JENDELAISLAM.ID – Penjelajahan yang dilakukannya menghabiskan waktu + 30 tahun, dan jarak yang ditempuhnya + 73.000 mil. Semua perjalanannya ini terbukukan dalam karya berjudul “Tuhfah an-Nuzzâr fî Gharâib al-Amsâr wa Ajâib al-Asfâr”(Hadiah buat para pengamat yang meneliti keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan perjalanan).
Pengembaraan Ibn Batutah memang terbilang fantastis. Bisa dibayangkan bagaimana medan yang sulit harus dihadapi dengan jarak sekian ribu mil. Sebagian besar dilakukannya melalui jalur laut dengan kapal layar. Selebihnya ditempuh dengan jalan kaki.
Dari sinilah Ibnu Batutah mengenal, berbaur, serta memahami keaneka-ragaman tradisi masyarakat yang dijumpainya. Tak lupa, momentum-momentum penting tersebut hampir selalu didokumentasikan dalam catatan-catatannya.
Kepiawaiannya menjelajah samudera dan daratan, nama Ibn Batuta sebagai penjelajah pun disandingkan dengan penjelajah lain sekaliber Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake, dan Magellan. Malahan tempat-tempat yang dikunjungi Ibnu Batutah ini jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang dikunjungi Marcopolo. Ibn Batutah bukan saja sudah mengelilingi wilayah Islam bagian tengah, tetapi juga jauh mencapai wilayah Asia, seperti: India, Indonesia, Asia Tengah, juga Afrika Timur dan Sudan di Afrika Barat.
Apalagi setelah karya besar tentang penjelajahannya, “Rihlah Ibn Batutah”, dialihbahasakan dalam berbagai bahasa, seperti: Inggris, Prancis, Latin, Portugis, Jerman, Persia, Jepang dan lainnya pada pertengahan abad ke-19. Nama Ibn Batutah semakin melambung. Bukan saja sebagai penjelajah Muslim yang dikenang sepanjang masa, namun juga penulis sejarah Muslim yang hebat.
Biografi Ibn Batuta
Ibnu Batutah sebenarnya bernama Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati. Namun kemudian, orang lebih banyak mengenalnya dengan sebutan Ibnu Batutah.
Ia lahir pada hari Senin tanggal 17 Rajab tahun 701 H atau 24 Februari 1304 M di Tangiers, sebuah kota kecil di Maghrib atau Maroko Afrika Utara.
Keluarganya sangat taat beragama dan mumpuni dalam hukum Islam. Dan itu mengalir dalam diri Ibnu Batutah. Ia pun intens belajar fiqih pada banyak ulama hingga akhirnya mengantarkan dirinya menguasai hukum-hukum Islam.
Di samping itu, Ibnu Batutah juga mendalami sastra dan syair Arab. Oleh karena itu, tak mustahil jika ia piawai melukiskan peristiwa-peristiwa yang dilihatnya dalam setiap pengembaraannya dengan gaya bahasa yang hidup dan menarik. Perjalanannya di kapal yang penuh dengan ketegangan, ombak besar yang menggulung, badai yang menghempas kapal, bunyi tiang layar yang berderit-derit, kegaduhan penumpang dan kesibukan kapten kapal, hingga keramaian bandar pelabuhan, semuanya dituliskan dengan bahasa yang mengalir dalam catatan-catatan perjalanannya.
Penjelajahan yang dilakukannya pun tak luput dari rasa ingin tahunya tentang banyak hal. Ia ingin terus menimba ilmu dari satu daerah ke daerah lain, dari satu orang ke orang lain, dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain.
Setiap menginjakkan daerah baru, Ibnu Batutah senantiasa bersilaturahim pada penduduk setempat untuk bertukar pendapat, berdiskusi masalah agama, dan soal-soal lainnya serta berbagi ilmu dan pengalaman.
Dalam setiap pengembaraannya, Ibn Batutah selalu menyempatkan diri belajar kepada ulama-ulama dan ilmuwan, seperti: di Mesir, Syiria, dan Hejaz.
