Masjid Jami’ as-Salafiyah Jatinegara Kaum: Basis Perjuangan Pangeran Jayakarta Melawan Penjajah 

JENDELAISLAM.ID -Bila Anda berkunjung ke Masjid Jami’ as-Salafiyah Jatinegara Kaum, jangan heran bila banyak orang dari dalam kota maupun luar kota berdatangan di tempat ini. Ya, para peziarah itu kebanyakan hendak mendoakan Pangeran Jayakarta III yang dimakamkan di kompleks masjid.   

Seperti diketahui, sejarah kota Jakarta memang tidak bisa dilepaskan oleh tokoh satu ini. Dialah salah seorang pejuang besar yang memperjuangkan negeri ini dari cengkeraman penjajah. Nama aslinya adalah Ahmad Jaketra,namun lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Pangeran Jayakarta. Beliau merupakan salah seorang keturunan dari Sunan Gunung Jati. Berdirinya Jatinegara yang berarti pemerintahan sejati tidak lepas pula dari peran beliau. Daerah yang dulunya lebat dengan hutan jati ini, punya andil besar sebagai tempat penyusunan strategi perang yang dipimpin oleh Pangeran Jayakarta.

Untuk itu, tidak berlebihan kiranya jika melihat jasa-jasanya yang begitu besar namanya selalu melekat bagi masyarakat Jakarta.  Nah, Masjid as-Salafiyah yang berada di jalan Jatinegara Kaum Pulo Gadung Jakarta Timur ini adalah saksi bisu perjuangan beliau menentang penjajahan di muka negeri.

Tempat Pelarian

Abad ke-17, para penjajah sudah menginjakkan negeri ini. Kekayaan pribumi yang melimpah membuat mereka gelap mata dan bernafsu menguasai sepenuhnya. Untungnya, masih banyak orang pribumi yang tak sudi dijajah. Perlawanan demi perlawanan berkobar.

Di Jakarta, tepatnya di daerah Mangga Dua, sekitar bulan Mei tahun 1619, pasukan Pangeran Jayakarta III bertempur dengan VOC pimpinan Jan Pietersen Coen. Pertempuran hebat terjadi.

Kendati hanya menggunakan senjata tradisional, seperti: keris dan tombak, mereka tetap gigih melawan para penjajah yang sudah menggunakan senjata-senjata otomatis modern. Sayang, karena tidak berimbangnya kekuatan dan peralatan perang, membuat pasukan Pangeran Jayakarta terdesak.

Kesempatan ini dimanfaatkan para penjajah untuk mengobrak-abrik segalanya. Mereka bertindak kejam, tidak segan membunuh dan menumpas habis warga pribumi.  Pasukan Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok.

Adapun Pangeran Jayakarta dan pasukannya terus mundur. Saat terjepit, ia menemukan sebuah sumur tua.  Muncullah akal cerdik Pangeran Jayakarta untuk meloloskan diri dari kejaran musuh.  Jubah yang dikenakannya sengaja dibuang dalam sumur tersebut untuk mengelabui musuh. 

Melihat jubah Pangeran Jayakarta berada di dalam sumur, pasukan Belanda mengira bahwa buronannya telah tewas di dalamnya. Untuk memastikannya, mereka langsung menimbun sumur tua tersebut.

Sementara itu, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya terus bergerak ke selatan mengingat situasi yang tak memungkinkan untuk kembali lagi. Di perjalanan, sampailah mereka di sebuah hutan jati yang lebat. Mereka beristirahat di tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu yang kemudian dikenal daerah Jatinegara.

Di tempat ini, Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru. Tak disangka, perkampungan baru itu berkembang bahkan banyak pendatang turut mendiami tempat ini.  Penduduknya mengandalkan pekerjaannya dari kayu jati yang cukup banyak saat itu. Kayu-kayu jati ini disulap menjadi kerajinan-kerajinan menarik. Mungkin inilah kenapa daerah Klender yang berdekatan dengan Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat industri furniture hingga sekarang ini.

