JENDELAISLAM.ID – Bila Anda mengunjungi di daerah Jakarta Kota, Anda akan menemukan banyak tempat bersejarah dengan arsitektur bangunan yang masih asli. Nah, salah satu tempat bersejarah tersebut di antaranya adalah Masjid Jami’ al-Anwar Angke. Posisi masjid ini terletak di Jalan Tubagus Angke Gg. Masjid RT. 001 RW. 05 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta Barat, tidak jauh dari Stasiun Kota.
Masjid Jami’ Al-Anwar Angke adalah sebuah situs ibadah yang khas dan unik. Masjid ini termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Hanya saja, lokasinya yang berhimpit-himpitan dengan rumah penduduk dengan gang yang kecil pula, menjadikan masjid bersejarah ini agak terisolir.
Dalam perkembangannya, nama masjid ini lebih terkenal dengan sebutan Masjid Angke. Kata “Angke” berasal dari kata Tionghoa yang berarti Riviere qui deborde yakni kali yang sering banjir. Memang di Jakarta Barat terdapat sebuah kali yang dinamakan Kali Angke yang dulunya sering banjir. Karena mungkin letak masjid ini berada di dekat kali yang sering banjir tersebut, maka masjid ini lebih populer di masyarakat dengan nama Masjid Angke. Konon, masjid ini sering kebanjiran sehingga ketinggian lantai ruang shalat dinaikkan lima anak tangga dari lantai ruang luarnya.
Usia masjid ini hampir 2,5 abad. Kendati demikian, keunikan bangunan masjid ini masih dapat kita lihat hingga kini. Sejarawan dari Belanda, Dr. de Haan dalam bukunya “Oud Batavia” menyebut masjid ini didirikan pada Kamis, 26 Sya’ban 1174 H atau bertepatan 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan China Muslim kaya dari Tartar yang menikah dengan pangeran dari Banten. Sementara kampung masjid tersebut dulunya bernama Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu.
Sementara itu, sejarawan asal Jerman, Heuken, menulis bahwa kampung itu didirikan pada 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia. Tenaga mereka dijual sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan sisanya lagi datang dengan sukarela untuk bercocok tanam. Selama puluhan tahun, orang-orang Bali ini menjadi kelompok terbesar kedua di antara penduduk Batavia.
Masjid Angke yang sekarang ini mungkin tak ubahnya Masjid Angke yang dulu. Tidak berubah dari bentuk fisiknya. Kalau pun ada yang perlu direnovasi adalah bagian-bagian yang dianggap perlu diperbaiki, seperti penggantian lantai masjid. Selebihnya seperti bangunan induknya yang asli 13 × 13 m2 tetap dibiarkan namun tetap dirawat. Meski pun masjid ini telah diperluas lahannya, tetap saja masjid ini terlihat mungil bila dibandingkan dengan masjid-masjid modern di ibu kota ini.
Basis Perjuangan
Seperti masjid-masjid bersejarah lainnya, Masjid Angke ini pun dulunya dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar masjid. Aksi perjuangan itu dipelopori oleh para ulama, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Sebab di masjid yang letaknya agak tersembunyi ini dinilai sangat strategis untuk melawan Belanda. Di masjid inilah para pemuda mengatur strategi.
Di samping orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis China. Mereka tinggal bersama di tempat ini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan China oleh Belanda. Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Cina yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian turut mendirikan Masjid Angke sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini sehingga Belanda tidak dapat mengetahui gerakan bawah tanah ini.
Bukti sejarah perlawanan para pejuang Angke ini bisa dilihat di sekitar masjid. Beberapa makam para pejuang sekaligus ulama dapat ditemukan di sekitar masjid ini. Di antaranya adalah makam Syekh Ja’far, yang masih keturunan dari kesultanan Banten.
Di samping itu, ada pula pula makam Syarif Hamid Alkadri yang berasal dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat, dan beberapa makam keluarga Arab. Syarif Alkadri ini pada tahun 1800-an oleh Belanda dibuang ke Batavia karena melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekarang, makam tersebut dilapisi marmer putih dan ditutup kain kuning serta dikelilingi pagar. Epigraf Arab latin di sudut makam menuliskan keterangan meninggalnya: 64 tahun lebih 35 hari tahun 1854.
Melihat perjalanan masjid tersebut, wajarlah bila berbagai etnis pernah tinggal dan mewarnainya. Ini menandakan bahwa masyarakat sekitar yang menjadi penduduk asli Batavia juga sangat terbuka, toleran serta hidup bersama dengan baik bahkan kompak dalam satu barisan melawan penjajah.