Di Mesir, ia sempat mendalami ajaran-ajaran sufi dan tarekat ar-Rifaiyah di bawah bimbingan Syekh Abd ar-Rahim ar-Rifai. Di Shiraz (Iran), ia berguru kepada seorang alim bernama Maulana A’zam Mujadiddin Ismail. Ia juga menekuni fiqih pada Syekh Saifuddin Musa di Tustur serta mengaji tasawuf pada sufial-Bahlawan bin al-Huwajjij.
Boleh dibilang seluruh daerah Muslim di dunia sudah dikunjunginya. Mulai dari tanah kelahirannya di Maroko, berlanjut di kota-kota besar Afrika Utara, Iskandariyah, Dimyat, Kairo dan Aswan di Mesir, Palestina, Syiria, Mekkah, Madinah, Najaf, Bashrah, Syiraz di Iran. Lalu Moshul, Kufah, Baghdad, Jeddah, Pantai Timur Afrika, Yaman, Omman, Hormuz, Bahrain, Asia Kecil, Rusia Selatan, Bulgaria, Polandia, Konstantinopel, Sarajevo, Bukhara, Afghanistan, China, Maladewa, Bengali, Srilangka, Malaya, dan Indonesia.
Kemudian Iran, Irak, dan kembali lagi ke Palestina, Mesir, Tunisia, Maroko, Spanyol, lalu masuk lagi ke kawasan Afrika, Mali dan terakhir di Fez. Di kota Fez inilah sang pengembara menghabiskan sisa umurnya di bawah kekuasaan Sultan Abu Inan al-Markisyi.
Semua tempat yang disinggahi Ibnu Batutah, diceritakannya secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya. Ibnu Batutah mencatat semua kondisi sosial negeri-negeri yang ia kunjungi secara cermat dan teliti.
Sayangnya karya-karya Ibnu Batutah banyak yang terserak, tidak semuanya terdokumentasi dengan baik. Barulah karya-karya besarnya dihimpun menjadi sebuah karya yang utuh atas inisiatif Sultan Abu Inan al-Markisyi. Sultan menugaskan Ibnu Jazy al-Gharnity, seorang ahli sastra yang menjabat sebagai perdana menterinya, untuk menghimpun dokumentasi Ibnu Batutah. Dua tahun kemudian, karya “Rihlah Ibnu Batutah” menjadi karya monumental yang diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Menjelajah Keliling Dunia
Ibn Batutah memulai pengembaraan dari tanah kelahirannya di Maroko ke Afrika Utara pada tahun 1325 (Usia 21 tahun) menuju Tlemcen kemudian sampai ke Tunis, seterusnya ke Iskandariyah. Ia meneruskan perjalanan ke beberapa bandar di Syria sebelum ke Semenanjung Arab menuju Mekah.
Sepanjang perjalanan, ia sempat mengunjungi Afrika Utara, Mesir, Palestina dan Syria. Di Mesir, khususnya di kota Dimyat, ia punya kesan tersendiri bahwa kota ini memiliki dinding-dinding yang tinggi dan seseorang yang telah memasuki kota tersebut, ia hanya bisa keluar lagi bila telah mendapat izin dari penguasa kota. Hanya warga kota yang memiliki sebuah lembaran yang telah diberi stempel oleh penguasa, yang diizinkan untuk keluar masuk secara bebas dari kota tersebut.
Palestina, Libanon, dan Suriah merupakan negara-negara lain yang dikunjungi Ibnu Batutah. Dalam catatannya, Ibnu Batutah melukiskan tentang padang sahara yang dilalui antara Mesir dan Palestina dan tempat-tempat pemberhentiannya.
