuan para pejabat tinggi di istana. Namun Ali, salah seorang petinggi, malah keluar dari perjamuan lantaran sama sekali tidak minum khamr. Ia justru pulang, lantas duduk-duduk menghadap ke Sungai Dajlah.

Ketika matahari sudah tergelincir, Ali melihat seseorang di tepi sungai. Lelaki asing itu memakai jubah putih lusuh. Kedua kakinya terbalut kain dengan beralaskan sandal yang sudah bolong. Kepalanya ditutupi kain dan bakul di pundaknya. Lelaki itu menepi kemudian duduk di atas perahunya.

Dari kejauhan, Ali terus memperhatikan. Lelaki asing itu mulai membuka kantongnya yang berisi roti kering. Ia keluarkan mangkuk kayu, dan menuangkan air. Lalu mencelupkan roti ke dalam air yang ada di mangkuk. Setelahnya, duduk bersila di atas pasir dan menyantap makanannya dengan lahap.

Usai santap siang, sesaat ia berbaring di tepi pantai, lalu bangun dan mengerjakan shalat Dzuhur.

“Pergilah pada orang yang sedang shalat itu dan bawa kemari bersama barang bawaannya!” perintah Ali pada bawahannya.

Berdialog Dengan Kuli Panggul

Akhirnya, lelaki asing itu beranjak, menggendong bakul dan nampannya sambil membaca 2 ayat QS. an-Nisa: 216 dan 19.  

“Apakah Anda penduduk sini?” tanya Ali.

“Benar.”

“Apa pekerjaanmu?”

“Seperti yang Tuan lihat, kuli panggul.”

“Ada berapa tanggunganmu?”

“Aku mempunyai seorang ibu yang sudah tua sudah tidak lagi berjalan dan seorang saudari perempuan buta dan penyakitan.”

“Isteri dan anak?”

“Aku tidak mempunyai isteri dan anak.”

“Berapakah penghasilanmu?”

“Apa yang Allah berikan kepadaku, insyaallah cukup.”

“Kamu mampu membawa beban setiap hari?”

“Jika aku selesai menunaikan shalat Shubuh, aku keluar dan mencari rezeki sampai waktu Dzuhur. Kemudian aku mengurusi diriku sampai aku selesai menunaikan shalat Ashar dan aku beristirahat dari Ashar sampai malam.”

“Bukankah kamu beristirahat di malam hari?”

“Jika aku beristirahat di waktu malam, maka Dia akan membiarkan aku di Hari Kiamat.”

Ali memahami maksudnya, beliau berkata, “Aku melihatmu makan sendiri, kenapa tidak makan dengan ibu dan saudarimu?”

“Keduanya sedang berpuasa, karena itulah kami biasa makan bersama malam hari.”

“Keluarkanlah isi kantongmu itu!”

Maka ia membuka kantongnya. Petinggi istana itu pun melihatnya sambil berpikir beberapa saat.

“Wahai Syakir! Bawakan aku 5 ribu dirham yang masih utuh, berikan kepadanya agar ia dapat memperbaiki keadaannya!” perintah Ali pada pelayannya.

“Maaf Tuan, saya tidak berkepentingan dengan uang itu,” orang tua itu menolaknya dengan halus.

Sejurus kemudian, beliau menarik tangannya dan membawanya masuk kamar.

“Bapak sudah tahu keadaanku, kisah hidupku, tempatku, kekuasaan yang ada padaku, dan kenikmatan dunia dan kelezatannya. Tolong doakan aku kepada Allah agar aku dapat zuhud di dunia dan gemar terhadap akhirat!”

Kuli panggul itu menjawab, “Tuan, aku tidak mempunyai kedudukan di sisi Allah, tapi sebagian ulama berkata, ‘Barang siapa yang takut, maka ia akan berjalan di malam hari. Oleh karena itu, berbuat baiklah! Jangan tunda amalan hari ini untuk esok hari, perbanyaklah mengingat kematian! Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Nya dan jauhilah kemaksiatan!”

Lantas, lelaki itu mengangkat kedua tanganya sambil menundukkan kepalanya, kedua matanya menangis, dan berucap, “Wahai Zat yang mengangkat langit dengan kekuatan-Nya dan meratakan tanah dengan kehendak-Nya dan menciptakan makhluk dengan iradah-Nya. Aku mohon dengan berkat rahmat-Mu, karunia-Mu dan kekuasaan-Mu, keluarkanlah sifat cinta dunia dari hati hamba-Mu, Ali! Berikanlah kepadanya taufik-Mu untuk taat kepada-Mu dengan beramal segala yang mendekatkannya kepada-Mu! Jauhkanlah dari kemaksiatan dan akhirilah hidupku dan hidupnya dengan keridhaan-Mu dan maaf-Mu!”

