JENDELAISLAM.ID – Senja memang waktu yang dinantikan Musa. Sebab saat-saat itulah ia bisa menyaksikan pemandangan indah tepi pantai. Semburat kekuningan yang menghiasi benar-benar mempesona dirinya.
Selain memandangi alam, ia juga kerap memperhatikan orang yang lalu-lalang dari balkon tinggi miliknya. Balkon megah tersebut mempunyai banyak pintu yang di antaranya menghadap ke pantai. Sebagian lainnya menghadap perkebunannya. Di dalam balkon, terdapat kubah gading gajah yang dibubut dan dilapisi dengan perak dan emas, lalu ditutup dengan kain tenun berwarna hijau dan dilapisi dengan kain sutera yang halus.
Sembari menikmati senja, beberapa dayang cantik yang ada di kanan kiri Musa mengibaskan kipas, sedang para penyanyi dan musisi terus memainkan musik di hadapannya. Di ruangan itu, sejumlah teman minum Musa larut dalam kesenangan. Hingga larut malam, iringan musik terus mengalun berpadu dengan aroma arak yang memenuhi ruangan.
Pemuda kaya yang dianugerahi wajah rupawan dan suara merdu ini benar-benar dibutakan oleh kenikmatan duniawi. Sepanjang siang dan malam, hidupnya hanya bersenang-bersenang. Minum, mabuk, berjudi dan berbagai maksiat lain. Tak ingat kata ‘mati’, tak ingat pula kata ‘sedih’.
Di antara saudara-saudaranya yang lain, Musa memang paling kaya. Ia bergelimang harta. Segala macam kemewahan ia punya. Di usianya yang masih muda, ia memiliki kekayaan melimpah karena lahan perkebunannya yang membentang luas terus-menerus menghasilkan. Praktis, semua yang diinginkannya terpenuhi.
Nasehat Pemuda Kumal
Suatu ketika, saat tengah malam, ia mendengar nyanyian merdu yang lain dari biasanya. Suara itu bukan berasal dari para penyanyinya. Dengan lambaian tangan, ia mengisyaratkan agar semua orang diam. Lalu ia melongok melalui jendela untuk mengetahui keberadaan suara indah itu. Nyanyian itu terdengar lamat-lamat.
“Carilah pemilik suara itu!” ia menginstruksikan pada para pelayannya.
Mereka mencari dan menemukan seorang anak muda kurus, bibirnya layu, rambut berdebu dengan perut kempis. Pakaiannya lusuh, ia sedang shalat di sebuah masjid.
Tanpa basa-basi, mereka segera menghadapkannya pada Musa.
“Siapa dia?” tanya Musa.
“Dialah pemilik suara yang Tuan dengar itu,” jawab mereka.
“Dimana kalian mendapatkannya?”
“Di masjid sedang shalat dan membaca al-Qur’an,” sahut mereka.
“Apa yang sedang engkau baca anak muda?”
“Firman Allah.”
“Coba perdengarkan padaku!”
Anak muda yang kumal itu langsung membaca QS. al-Muthaffifin: 22-28, ar-Rahman: 54, 52 dan 76, QS. al-Waqi’ah: 33, al-Haqah: 21 dan beberapa ayat lainnya.
Mendengar sitiran ayat-ayat yang seakan menelanjangi dirinya, Musa langsung berdiri dan segera memeluk anak itu. Spontan ia menangis sejadi-jadinya.
Teman-temannya segera ia perintahkan untuk keluar. Lalu dengan mata masih sembab, Musa mengajak anak muda itu ke halaman rumah dan duduk di atas tikar. Musa terus menangis serta menyalahkan dirinya. Sementara anak muda itu tak bosan-bosannya menasehati sampai menjelang pagi.
Sadar akan dosa-dosa masa lalunya, Musa memerintahkan supaya emas, perak, permata, pakaian-pakaiannya dan harta kekayaannya dijual semuanya yang kemudian ia infakkan. Budak-budaknya ia merdekakan. Hingga kemegahan dan kemewahan yang ia punya tak ada lagi. Kini, ia hidup sederhana dengan hanya mengenakan pakaian sederhana yang kasar. Setiap hari, ia berangkat ke masjid. Di pertigaan akhir malam, ia isi dengan tahajjud dan munajat, sedang siang harinya ia berpuasa.
