Kisah Abdullah bin Hudzafah, Tawanan yang Berhasil Taklukkan Kaisar Heraclius

JENDELAISLAM.ID – Orang yang punya iman yang teguh dan mental baja, takkan mudah tergoda oleh iming-iming apapun. Sekali pun materi berlimpah dijanjikan, dan kenikmatan dunia disuguhkan, ia tak akan goyah bila harus menjual agamanya.  

Berikut adalah kisah keteguhan Abdullah bin Hudzafah yang luar biasa. Salah satu kisah yang bersumber dari “1001 Kisah Teladan “yang ditulis Hani al-Haj.

Menjadi Tawanan Kaisar Heraclius

Dahulu, ada salah seorang panglima perang Muslim yang gagah berani. Bukan saja hebat di medan laga, namun juga perkasa di depan lawannya kendati sudah menjadi tawanan. Demi agama Allah, ia tidak gentar menghadapi siapa pun meski nyawa menjadi taruhannya. Dialah Abdullah bin Hudzafah, salah seorang komandan pasukan Muslim yang ikut dalam penaklukan wilayah Syam.

Suatu hari, sang panglima tersebut mengemban tugas memerangi pasukan Romawi yang berada di Kaisaria, kota Palestina di tepi Pantai Laut Mediteran. Akan tetapi rupanya Allah mentakdirkan lain. Abdullah bin Hudzafah tidak berhasil merebut kota itu bahkan ia jatuh ke tangan pasukan Romawi sebagai sandra bersama sejumlah pasukannya.

Melihat kegagalan tentara Muslim ini, Kaisar Heraclius senang luar biasa. Ia berpikir bisa melakukan balas dendamnya terhadap kaum Muslim sekaligus menawannya.  Lalu Abdullah bin Hudzafah dibawa menghadap Kaisar Heraclius.

 “Masuklah agama Nasrani, aku akan memberimu harta benda berapa pun engkau mau,”  Kaisar Heraclius membujuk dan menjanjikan tawaran menggiurkan.

Rupanya keteguhan iman Abdullah bin Hudzafah sedang diuji. Materi berlimpah dijanjikan padanya asalkan ia mau menanggalkan agama Islam dan selanjutnya memeluk agama Nasrani. Tapi bukan Abdullah bin Hudzafah namanya jika menerima tawaran itu, dengan lantang ia justru menolak tawaran Sang Kaisar. 

“Masuklah agama Nasrani, aku akan menikahkanmu dengan putriku,” kembali Heraclius membujuknya. Kali ini bukan saja materi, namun iming-iming akan dinikahkan dengan putri Sang Kaisar sendiri.

Abdullah bin Hudzafah juga menolak tawaran kedua itu.

“Masuklah agama Nasrani, aku akan berbagi kekuasaan denganmu,” lagi-lagi Heraclius memberikan tawaran yang semakin menggiurkan.

Lelaki itu tetap teguh dengan pendiriannya. Ia menolak lagi. Agama Islam yang sudah terpatri di dalam sanubarinya, tak mungkin dilepaskannya.

Setelah kesekian kali membujuk Abdullah bin Hudzafah dan selalu gagal, Heraclius baru menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan panglima perang Muslim –yang kini menjadi tawanannya—yang luar biasa. Padahal jelas-jelas tawanan tersebut sudah tak berdaya, namun tetap saja  tak mau menuruti kemauan lawannya yang menginginkan dirinya menjadi Nasrani.  

Heraclius kembali menyampaikan tawaran keempat seraya berkata, “Masuklah agama Nasrani, aku akan memberimu setengah dari kerajaanku.”

Tanpa pikir panjang, Abdullah bin Hudzafah menjawab dengan lantang, “Seandainya engkau memberikan semua yang engkau miliki dan semua yang dimiliki orang-orang Arab niscaya aku tidak akan pernah berpikir meninggalkan agama Muhammad SAW sedikit pun.”

Setelah gagal menggunakan senjata bujukan dan rayuan, Heraclius mulai menggunakan cara lain yakni dengan tekanan, siksaan dan ancaman.

“Jadi, aku akan membunuhmu,” kata Sang Kaisar.

Heraclius tidak menyadari bahwa Abu Hudzafah bukanlah orang yang gampang ditaklukkan dengan segala bujukan dan iming-iming, namun juga tidak akan bisa ditaklukkan dengan cara-cara kekerasan. Karena bagi Abu Hudzafah, imannya jauh lebih berharga dan tidak akan bisa ditukar dengan agama mana pun. Lebih baik baginya mempertahankan agama Islamnya sekali pun harus kehilangan nyawanya daripada berpindah ke agama Sang Kaisar meski tahta dan jabatan mulia akan didapatkan. 

“Lakukan saja, apa kemauanmu!” jawab Abdullah bin Hudzafah.

Mendengar jawaban ini, Sang Kaisar memerintahkan kepada prajuritnya untuk menjebloskan Abdullah bin Hudzafah ke dalam penjara tanpa diberi makan dan minum selama tiga hari. Kemudian diberi hidangan babi dan minuman keras lalu disuruh makan dan minum, akan tetapi Abdullah bin Hudzafah menolaknya.

Karena tetap tidak bergeming dan Abu Hudzafah tetap pada pendiriannya, Heraclius kemudian bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau tidak mau memakan daging babi dan minuman keras padahal engkau dalam keadaan terpaksa dan lapar?”

