Banjir Darah di Karbala

JENDELAISLAM.ID – Dalam sejarah Islam, mungkin tragedi Karbala adalah drama paling memilukan, menyayat hati  dari seorang tokoh besar bernama Husain, putra Khalifah Ali bin Abi Thalib

Sampai sekarang ini, tragedi berdarah Karbala terus dikenang sepanjang masa. Pembunuhan paling sadis dilakukan oleh anak buah Yazid bin Muawiyah terhadap Husain. Tak salah jika tragedi Karbala ini termasuk sejarah Islam yang kelam di sepanjang massa.

Untuk mengenang peristiwa bersejarah pada bulan Muharram ini, berikut adalah kisah Sayyidina Husain, yang kami sarikan dari buku “Husain; Sang Ksatria Langit,” karya Muhsin Labib dan kisah “Oh Husain…” dari antologi “Air Mata Penguasa” karya Najib Kaelani.

Karbala, 10 Muharram 60 H

Padang pasir Karbala, yang selama ini sepi dan lengang, tiba-tiba penuh suara genderang perang. Baru berjalan satu jam, padang itu telah banjir darah oleh kedua pasukan yang saling bertempur.

Husain menembus barisan musuh anak buah Yazid bin Muawiyah. Pedangnya lincah bergerak ke sana-kemari menyambut musuh-musuh yang mengepung dirinya. Musuh berjatuhan bersimbah darah terkena sabetan pedangnya. Di sekelilingnya, pasukan Husain terus berjatuhan karena kalah dalam jumlah.

Kendati demikian, Husain tetap tak gentar. Ia terus merangsek sambil memainkan pedangnya dengan lincahnya. Seolah haus darah, pedang Husain terus memburu lawannya tanpa gentar sedikit pun. Satu per satu lawannya terhempas.

Menyadari keganasan Husain di medan perang, seseorang bernama Syimr melapor ke komandannya.

“Orang ini bisa melenyapkan kita semua,” ujar Syimr memperingatkan sang komandan.

“Lantas apa yang harus kita lakukan?” sahut sang komandan.

“Bagilah pasukan menjadi tiga. Pasukan pertama terdiri  juru panah, yang kedua pasukan pedang dan ketiga terdiri pasukan api dan batu. Perintahkan semuanya melakukan penyerangan serempak ke arahnya,” katanya sambil melihat kelincahan lawan yang sangat garang tersebut.

“Dengan cara ini, kematian Husain bisa dipercepat dan korban di pihak kita bisa diminimalisir,” sambungnya.

Sang komandan menyetujui usulan ini dan segera saja menarik mundur pasukannya. Ia membagi ke dalam tiga kelompok sesuai rencana tadi. Tanpa disadari Husain, rupanya di pihaknya tinggal dirinya seorang yang masih bertahan menghadapi lawan sedang teman-temannya telah gugur.

Beberapa saat kemudian, ratusan tombak, panah, batu dan api dibidikkan ke arah Husain sesuai skenario lawan. Tentu saja Husain tak mampu mengelak dari serangan bergelombang dari tiga penjuru tersebut.

Husain tetap mengadakan perlawanan sekuat sisa tenaganya. Sampai akhirnya sebuah anak panah beracun mengenai dadanya. Ia terhuyung. Tak lama kemudian terjatuh dari kudanya. Lubang di dadanya merekah dan darah menyiram badannya. Ia mencoba menahan pedih luka-lukanya sambil berusaha untuk bangkit. Sayang, sebuah anak panah lagi dari arah samping yang menghunjam di dada kanannya.

Dengan sisa kekuatannya, Husain mencabut panah yang masih menancap seraya menggigit bibirnya yang pucat. Darah segar menyembur dari luka di dadanya. Husain pingsan.

Pertempuran telah selesai dengan kemenangan lawan. Teriakan-teriakan sorak kemenangan lawan bergemuruh.

Kontras dengan para wanita yang berada di dalam tenda agak jauh dari medan perang. Mereka menangis tak karuan. Jeritan mereka membelah angkasa saat menyaksikan orang-orang tercinta telah tewas apalagi saat melihat Husain telah bersimbah darah dengan puluhan anak panah dan sayatan luka di tubuhnya. Namun mereka tidak berani mendekat karena pasukan musuh sangat kejam.  

