JENDELAISLAM.ID – Ada satu kisah menarik yang diceritakan oleh Dr. Anwar Wardah, berjudul “Rumah Allah dan Tanah Haram” dalam buku “Aku Ingat Dirimu Saat Aku Lupa Tuhanku”. Kisah ini bisa kita petik hikmahnya.
***
Di awal kekhalifahannya, Harun ar-Rasyid menunaikan ibadah haji didampingi oleh pengawal. Orang-orang yang menutupi jalannya, diperintahkan untuk minggir. Tetapi ada seorang badui tak mau menggubris perintahnya.
Khalifah tidak suka. Karena itu, pengawalnya diperintahkan untuk menyingkirkan badui itu.
“Hai Badui, minggirlah dari tempat thawaf agar Amirul Mukminin leluasa menjalankan manasiknya,” ucap si pengawal.
“Semua yang ada di tempat ini sama di hadapan Allah. Allah berfirman, ‘…Yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih’ (QS. al-Hajj: 25),” jawab si badui.
Awalnya, Sang Khalifah membiarkan saja. Ia kembali meneruskan ibadahnya dan kini hendak mencium Hajar Aswad. Namun sebelum niatnya terlaksana, tiba-tiba badui tadi mendahului. Begitu pula saat Sang Khalifah ke Makam Ibrahim untuk menunaikan shalat di sana, lagi-lagi Badui mendahului.
Jengkel atas kelakuan badui, usai shalat dan thawaf, Khalifah perintahkan pengawalnya untuk memanggil si badui. Sayangnya, si badui menolak.
“Aku tidak ada perlu dengannya. Jika dia perlu denganku, dia sendiri yang harus menemuiku,” kata si badui pada pengawal.
Kontan saja, si pengawal kaget bukan main. Tempat itu ia tinggalkan dengan membawa rasa kesal lalu menceritakan pada junjungannya. Akhirnya, Sang Khalifah terpaksa mengalah dan mendatangi si badui.
“Wahai saudaraku, bolehkah aku duduk di sini?” tanya khalifah.
“Ini bukan rumahku, Tanah Suci ini bukan tanah suciku. Baitullah ini milik Allah dan Tanah Suci ini juga milik-Nya. Di sini kita semua sama. Mau duduk silahkan, mau pergi pun terserah!”
Jawaban tersebut membuat Sang Khalifah tercengang. Tetapi ia menahan diri.
***
Didorong rasa ingin tahu, Sang Khalifah coba bersikap wajar.
“Saudaraku, aku ingin bertanya tentang kefardhuanmu/kewajibanmu. Jika yang satu ini engkau tunaikan, yang lainnya pasti lebih bisa engkau tunaikan. Tapi jika engkau tidak mampu menunaikan yang satu itu, yang lainnya pasti jauh lebih tidak mampu,” katanya.
“Pertanyaanmu ini sebagai pertanyaan orang yang belajar atau menguji?” tanya badui.
“Sebagai orang yang belajar,” jawab khalifah.
“Kalau begitu, posisikanlah dudukmu seperti penanya di hadapan orang yang ditanya,” kata badui.
Khalifah memperbaiki duduknya dan berlutut di depannya.
“Apa pertanyaannya?”
“Beritahu aku, apa yang telah Allah wajibkan kepadamu?”
“Kewajiban yang mana yang kamu maksudkan? 1 kewajiban, 5 kewajiban, 94 kewajiban, 1 dari 4 kewajiban, 1 kali kewajiban dalam seumur hidup, ataukah yang 5 dari 200?”
Mendengar hal ini, Sang Khalifah tertawa mengejek, lalu berkata, “Kenapa engkau malah menghitung waktu?”
“Wahai Harun, seandainya agama itu bukan menghitung, tentu Allah tidak akan menerapkan perhitungan kepada para makhluk pada hari kiamat. Allah berfirman, “Maka tak seorang pun dirugikan walau sedikit, sekali pun amalan itu hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan’ (QS. al-Anbiya’: 47).”
Wajah Sang Khalifah memerah tatkala badui memanggil langsung namanya. Murka seakan tak terima diperlakukan demikian. Tapi untungnya, ia masih bisa menahan diri.
“Coba jelaskan apa yang kamu katakan tadi! Jika tidak, aku perintahkan pengawalku untuk menebas lehermu di antara Shafa dan Marwah,” kata khalifah.
“Wahai Amirul Mukminin, ampunilah dia dan serahkanlah urusannya kepada Allah demi tempat yang mulia ini,” sahut pengawal.
Kali ini, giliran si badui yang tertawa.
“Apa yang kamu tertawakan?” tanya khalifah.
“Kalian ini aneh,” jawab badui itu, “Anda bilang ingin memotong leherku meskipun ajalku belum tiba, tetapi pengawal Anda malah bilang jangan.”