Setahun kemudian, pada tahun 1620, Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid di tempat pelarian ini. Lokasinya berdekatan dengan Kali Sunter. Masjid ini bernama Masjid Pangeran Jayakarta sesuai pendirinya. Akan tetapi dalam perkembangannya, masjid ini rupanya juga digunakan oleh Pangeran Jayakarta untuk menyusun kekuatan kembali melawan penjajah. Tokoh-tokoh masyarakat, jawara serta ulama menggunakan masjid ini untuk menyusun strategi perang sekaligus dakwah Islam.

Menurut sejarah versi Belanda, sampai 1670 Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan akibat aksi gerilya ini. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menyerang VOC, Jatinegara Kaum kembali memegang peran penting sebagai garda depan.

Sepeninggal Pangeran Jayakarta, Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, melakukan pemugaran untuk pertama kalinya pada tahun 1700. Pangeran Sugeri dan Fatah merupakan tokoh yang terbuang dari dari Kasultanan Banten karena Sultan Haji –saudara Sultan Fatah– melakukan kudeta yang dibantu oleh pemerintah Belanda. Anak dan bapak ini hijrah kemudian bergabung dengan Pangeran Jayakarta. Mereka bahu-membahu mengusir kaum penjajah di Batavia.  Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan bersebelahan dengan masjid.

Batu penanda pendirian Masjid Jami’ as-Salafiyah Jatinegara yang dibangun pada tahun 1620.

Masjid dan Makam  

Fakta bahwa masjid sebagai tempat untuk menggalang kekuatan melawan musuh memang tak terbantahkan. Di jaman penjajahan, masjid merupakan sarana efektif untuk memobilisasi massa serta mengobarkan semangat juang.  Padahal masjid kala itu terbilang sederhana dan ukurannya terbilang kecil karena menyesuaikan dengan populasi penduduknya.

Begitu pun dengan Masjid as-Salafiyah. Masjid ini berbahan dasar kayu jati, penyangganya adalah pilar berjumlah 4 buah. Hanya pilar dan sebuah kaligrafi Arab berbentuk sarang tawon di dalam plafon menara yang masih tersisa dari peninggalan aslinya. Di luar itu merupakan hasil pemugaran dari waktu ke waktu.

Sebenarnya masjid ini mempunyai beberapa benda pusaka, di antaranya sebuah tasbih dan sebuah gobang. Konon, tasbih tersebut berciri terdapat mata uang VOC yang tengahnya berlubang. Sedangkan pusaka yang berupa gobang, dahulunya lebih mirip sebagai tanda peringatan bila bahaya datang. Sayangnya, kedua benda bersejarah tersebut hilang entah ke mana.

Karena itu, jika Anda suatu waktu berkunjung di sini dan masuk ke dalam ruang utama, maka sisa-sisa peninggalan itu tak bakal Anda temukan.  Semua lantai yang ditutup dengan sajadah dan hampir semua dindingnya telah berupa marmer.  Mihrab serta jendela-jendela lebar di sisi kanan maupun kiri, semuanya mengesankan produk bangunan baru.

Kendati demikian toh bukti sejarah masjid ini sebagai basis perjuangan Pangeran Jayakarta tak hilang ditelan waktu. Bangunan fisiknya mungkin mengalami pemugaran, namun nilai historisnya tetap luar biasa.  

Kini, setelah tak ada perjuangan fisik, kegiatan masjid ini tidak berbeda dengan masjid pada umumnya, yakni fokus pada syiar dan dakwah.

Selain masjid, yang mencolok di kompleks ini tentu saja area makam yang luas. Posisinya seperti mengelilingi masjid, ada di sebelah selatan, barat serta utara. Kompleks makam sendiri luasnya berkisar 7.000 m2, dimana 70%-nya berisi makam keluarga keturunan Pangeran Jayakarta. Kini, kompleks makam Pangeran Jayakarta beserta Masjid as-Salafiyah telah ditetapkan menjadi benda cagar budaya dan suaka peningalan sejarah. Pengelolaannya berada di bawah  Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKJ Jakarta.

Mudah-mudahan saksi sejarah itu tetap terjaga agar terus mampu mengisahkan perjuangan Pangeran Jayakarta serta para pejuang Muslim dari lintas generasi. Kepemimpinan dan kecintaannya terhadap negeri ini patut dicontoh.***

Foto: MPM TV Chanel