JENDELAISLAM.ID – Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Namun, dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim boleh tidak berpuasa.
Agama memberikan dispensasi (rukhshah) bagi Muslim yang berada dalam kondisi-kondisi berikut:
1. Bepergian (Musafir)
Orang yang sedang bepergian jauh di bulan Ramadhan, boleh tidak berpuasa. Yang dimaksud jauh dalam agama adalah jarak orang yang sudah diperbolehkan melakukan jama’dan qashar shalat.
Dasarnya, “…Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. al-Baqarah: 184).
Juga sebuah hadits Aisyah, sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Aslami (sering berpuasa saat bepergian) bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah aku harus berpuasa saat bepergian?” Beliau bersabda, “Kalau mau, berpuasalah dan kalau mau, berbukalah” (HR. Jamaah dan al-Baihaqi, kata at-Tirmidzi, hadis ini hasan).
Ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa seseorang yang sedang bepergian itu boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan juga boleh berpuasa. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih baik.
Menurut para ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan ats-Tsauri, bagi orang yang kuat menjalankan puasa lebih baik tetap berpuasa. Begitu pula sebaliknya. Dalil mereka ialah, “… Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui” (QS. al-Baqarah: 184).
Dan hadits Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan. Sebagian di antara kami, ada yang berpuasa dan sebagian di antara kami ada yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak marah kepada orang yang berbuka, dan orang yang berbuka pun tidak marah kepada orang yang berpuasa. Mereka berpendapat bahwa siapa yang merasa mampu, hendaklah ia tetap berpuasa, karena hal itu adalah baik. Dan mereka juga berpendapat bahwa siapa yang merasa tidak mampu, hendaklah ia berbuka, karena hal itu adalah baik” (HR. Ahmad, Muslim dan Baihaqi).
Menurut Imam Ahmad dan Ishak, tidak berpuasa saat bepergian itu adalah lebih baik, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Bukanlah merupakan sebuah kebaikan kalau kalian berpuasa saat dalam bepergian” (HR. Ahmad dan Muslim.
2. Sakit
Orang yang sakit dan merasa berat menjalankan puasa, atau khawatir jika berpuasa sakitnya bertambah atau khawatir sakitnya terlambat sembuh berdasarkan pengalaman, atau berdasarkan keyakinannya, atau berdasarkan keterangan seorang dokter yang terpercaya, para ulama sepakat bahwa ia diperbolehkan tidak berpuasa. Sama seperti orang yang sakit tadi adalah seseorang yang sehat, tetapi khawatir akan jatuh sakit, jika berpuasa berdasarkan keyakinannya, atau berdasarkan pengalaman atau berdasarkan keterangan seorang dokter.
Menurut ath-Thabrani dalam “asy-Syarhu al-Kabir”, ada beberapa ulama salaf yang memperbolehkan tidak berpuasa karena menderita sakit apa saja, termasuk sakit bisul di jari-jari tangan, sakit gigi, dan sebagainya. Mereka mendasarkan karena ayat al-Qur’an bersifat umum. Sebab, menurut mereka, sakit bisul di jari-jari tangan dan sakit gigi itu terkadang sangat menyiksa sehingga bisa membuat penderitanya tidak bisa tidur dan sulit beristirahat.
“Maka siapa saja di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain” (QS. al-Baqarah: 184).
Orang yang merasa dengan berpuasa akan memberatkan sakit yang dideritanya, atau bisa memperlambat kesembuhannya, maka hukum puasanya makruh. Alasannya, hal itu bisa membuat madharat pada diri sendiri, berpaling dari rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah, dan tidak mau menerima kemurahan-Nya. Tetapi apabila dalam kondisi tersebut tetap berpuasa, maka puasanya sah.
3. Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita hamil dan menyusui bayi dibolehkan untuk tidak berpuasa. Dengan catatan, keduanya merasa khawatir atas dirinya atau bayinya. Alasan pembolehan berbuka puasa bagi keduanya ialah analogi atas orang sakit dan musafir, dan hadits Nabi SAW dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Allah SWT meringankan kewajiban puasa dan sebagian shalat dari musafir, dan (meringankan kewajiban) puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui” (HR. Imam Lima).
Menurut para ulama, wanita yang hamil dan yang menyusui itu wajib membayar puasa dan fidyah apabila mengkhawatirkan kondisi anak. Mereka mengatakan bahwa fidyah tersebut harus dibayar setiap hari berupa makanan pokok penduduk setempat, kalau memang mampu jika tidak mampu, maka kewajiban kafarat tersebut menjadi hilang, sebagaimana yang berlaku bagi orang yang tidak berpuasa karena sengaja dan tidak mampu membayar fidyah.
4. Tua Renta
Orang yang tua renta (baik laki-laki maupun perempuan) boleh tidak berpuasa. Mereka tidak wajib mengqadha puasa, karena tidak ada kemampuan dalam dirinya. Tetapi keduanya wajib mengeluarkan fidyah, yakni memberi makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari.
Firman Allah SWT,“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (QS. al-Baqarah: 184).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini dtujukan untuk orang yang sudah tua renta, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu lagi berpuasa. keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari.
Dipersamakan dengan tua renta adalah orang sakit yang kesembuhannya tidak bisa diharapkan. Maksudnya, orang sakit yang seperti ini tidak wajib mengqadha puasanya. Dia hanya wajib mengeluarkan fidyah. Pendapat ini merujuk pada ayat, “… Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. al-Hajj: 78).
Apabila seseorang yang tidak sanggup berpuasa karena terlalu tua atau karena sakit yang cukup berat dan sudah mengeluarkan fidyah, namun mendadak ia merasa kuat melakukan berpuasa tanpa ada risiko yang perlu ditakuti, maka ia wajib berpuasa. Menurut salah satu pendapat Imam Ahmad, ia tidak wajib membayar puasa yang ditinggalkanannya. Sedangkan menurut pendapatnya yang lain, ia wajib membayar puasanya tersebut, karena ia mampu berpuasa pada hari-hari yang lain.
Adapun orang sakit yang tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadhan, tetapi dia mampu mengqdhanya pada waktu yang lain, maka dia wajib mengqadhanya nanti di luar bulan Ramadhan. Dia tidak wajib mengeluarkan fidyah.
5. Terpaksa
Orang yang dalam kondisi dipaksa oleh suatu keadaan darurat yang tidak diinginkan, boleh berbuka puasa. Menurut jumhur, ia harus mengqadha puasanya. Misalnya, seseorang yang dipaksa akan dibunuh.
6. Takut Mati atau Kurang Akal
Orang yang takut mati atau kurang akal atau bahaya-bahaya lain yang akibat menanggung lapar atau dahaga yang sangat berat apabila tetap berpuasa, boleh tidak berpuasa. Acuannya adalah firman Allah, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. al-Baqarah: 195).
Juga firman Allah yang lain, “Dia sama sekali tidak menjadikan untukmu dalam urusan agama suatu kesempitan” (QS. al-Hajj: 78). Hadits Ibnu Abbas menyatakan sesungguhnya Nabi SAW berkata, “Tidak boleh menimpakan madharat kepada orang lain dan menimpakan madharat kepada diri sendiri” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).
7. Berperang di jalan Allah
Boleh tidak berpuasa bagi orang yang berperang demi menegakkan kalimat Allah meskipun ia bukan musafir, sebab kalau harus berpuasa ia khawatir hal itu bisa melemahkan fisik serta semangat jihadnya.***
Dari Berbagai Sumber & Foto: Pixabay/wal_172619