Setelah kepergian kuli panggul dari tempat itu, Ali terus merenung.

“Pelayan! Perintahkan penjaga perpustakaan untuk membawakan buku biografi Umar bin Khatthab,” tiba-tiba Ali memerintahkan pelayannya.

Ali membacanya dengan kedua matanya terus-terusan menangis. Ketika selesai, kembali ia menyuruh pelayannya untuk mengambilkan buku biografi Umar bin Abdul Aziz. Kembai, kedua matanya berlinang air mata saat membaca kehidupannya, juga kehidupan Said bin Musayyib, Rabi’ bin Husyaim, Malik bin Dinar. Betapa mereka semua itu hidup sederhana, zuhud, tidak mementingkan dunia namun untuk akhirat.

Setelah itu, semua orang diperintahkan untuk keluar dari ruangan. Tinggallah ia merenung sendiri. Namun ketika malam tiba, mendadak Ali memanggil pelayannya.

“Jagalah seluruh isi rumah, aku akan pergi menuju Tuanku.”

Syakir mengira bahwa yang ia maksudkan dengan Tuannya adalah ayahnya. Ali keluar membawa sarung dan sepasang sandal. Ia pergi hanya ditemani seorang pelayan kecil.

Keluar dari Istana

Tengah hari berikutnya, barulah pelayan kecil datang di istana. Karena penasaran, Syakir langsung menanyakan padanya tentang keadaan tuannya, Ali.

“Ia tidak ke rumah, tetapi menuju Sungai Dajlah dan memintaku agar tidak mengikutinya lagi. Kemudian, ia meminta pada nelayan di situ untuk mengantarkannya. Ia naik perahu. Setelah itu, aku tidak tahu,” katanya.

Rupanya tanpa sepengetahuan orang, Ali menuju Bashrah mengenakan baju kasar dan menggendong sebuah bakul seperti yang dikenakan kuli panggul.

Ia berpuasa sambil bekerja, dan malam harinya ia shalat. Ia berjalan tanpa alas kaki sehingga kakinya pecah-pecah. Bermalam di masjid-masjid dan ia lakukan hal itu terus-menerus selama bertahun-tahun.

Hingga suatu saat Ali sakit, tergeletak di masjid dengan kondisi menyedihkan. Ia sakit parah. Karena itulah, ia sewa sebuah kamar.  

Sebelum nafas terakhir, ia sempat menitipkan cincin dan lembaran berstempel.

“Apabila aku meninggal, temuilah raja dan perlihatkan cincinku, perkenalkan dirimu dan berikan lembaran ini padanya!”

Ali akhirnya meninggal. Pemilik losmen mengurusnya. Setelah itu ia menuju raja. Ia perlihatkan cincin itu.  

“Dimana pemilik cincin ini?” tanya sang raja.

“Di dalam kamar losmen dan telah meninggal, Tuan,” jawab pemilik losmen.

Raja kemudian membawa jasad itu ke istana. Ia bubuhi kapur, minyak wangi misik, dan anbar. Lantas mengafaninya dan membawanya lewat sungai menuju al-Makmun, ayah Ali. Al-Makmun ikut menyalati.

Ketika diletakkan di liang lahat, al-Makmun berkata kepada para penggali, “Keluarlah!” Kemudian ia masuk ke dalamnya dan berkata, “Anakku! Semoga Allah merahmatimu dan memberikan harapan-harapanmu. Engkau anak yang baik, semoga Allah menyatukanmu dengan Rasulullah dan memberi kesabaran kepadaku.”

Setelah semua prosesi selesai, al-Makmun berkata, “Wahai Tuhan, tetapkanlah ia dengan kalimat tauhid dan saksikanlah bahwa aku ridha.”

Ternyata setelah kepergian putranya, al-Makmun tidak enak makan dan tidur. Para ulama datang silih berganti menjenguknya, menasehatinya dan berpesan agar sabar. Keadaan seperti itu terus berlangsung hingga ia wafat.

 Demikianlah taubatnya Ali bin al-Ma’mun dan ayahnya, sebagaimana dikisahkan dalam buku “Kemuliaan Taubat; Kisah Orang-orang yang Diampuni.”*** 

Sumber Foto: Pixabay/Camera-man