Jawaban itu membuat amarah khalifah mereda.
“Demi Allah, tolong jelaskan apa yang kamu katakan tadi! Aku penasaran,” pinta Sang Khalifah.
“Begini, kewajibanku itu banyak. Yang aku katakan tentang 1 kewajiban itu adalah agama Islam. 5 kewajiban adalah shalat 5 waktu. 34 adalah jumlah sujud. 94 adalah jumlah takbir. 1 dari 40 adalah zakat, yaitu 1 dinar dari 40 dinar. 1 kewajiban dalam seumur hidup adalah 1 kali haji seumur hidup. Adapun 5 dari 200 dirham adalah zakat harta benda.”
Sungguh tak disangka, jawaban luar biasa itu terlontar dari mulut si badui. Khalifah benar-benar kagum. Sungguh si badui yang ada di depannya ternyata pintar dan indah tutur katanya. Barulah Sang Khalifah sadar bahwa orang yang sedari tadi membuatnya jengkel, memiliki wawasan ilmu agama yang luas.
***
Keduanya masih asyik di tempat itu. Tak ada lagi raut murka di wajah Sang Khalifah, tetapi justru raut penuh kekaguman pada sosok asing di depannya.
“Anda telah bertanya kepadaku dan telah aku jawab. Seandainya aku balik bertanya, apa engkau mau menjawabnya?” si badui balik bertanya.
“Tentu saja,” jawab khalifah.
“Apa pendapatmu tentang orang laki-laki yang melihat seorang wanita, pada waktu Shubuh wanita tersebut haram bagi si laki-laki, tapi giliran waktu Dzuhur menjadi halal baginya. Masuk waktu Ashar, wanita itu kembali haram, tapi giliran waktu Maghrib jadi halal lagi. Memasuki waktu Isya’, wanita itu menjadi haram kembali, tapi menjadi halal dengan masuknya waktu fajar. Tiba waku Dzuhur jadi haram, tiba waktu Ashar jadi halal. Masuk waktu Maghrib jadi haram, tapi giliran Isya’ halal.”
Sang Khalifah kelabakan sekaligus bingung dihadapkan pertanyaan yang panjang dan njlimet ini.
“Pertanyaanmu sulit kujawab. Ibaratnya aku ini seperti engkau jerumuskan ke laut tanpa seorang pun yang bisa menyelamatkanku dari sana kecuali dirimu.”
“Bukankah Anda memangku jabatan tertinggi. Tidak ada jabatan lebih tinggi dari Anda. Harusnya, orang seperti Anda tidak menyerah begitu saja. Mengapa Anda malah menyerah atas pertanyaanku?”
“Ilmu telah membuatmu menjadi agung dan terhormat.”
“Terima kasih. Begini, yang aku katakan kepadamu tentang seorang laki-laki yang melihat seorang perempuan pada waktu Shubuh, perempuan itu haram baginya, adalah laki-laki yang melihat budak perempuan milik orang lain. Budak perempuan itu haram baginya. Memasuki waktu Dzuhur, dia membelinya, budak perempuan itu menjadi halal. Tiba waktu Ashar, dia memerdekakannya, budak itu menjadi haram baginya. Masuk waktu Maghrib dia menikahinya, karenanya ia menjadi halal. Kemudian pada waktu Isya’, ia menceraikannya, ia jadi haram. Ketika Shubuh, dia merujuknya, karenanya ia jadi halal. Pada waktu Dzuhur, dia murtad, tentu budak perempuan itu haram baginya. Kemudian dia diminta bertobat dan akhirnya kembali ke dalam Islam pada waktu Ashar, karenanya budak perempuan itu kembali halal. Memasuki waktu Maghrib, giliran budak perempuan itu murtad. Itu berarti ia haram bagi laki-laki tersebut. Isya ia bertobat, sehingga ia menjadi halal kembali.”
Khalifah terkesan dengan jawaban itu. Saking senangnya, ia hendak memberi hadiah 10 ribu dirham. Tetapi si badui menolaknya, “Aku tidak membutuhkannya.”
“Jika kamu punya utang, aku akan melunasinya,” Sang Khalifah menawarkan.
Namun semua tawaran tersebut tetap ditolak si badui. Karena penasaran, Khalifah Harun ar-Rasyid bertanya kepada orang-orang di sekitar tempat itu perihal sosok badui itu. Dari keterangan mereka, ternyata dia adalah Musa ar-Ridha ibn Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Penampilannya memang seperti seorang badui lantaran zuhud dan wara’ terhadap dunia.
Setelah tahu siapa identitasnya, Sang Khalifah langsung bangkit dan menciuminya kemudian membacakan firman Allah, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS. al-An’am: 124).***
Sumber Foto: Pixabay/radiefrmadna
