Apa Makna Mampu dalam Berhaji?

JENDELAISLAM.ID – Siapa pun yang beragama Islam pasti ingin sekali menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima. Haji adalah kewajiban sekali seumur hidup bagi umat Islam. Namun seperti kita ketahui, biaya haji tidaklah sedikit dan terus meningkat hampir tiap tahunnya.

Oleh karena itu, tidak semua orang Islam dapat memenuhi rukun Islam kelima ini karena kendala istitha’ah (mampu).

Seperti dikatakan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah Jilid 2, “mampu” berarti adalah sehat secara fisik, sehat secara mental, aman dan memiliki ongkos. Hanya umat Islam yang mampu, yang dikenakan taklif (beban) haji.

Jika seseorang mampu secara mental, mengetahui manasik haji dan sehat secara fisik, tetapi tidak mampu  secara finansial, maka ia belum wajib menunaikan ibadah haji.

Sebaliknya, ia mampu secara finansial, tetapi tidak siap secara mental, misalnya gangguan mental, maka ia juga tidak wajib berhaji. Tetapi, jika ia sehat secara fisik dan mental, aman dan memiliki ongkos untuk berangkat, maka kewajiban itu melekat padanya.

Dalam QS. Ali Imran: 97, menyinggung tentang syarat tersebut, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam).”

Syarat ‘mampu’ ini sangat penting. Dalam agama, kemampuan finansial tidak hanya berarti memiliki cukup uang untuk berangkat, tinggal di Tanah Suci dan kembali ke tanah air, tetapi juga mencakup pemberian nafkah keluarga (jika kepala keluarga) yang ditinggalkan selama beribadah haji.

Tidak hanya itu, perjalanan tersebut haruslah perjalanan yang tidak menimbulkan kekhawatiran bagi keluarga di rumah. Jika keluarga harus menjual barang, tanah, atau aset keluarga lainnya yang masih dibutuhkan, orang tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan perjalanan demi memenuhi kewajiban haji.

Sebagai contoh, jika seseorang harus menjual tanahnya untuk pergi haji, sementara ada anak-anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah karena dia menjual tanahnya maka orang tersebut tidak benar-benar mampu. Menafkahi keluarga jauh lebih wajib, termasuk membiayai pendidikan anak-anak.

Oleh karena itu, orang yang memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji meskipun tidak mampu, berarti ia telah meninggalkan kewajibannya demi sesuatu yang belum menjadi kewajibannya. Tidak mengapa menjual harta untuk biaya haji, kecuali jika anak-anaknya sudah dewasa dan hidup mandiri serta tidak memiliki tanggungan.

Atau orang menggebu-gebu ingin berhaji, namun biayanya masih kurang, kemudian mencari jalan dengan cara menghutang untuk menggenapi ongkosnya, maka sama saja ia belum mampu. Jika kondisi riilnya belum mampu, maka tak perlu memaksakan diri.

Haji adalah kewajiban seumur hidup, tetapi tidak menjadi kewajiban jika kondisi fisik, mental, finansial, atau keamanan tak memungkinkan.

Tak perlu memaksakan diri ketika fisik sakit dan lemah. Bahkan agama memberikan keleluasaan bagi mereka yang sakit dan tidak berdaya untuk melakukan badal (mewakilkan) haji. Badal berarti dapat meminta anggota keluarga  yang telah melakukan haji untuk melakukan haji atas nama dirinya. Ini adalah jalan kemudahan yang diberikan agama.

Tidak Memaksakan Diri

Memang agama mendorong kita untuk menunaikan ibadah haji. Kendati demikian, agama memperingatkan kita untuk bersikap rasional dalam segala hal yang kita lakukan, dan agama tidak membebankan sesuatu di luar kemampuan seseorang.

Dengan kata lain, jika aturan haji sesuai dengan yang telah ditetapkan, seseorang harus memenuhinya. Namun, jika aturan haji tidak terpenuhi, seseorang tidak diwajibkan untuk melakukannya.

Dua kata kunci mengenai haji adalah “mampu dan “sekali seumur hidup”. Mampu seperti telah dijelaskan sebelumnya. Sekali seumur hidup berarti bahwa haji hanya diwajibkan sekali selama seorang Muslim hidup di dunia ini, tidak lebih. Agama bahkan memperingatkan bahwa mengulangi ibadah haji dapat menjadi haram jika seseorang melakukan haji berulang kali dan mengabaikan kemiskinan orang-orang di sekitarnya.

Menurut hemat penulis, sangat ironis apabila orang mati-matian berusaha menjual aset keluarga mereka untuk pergi haji sementara mereka masih membutuhkannya untuk menghidupi keluarga.

Untuk mencapai kesalehan pribadi, ia  tidak dapat mengabaikan keluarganya yang bergantung padanya, bahkan jika mereka tidak lagi bergantung padanya, ia harus memperhatikan kondisinya sendiri pasca sekembalinya.

Jika kehidupan pribadi dan keluarganya justru terganggu roda kehidupannya, itu akan sangat menyedihkan. Apalagi jika tujuan pergi haji  adalah untuk meningkatkan gengsi di masyarakat.

Haji adalah kewajiban sekali seumur hidup. Tetapi jika seseorang tidak bisa menunaikan ibadah haji, maka haji tidak lagi menjadi wajib baginya bila kenyataannya orang tidak berkemampuan selama hidupnya.

Katakanlah jika orang hidup pas-pasan selama hidupnya, maka ketentuan wajib itu tidak berlaku baginya. Daripada memaksakan diri untuk menunaikan haji, sementara kondisi keluarga pas-pasan, alangkah lebih baik jika dana untuk menunaikan ibadah haji dialokasikan untuk menunjang peningkatan ekonomi keluarga. Sebab, meningkatkan taraf ekonpmi keluarga lebih wajib daripada memaksakan diri.

Bagi yang tidak mampu secara finansial, tak perlu berkecil hati. Agama menawarkan alternatif pengganti ibadah haji yang nilai spiritualnya tidak kalah dibandingkan dengan ritual haji.

Mungkin orang berpandangan, agama begitu rumit dan sulit. Namun, jika orang memahaminya dengan benar, sebenarnya tidaklah serumit dan sesulit yang dibayangkan. Agama justru mempermudah seseorang dalam hal apapun, termasuk urusan haji. Secara jelas QS. al-Baqarah: 286 menyatakan, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan keanggupannya.”***

Sumber Foto: Pexels/Sultan