Arsitektur Unik
Nilai lebih dari masjid ini adalah tetap terjaga keasliannya. Masjid dengan pintu kayu jati besi dengan ukiran khas Bali ini memang telah mengalami renovasi beberapa kali, termasuk perluasan, penambahan pagar dan mengganti lantai dengan marmer. Kendati demikian, toh tidak merubah dari bentuk asli masjid ini saat pertama kali didirikan.
Gapuranya yang terletak di sebelah utara, masih asli berbentuk gapura belah. Sedangkan, pintu masuk menempati sudut selatan berbentuk gapura tertutup. Gapura berbentuk huruf D pada Masjid Al-Anwar Angke ini mengingatkan pada gapura bangunan kuno di Banten dan Cirebon. Tembok keliling masjid pun berhiaskan pelipit-pelipit yang sama dengan gapuranya.
Uniknya lagi, masjid ini tidak hanya mengacu pada satu gaya arsitektur, melainkan memadukan berbagai arsitektur, yakni Belanda, Banten, Bali dan China. Langgam arsitektur Jawa dapat ditelusuri dari denah bangunan persegi, bentuk atap tumpang, dan sistem struktur saka guru. Bentuk bangunan bujur sangkar dan atap tumpang seperti ini mirip dengan bentuk masjid tradisional Jawa, termasuk konstruksi empat saka guru di tengah ruang shalat yang menopang atap –meskipun tidak menggunakan material kayu tetapi material beton/bata pada kolomnya, namun tetap memperlihatkan kesamaannya dengan sistem konstruksi masjid-masjid tradisional di Jawa.
Empat saka tersebut dibangun bernafaskan filsafat Islam, seperti empat pilar yang berada di dalam merupakan ‘saka guru’. Saka guru adalah sahabat Nabi Muhammad SAW: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Nama empat sahabat ini pula yang tertulis dalam saka-saka penyangga Masjid Angke.
Kemudian gaya China dapat dilihat pada detail konstruksi pada atap bangunan. Atap dengan gaya susun mengerucut ke atas, dibuat dengan arsitektur China – Jawa lengkap dengan ‘pendul-pendul’ berbentuk lampion di pinggiran atapnya mirip vihara. Model kayu bertumpuk seperti ini memang merupakan pengaruh budaya China yang juga banyak ditemukan di pantai utara Jawa antara abad ke-14 dan ke-18.
Sedangkan gaya Eropa dapat diamati terutama pada bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintu-pintu di masjid ini dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda. Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar, namun jeruji kayu ulir sebagai pengisi jendela seperti itu lebih menampakkan kemiripan dengan jendela khas rumah tradisional Betawi dan umum dipakai pada masjid-masjid kuno di Jakarta yang dibangun pada sekitar abad ke-18.
Keunikan lain yang tetap dipertahankan masjid ini adalah ruang khusus khatib yang bergaya Belanda, dengan lima anak tangga. Lima anak tangga ini pun disimbolkan sebagai rukun Islam. Bahkan tasbih yang menggantung di ruang khatib ukuran 1 x 1 meter itu pun telah berumur ratusan tahun. Dan detail-detail yang lain pun masih bisa dijumpai di sini.
Perjuangan Terus Berlanjut
Memang sekarang bukan lagi jaman penjajahan. Akan tetapi peran masjid Angke yang dulu menjadi basis perjuangan sekaligus tempat menggembleng keimanan dan ketakwaan masyarakat, kini tetap berjalan di atas jalurnya sesuai dengan cita-cita para pendirinya. Perjuangan yang dulu digelorakan oleh para ulama terdahulu di masjid ini tetap hidup dan akan hidup terus.
Perjuangan dalam bentuk lain tetap digalakkan. Kegiatan keagamaan, seperti: TK dan TPA yang diselenggarakan tiap hari persis di halaman masjid, kemudian pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu, diskusi keagamaan muda-mudi, acapkali diadakan di masjid ini. Di samping itu, juga ada penggemblengan bagi anak-anak yang ingin belajar, mengkaji serta menghapal al-Qur’an. Maksud dari semua kegiatan ini bermuara pada penanaman nilai-nilai moral agar dapat membentengi umat dari hantaman kemajuan zaman.***
Foto: Tangkapan Layar Youtube Vian Den Bosch