Pasukan musuh membiarkan tubuh Husain tergeletak begitu saja.  Kali ini, detik-detik mengerikan segera datang. Satu per satu pasukan lawan menghampiri tubuh Husain untuk memastikan kematiannya. Namun tatkala pedang telah diangkat tinggi-tinggi, mendadak mereka mengurungkan niatnya. Mereka justru ketakutan dan lari terbirit-birit.

“Dasar pengecut!” kecam Syimr.

Sejurus kemudian, lelaki berwajah buruk itu menghampiri tubuh yang tergeletak dan menduduki dada Husain. Lelaki yang telah tak berdaya itu sudah siuman dari pingsannya.

“Hai, jangan samakan aku dengan dua orang yang tadi mendatangimu!” ejek Syimr sementara tangan kirinya mempermainkan jenggot korbannya.

“Siapa kau? Apa yang membuatmu begitu biadab?” tanya Husain dengan suara terputus.

“Syimr adh-Dhibabi,” jawabnya singkat sambil menghunuskan pedangnya.

“Tahukah kau siapa orang yang sedang kau duduki?” tanya Husain.

“Ya, aku tahu kau adalah Husain putra Ali,” jawabnya datar.

“Lalu, mengapa kau masih berniat membunuhku?” Husain yang mulai merasakan sesak di dadanya.

“Hadiah besar dari Yazid. Ha… ha… ha…,” sahutnya.

Drama Menyayat Hati

Drama Karbala memasuki adegan paling menyayat hati. Syimr mulai menyayat setiap anggota badan Husain perlahan-lahan. Husain hanya menjerit parau setiap kali pedih luka dirasakannya.

Tak satu pun anggota badan Husain yang lolos dari sayatan pedang.

Penyiksaan Syimr sungguh di luar ambang batas melebihi binatang sekali pun. Lelaki kejam itu sepuas-puasnya menyiksa korbannya yang sudah tak berdaya. Dengan santainya malah mempermainkan, sementara Husain terus merintih kesakitan akibat sayatan pedang, panah-panah yang menancap tubuhnya.

Medan tempur tersebut telah banjir darah. Mayat-mayat bergeletakan bersimbah darah dan luka. Akhirnya tiba waktunya, Syimr menghabisi Husain. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lantas menebaskan di leher korbannya. Husain meninggal dalam keadaan syuhada’, mempertahankan keimanannya, menentang angkara murka dan kezaliman yang dilakukan oleh Yazid dan para pengikutnya.  

Seketika, raungan wanita-wanita dalam tenda membumbung ke angkasa mengawali adegan pemisahan leher Husain dari tubuhnya. Tubuh penuh luka itu menggelepar-gelepar.

Tak cukup di situ perbuatan kejam musuh. Jasad Husain yang telah gugur kembali dikoyak-koyak. Ada yang melucuti pakaian Husain, ada yang merampas panah dan  busurnya, ada yang mengambil sorbannya serta ada pula yang mengambil paksa sepasang sepatunya.  Pokoknya semua yang melekat dalam tubuh Husain yang bisa dimanfaatkan disikat habis.

“Hai, siapakah yang berani menginjak-injak tubuh Husain dengan kaki kudanya?” teriak seseorang mengumumkan sayembara secara tiba-tiba.

“Kami…,” sahut sepuluh penunggang kuda.

‘Pesta Iblis’ pun dipersembahkan demi menyempurnakan kejahatan Yazid dan anak buahnya. Tubuh pemimpin itu terkoyak-koyak, terlempar dan terbanting di tengah sepuluh kuda. Sementara sang komandan dan pasukannya terus menenggak arak merayakan kemenangan.

Di seberang, takbir bergaung dan jerit tangis wanita bergema tatkala melihat kuda jantan berwarna putih itu datang ke arah kemah tanpa penunggang.

“Oh Husain… Oh Husain…,” Zaenab menangisi kematian Husain. Dan ia tak tega melihat kepala Husain dipermainkan.

Merpati-merpati di emperan masjid Madinah dan halaman Ka’bah serentak terbang.  Langit bergemuruh dan awan gulita bergulung di angkasa. Bunga-bunga tulip berguguran. Para pujangga tergagap. Dunia tersentak. Para malaikat pun terhentak menyaksikan pembantaian sekelompok manusia atas seorang cucu dari Nabi-Nya, putra Fatimah.***

Sumber Foto: Unsplash/Mohammed Husain