Demikian halnya tatkala di Makkah. Bagi Ibnu Batutah, pengalaman menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya memberikan kesan yang mendalam, bagaimana ia bermunajat, bersimpuh di hadapan Ilahi Rabbi. Ia seperti kecil dan tak berarti apa-apa di mata Allah.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Ibnu Batutah melakukan pengembaraan pertama ke Irak. Ia menemui tokoh penguasa dan ulama di kota Mosul di bagian utara negeri ini dan mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai historis, seperti: masjid, istana-istana, madrasah dan makam para ulama. Di matanya, Irak memiliki dataran tinggi yang kering dengan padang rumput yang berbukit-bukit di antara sungai Tigris dan Eufrat dan dataran rendah dekat Samarra yang subur dan padat penduduknya.
Di Sammara terdapat reruntuhan Masjid Agung yang dibangun pada masa Khalifah al-Mutawakkil (847 – 861 M), sementara MausoleumAbbas bin Ali bin Abi Thalib terdapat di Karbala, sedangkan MausoleumSyekh Abdul Qadir al-Jaelaniberada di kota Baghdad, yang didirikan pada abad ke-13.
Sesudah dari Irak dan daerah sekitarnya, Ibnu Batutah berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua. Seusai ibadah haji, ia melanjutkan perjalanan ke Mesir, Syam dan Turki.
Turki, negeri yang disebut Bilad al-Rum ini adalah satu di antara wilayah paling baik di dunia. Penduduknya elok rupanya dan ramah-ramah, bersih pakaiannya, nikmat makanan-makanannya. Kemudian melanjutkan ke Uzbekistan, Afghanistan terus ke India. Di sini ia menetap cukup lama dan dipercaya oleh Sultan Muhammad bin Tugluq (1325 – 1351 M) untuk menduduki jabatan sebagai hakim di Delhi. Oleh Sultan, ia diutus ke negeri China untuk satu misi kenegaraan, dimana ia sempat tinggal cukup lama di kepulauan Maladewa dan singgah beberapa hari di Samudera Pasai, di ujung kepulauan Nusantara.
Di Maladewa, ia melangsungkan perkawinan pertamanya dengan seorang perempuan berstatus bangsawan. Sewaktu di Samudera Pasai, Ibnu Batutah bertemu dengan Sultan al-Malik az-Zahir, berdiskusi mengenai agama. Kemudian ia menyusuri Selat Melaka dan singgah di Campa, sebelum sampai di China yang waktu itu masih di bawah pemerintahan Mongol.
Ia memuji China sebagai negeri yang luas dan makmur, terutama hasil kekayaan alamnya yang berupa sutera dan tembikar. “China adalah negeri yang paling aman dan paling sesuai di dunia bagi musafir. Anda dapat mengembara sendirian melalui darat tanpa rasa takut, sekalipun Anda membawa kekayaan,” begitu Ibnu Batuta menggambarkan.
Selama kurang lebih 8 tahun, ia meneruskan pengembaraannya dari China kembali ke Afrika Utara, Spanyol dan Afrika Barat. Tak ayal banyak pengalaman menarik yang didapatinya setiap singgah di daerah.
Pada musim haji berikutnya, Ibnu Batutah tidak melewatkan kesempatan untuk ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Beberapa tahun kemudian ia pergi ke Granada, Spanyol sebagai bagian penutup pengembaraannya. Dan selanjutnya, ia menghabiskan masa tuanya di tempat kelahirannya, Maroko.
Hari-harinya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Ia terus menulis, memperbanyak ibadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak dzikir, hingga tarikan nafas terakhir. Ia meninggal pada tahun 1377 M saat berusia 73 tahun.
Perjalanan panjang Ibnu Batutah sebagaimana dikisahkan di atas menjadi kontribusi penting bagi umat Islam. Lantaran ia tak kenal puas atas ilmu yang dipelajarinya dan selalu dahaga. Ia juga mengajarkan pentingnya mempererat tali silaturrahmi kepada siapa pun orangnya, tanpa peduli suku, agama, golongan, warna kulit atau pun lainnya. Dengan cara seperti inilah hubungan kerja sama dan toleransi antar sesama ia tanamkan.***
Foto: Data Fakta