“Memang dalam keadaan terpaksa yang haram pun telah berubah menjadi halal bagiku, tidak masalah seandainya aku memakannya. Akan tetapi, aku memilih tidak memakannya agar aku tidak memberi kesempatan kepadamu memperolokkan Islam,” jawab Abdullah bin Hudzafah.

Tak Goyah di Bawah Ancaman Bunuh

Kali ini, ancaman Heraclius pun seperti membentur batu karang. Kemudian Heraclius memberi perintah agar para pembantunya mengikat erat kedua tangan dan kakinya di atas palang kayu yang telah disediakan. Lalu para pemanah jitu diperintahkan untuk melepas anak panahnya tepat di sisi tubuhnya dengan maksud untuk menyiutkan nyali Abdullah bin Hudzafah.

Tawanan yang luar biasa itu dibujuk lagi agar bersedia masuk agama Nasrani. Namun kali ini pun Abdullah bin Hudzafah tetap pada pendiriannya.

Tekanan dan ancaman bunuh tak membuat Abdullah bin Hudzafah menyerah pada kemauan Sang Kaisar. Malahan imannya semakin teguh, dan siap menyambut ajalnya dengan senyum bahagia karena kematiannya demi membela agama Allah. Kemudian Abdullah bin Hudzafah diturunkan dari palang salib.

Semua cara Heraclius untuk mengubah pendirian Abdullah bin Hudzafah tak mampu mematahkan keteguhan tawanannya. Namun Sang Kaisar masih punya akal. Kemudian ia memberi perintah agar para prajuritnya mengisi air ke dalam ketel raksasa dan menyalakan api  di bawahnya. Ketika air dalam ketel itu telah mendidih, seorang tawanan Muslim didatangkan dan dimasukkan ke dalam ketel mendidih itu. Sementara Abdullah melihat dengan mata telanjang.

Setelah itu Heraclius memberi perintah agar Abdullah bin Hudzafah dimasukkan ke dalamnya. Ketika hendak dibawa mendekat ketel itu, Abdullah menangis.

 “Abdullah bin Hudzafah menangis!”  kata Kaisar Heraclius agak girang.

Sang Kaisar mengira bahwa tangis Abdullah bin Hudzafah disebabkan takut mati dan tidak mustahil tawanan yang ada di depannya ini berubah pendiriannya dengan menerima tawaran masuk agama Nasrani.

“Mengapa engkau menangis?” tanya Heraclius penasaran karena rasa ingin tahunya atas sikap Abdullah bin Hudzafah yang tiba-tiba menangis saat dihadapkan pada ancaman akan dimasukkan ke dalam ketel raksasa yang panas.

Dugaan Sang Kaisar rupanya meleset. Sebaliknya, Abdullah bin Hudzafah menjawab di luar dugaan, “Karena aku hanya mempunyai satu nyawa yang dapat aku korbankan untuk agamaku di jalan Allah. Sedangkan aku mengidamkan mempunyai nyawa sejumlah helai rambutku yang akan aku korbankan untuk agamaku dan semuanya mati di jalan Allah.”

Sang Kaisar benar-benar terkejut atas jawaban itu. Ia sungguh tak menyangka. Diam-diam, ia menyimpan rasa kagum atas keteguhan Abdullah bin Hudzafah, namun sekaligus terpukul kalah telak di hadapan komandan pasukan Muslim yang bertangan kosong dan telah menjadi tawanannya. Padahal Heraclius adalah seorang penguasa Romawi yang memiliki segalanya, kekuasaaan, kekayaan, pangkat, kekuatan dan kemewahan dunia.

Tawanan yang Berhasil Membebaskan 300 Tawanan Lain

Sang Kaisar putus asa dengan cara apa lagi menaklukkan lawannya yang satu ini. Berbagai jalan sudah dicoba untuk memaksa tawanannya mengikuti kemauan Sang Kaisar, sayangnya semuanya gagal.

Akhirnya, Heraclius memberi tawaran terakhir untuk menutupi rasa malunya dengan berkata, “Maukah engkau aku bebaskan dengan syarat engkau bersedia mencium keningku?”

“Baik, aku bersedia,  tetapi dengan syarat engkau membebaskan semua tawanan Muslim dari penjaramu,” jawab Abdullah bin Hudzafah.

Tawanan Muslim yang ada dalam penjara berjumlah lebih dari 300 orang. Abdullah bin Hudzafah mencium kening Heraclius lalu membawa keluar sahabat-sahabatnya pulang menemui Khalifah Umar bin al-Khattab di Madinah.

Setibanya di Madinah, Abdullah bin Hudzafah menyampaikan kisahnya dengan Heraclius. Sementara sebagian sahabat keberatan dengan sikap Abdullah bin Hudzafah yang mencium kening Heraclius dan mencelanya. Mereka tidak melihat pada harga mahal para tawanan perang yang dibawa pulang sebagai imbalan dari ciuman kening Heraclius oleh Abdullah bin Hudzafah. Sementara Khalifah Umar dan sebagian besar tokoh Madinah menyambut gembira atas apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Hudzafah.

“Abdullah bin Hudzafah berhak mendapat ciuman kening dari setiap Muslim dan akulah yang pertama melakukannya,“ kata Khalifah Umar.

Sehabis  melontarkan ucapan tersebut, Khalifah Umar mendekat dan mencium keningnya dan para sahabat pun mengikutinya.***

Sumber Foto:  Pixabay/Sirlloyd