JENDELAISLAM.ID – Cuaca saat itu sedang tidak bersahabat. Angin bertiup cukup kencang hingga membuat debu-debu pasir berputar-putar bagai gangsing. Ketiga lelaki itu mempercepat langkahnya, tetapi agaknya mereka tidak bisa lagi melanjutkan perjalanannya. Ketika mata mereka melongok ke atas, langit gelap penuh gumpalan mendung.
Hujan deras pun kemudian mengguyur. Tiga lelaki itu tak bisa kemana-mana. Tak ada tempat bernaung kecuali sebuah gua yang berada di sekitar tempat itu. Lumayanlah, mereka bisa berteduh barang sejenak sambil menunggu situasi lebih aman.
Mereka masuk di dalamnya. Namun celaka bagi mereka. Mulut gua yang mereka masuki mendadak tertutup oleh reruntuhan batu besar di mulut gua yang datang tiba-tiba. Saking besarnya, tak ada sedikit pun celah bagi mereka untuk bisa keluar lagi. Mereka terjebak di dalamnya.
Gelap, sunyi serta bingung bercampur jadi satu. Tak ada jalan keluar bagi mereka. Karena itu perlahan, rasa putus asa mulai menghantui mereka.
Namun tiba-tiba ada salah seorang di antara mereka yang berkata, “Ingat-ingatlah barangkali kita pernah melakukan suatu amal kebajikan, mungkin saja Allah yang Mulia lagi Maha Agung berkenan mengasihi kita dengan rahmat-Nya.”
Berkat Amal Baik
“Oh ya,” timpal salah seorang yang lain dari mereka. Sambil memegangi kepala sejenak, ia pun mengurai kisahnya.
Suatu kali aku pernah melakukan amal kebajikan. Aku memiliki beberapa orang pekerja. Mereka datang kepadaku, lalu masing-masing kuberikan upahnya dalam jumlah tertentu.
Tiba-tiba, seseorang menemuiku, aku langsung mengupahnya separuh dari upah yang diterima oleh teman-temannya. Ia ikut bekerja seperti mereka sehingga aku pun memberikan tambahan upah separuh lagi.
Namun, ada seorang di antara mereka yang protes. Ia berkata, “Bagaimana bisa Bapak memberikan upah kepada orang itu sama seperti upah yang saya terima, padahal dia hanya bekerja separuh hari saja?”
“Sedikit pun aku tidak merugikan kamu. Upah yang kuberikan padanya adalah hartaku sendiri yang kukumpulkan. Aku bebas memutuskan sekehendakku,” jawabku.
Dengan marah lalu ia pergi dan tidak mau mengambil upahnya. Kemudian upah yang menjadi haknya itu kugunakan untuk modal usaha. Setelah terkumpul cukup banyak, kugunakan untuk membeli seekor sapi dan atas kehendak Allah, terus berkembang sehingga menjadi banyak.
Hingga suatu hari, aku bertemu dengan seorang kakek yang sudah sangat renta. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Tetapi sang kakek rupanya mengenaliku dan berkata kepadaku, “Aku masih punya hak pada Bapak. Coba bapak ingat-ingat!”
Ia menyuruhku untuk mengingat-ingatnya sehingga akhirnya aku pun mengenalnya. “Aku memang selalu mengharapkanmu,” begitu kataku.
Akhirnya kuberikanlah semua yang menjadi haknya.
“Maaf Pak, apakah Bapak sengaja menghina saya. Berikan saja hak saya yang dulu!” jawab kakek tersebut seakan merasa terhina.
Aku berkata, “Demi Allah, aku tidak sedang memperolok-olok, Bapak. Semua itu memang hak Bapak dan saya sama sekali tidak berhak memilikinya.”
“Ya Allah, jika apa yang pernah kulakukan itu demi mengharap keridhaan-Mu, tolong berikan jalan keluar dari kesulitan yang tengah kami hadapi ini,” aku memungkasi dengan doa setelah menyerahkan semua yang kukembangkan dari upah yang seharusnya kuberikan kepada lelaki itu. Tiba-tiba batu besar itu mulai bergeser sehingga ketiganya dapat memandang keluar.
Memang batu yang menghalangi gua itu sedikit bergeser, namun ketiganya tetap belum bisa keluar. Dan lelaki kedua pun berganti menceritakan sebuah amal yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Suatu kali aku pernah melakukan amal kebajikan. Ketika orang-orang sedang mengalami kesulitan ekonomi, aku termasuk berkecukupan. Pada suatu hari, ada seorang wanita datang kepadaku untuk minta bantuan.