Taubat dan Berhaji
Di akhir hidupnya yang sudah miskin, Musa pergi haji dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki, menelusuri padang pasir yang panas, sebagai bagian dari penebusan dosanya. Di sana (Makkah), tiap hari ia beribadah dan memohon ampun kepada Allah. Di waktu malam ia terus mengelilingi Ka’bah dan masuk ke Hijir Ismail untuk memanjatkan doa. Wajahnya penuh kerutan seakan sudah sangat tua.
Mendadak seseorang masuk di Hijir Ismail. “Engkau masih muda, hatimu terluka, sedih dan gundah. Rintihanmu menyedihkan, air matamu begitu banyak yang tumpah, sungguh apa yang terjadi?” kata orang asing itu.
Musa menoleh dan rupanya mengenali orang di depannya, “Bukankah engkau orang yang menasehatiku ketika aku tenggelam dalam kesesatan? Aku adalah Musa yang engkau lihat di kota Bashrah.”
Pertemuan mereka begitu mengharukan. Keduanya pun berpelukan.
“Sungguh Allah telah menyadarkanku dari kelalaian dan memperlihatkan segala aibku sehingga aku tinggalkan semua yang aku miliki. Aku menuju Allah, apakah menurutmu Dia akan menerimaku? Sungguh aku takut Dia telah palingkan wajah-Nya dariku,” kata Musa.
“Sahabatku, bergembiralah! Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah melebihi seorang anak muda yang bertaubat.”
Musa menahan diri agar tidak menangis, khawatir orang-orang akan datang berkerumun kepadanya karena mendengar tangisannya. Lantas keduanya keluar menuju sebuah tempat.
“Aku selalu rindu untuk bertemu denganmu supaya engkau mengobati lukaku dengan nasehatmu,” kata Musa.
“Allah telah membahagiakanmu dengan kelembutan-Nya sehingga Dia sadarkan kamu dari tidur. Maka bersyukurlah atas taufik yang Dia berikan kepadamu. Jadilah orang yang bersyukur dengan nikmat yang Dia berikan kepadamu. Jadilah orang yang selalu memuji-Nya sungguh Allah dengan rahmat-Nya telah menggantikan dengan yang lebih baik dari yang telah engkau tinggalkan karena takut kepada-Nya.”
“Jadikanlah kematian di hadapanmu. Ketahuilah bahwa di hadapanmu ada tebing terjal yang harus dilalui esok hari, tidak dapat seseorang melaluinya melainkan orang-orang yang selalu menjaga dari hal yang haram. Dan di hadapanmu ada sebuah jembatan, tidak ada seorang yang dapat menyeberanginya melainkan mereka yang telah meringankan dirinya dari kezaliman. “Akan jatuh dari jembatan itu ke dalam api neraka yang gejolaknya mengepung mereka dan jika mereka meminta minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” (QS. al-Kahfi: 29).
Musa mendengar nasehat itu sembari menundukkan kepalaya seperti berpikir. Setelah itu, teman lama Musa beranjak keluar. Tetapi menjelang shalat Dzuhur saat sedang thawaf, tiba-tiba ia diberitahukan bahwa ada seseorang telah meninggal.
“Apakah kalian mengenalnya?” tanya teman Musa pada mereka.
“Ia orang asing yang singgah di sini untuk menunaikan haji. Di malam hari ia bangun mengerjakan shalat, dan di siang hari ia berpuasa, meratapi dirinya seakan-akan seluruh dosa manusia dia yang menanggungnya. Tidak diketahui pekerjaannya dan dari mana makannya.”
“Sudah berapa lama dia di sini?” tanya sahabat karib Musa.
“Dua musim haji.”
Ternyata, orang yang dikabarkan telah meninggal adalah Musa al-Hasyimi. Sahabat Musa berduka dan segera mendoakan agar semua amal kebaikannya diterima di sisi-Nya.
Demikianlah kisah pertaubatan Musa bin Sulaiman al-Hasyimi, sebagaimana dinukil dalam buku “Kemuliaan Taubat” karya Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy.***
Sumber Foto: Pexels/Mutahir Jamil.