“Baiklah, aku bisa membantumu. Tetapi, sebagai imbalannya, kamu harus menyerahkan dirimu. Maukah?”
Perempuan itu menolak keinginanku, lalu pergi begitu saja. Namun tak berselang lama, ia kembali lagi. Kali ini, ia bahkan memintaku untuk segera sadar mengingat Allah SWT.
Aku tetap masa bodoh dan bersikukuh dengan tawaranku. “Aku mau membantu kesulitanmu asalkan engkau mau menyerahkan dirimu untukku,” kataku.
Lagi-lagi, perempuan itu tetap menolak keinginanku. Lalu pulang menemui suaminya. Kemudian, dia menceritakan hal itu kepada suaminya.
Karena tak bisa berbuat apa-apa, suaminya akhirnya berkata, “Serahkan saja dirimu kepadanya demi keluargamu!”
Dan kali ini ia kembali menemuiku dan meminta bantuan. Aku tetap menolak keinginannnya kecuali ia mau menyerahkan dirinya kepadaku.
Melihat aku tetap keras kepala, akhirnya ia bersedia menyerahkan dirinya kepadaku. Aku pun bermaksud melucuti semua pakaiannya. Tetapi baru saja aku membukanya, perempuan itu menggigil hebat. Aku kaget bukan kepalang. Dengan terpaksa, aku harus menahan nafsuku yang telah menggebu-gebu.
“Ada apa denganmu?” tanyaku.
“Aku takut kepada Allah SWT, Zat yang Menguasai Semesta Alam,” jawabnya dengan gemetaran.
“Dalam keadaan sulit kamu masih ingat kepada Allah SWT. Sementara dalam keadaan senang, aku justru tidak mengingat-Nya. Astaghfirullah al-adzim.”
Tak kuasa aku menitikkan air mata. Berulang kali kalimat istighfar kuucapkan karena menyesal telah lupa kepada Allah swt. Aku merasa dibuai kesenangan hingga melupakan segalanya. Untungnya, perempuan itu mampu menyadarkan kekeliruanku.
Sebagai penebus rasa bersalah dan malu, kuberi dia uang untuk kebutuhannya karena aku telah membuka auratnya.
“Ya Allah, jika apa yang pernah kulakukan itu demi mengharap keridhaan-Mu, tolong berikan jalan keluar atas kesulitan kami ini.”
Batu besar itu kembali bergeser sedikit lagi sehingga mereka semakin bisa memandang keluar lebih jelas. Sayangnya, mereka tetap belum bisa keluar dari gua itu.
Keluar dari Gua
Kini tinggal lelaki terakhir. Harapan bisa keluar pun membuncah karena kedua doa temannya, ternyata dikabulkan oleh Allah SWT. Langsung saja, lelaki ketiga segera saja berkisah. Sebelumnya ia mengambil nafas panjang-panjang.
Aku juga pernah melakukan kebajikan. Kedua orang tuaku sudah cukup renta. Aku juga punya seekor kambing. Biasanya, setelah memberi makan dan minum kepada mereka, aku kembali mengurus kambingku. Suatu hari, hujan turun cukup deras sehingga aku tertahan sampai sore hari.
Karena itu, aku baru bisa pulang setelah hujan reda. Aku bawakan susu hasil dari perahan kambingku yang akan aku minumkan kepada kedua orang tuaku. Sesampai di rumah, ternyata mereka sedang tidur lelap. Terus terang, aku tidak enak hati membangunkannya. Namun di sisi lain, aku juga merasa berat membiarkan kambingku begitu saja. Akhirnya, aku putuskan duduk di situ dengan memegang bejana berisi susu yang kuperah. Mereka baru terbangun saat tiba waktu Shubuh. Begitu bangun, lantas aku minumkan susu itu kepada mereka.
“Ya Allah, jika apa yang pernah kulakukan itu demi mengharapkan keridhaan-Mu, tolong berikan jalan keluar atas kesulitan kami ini.”
Dan batu besar itu kembali bergeser. Kali ini, ketiganya merasa lega. Rupanya Allah telah memberikan jalan keluar kepada mereka, sehingga mereka bisa keluar dan meneruskan perjalanan. Kisah ini bersumber dari judul “Orang-orang di dalam Gua”, dalam buku “Kisah Karomah Para Wali Allah”, Abul Fida’ Abdurraqib al-Ibi, Darul Falah, Jakarta,
Foto: Pexels/Tsvetoslav Hristov
