JENDELAISLAM.ID – John Naisbit, paham futurolog kelahiran Amerika, mengatakan bahwa pada era global seperti sekarang ini segala sesuatunya serba teknologis, terutama masalah gaya hidup. Budaya yang mengalami perkembangan sangat dahsyat adalah 3 F (food, fashion dan fun –makanan, pakaian dan hiburan).
Pernyataan tersebut memang tak terbantahkan. Semua berkembang dengan luar biasa sehingga bila kita tidak selektif dan mencermati secara bijak, kita akan mudah tergelincir oleh kemilaunya. Tanpa peduli apakah 3 F tersebut sesuai dengan norma agama atau tidak.
Dalam Qur’an Surat (QS) al-A’raf: 157, menyatakan, “Dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik, dan diharamkan yang buruk-buruk.”
Sepenggal ayat di atas bisa menjadi bahan renungan, sudahkah kita mengonsumsi hal-hal yang baik yang bermuara pada ridha-Nya atau malah sebaliknya bersikap masa bodoh dengan menutup mata dan telinga kita.
Ayat ini berkaitan dengan makanan dan minuman. Yang dimaksud baik-baik di sini adalah makanan yang halal dikonsumsi, yang menyehatkan serta baik untuk kesegaran jasmani. Sebaliknya yang buruk adalah makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi serta bisa berdampak kurang baik bagi kesehatan bila mengkonsumsinya.
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan bahwa setiap barang yang suci yang tidak mengandung madharat (bahaya) apapun, dari jenis biji-bijian, buah-buahan, (daging) binatang, itu halal. Dan setiap benda yang najis, seperti bangkai, darah atau barang yang tercemar najis, dan setiap yang mengandung madharat, semisal racun dan sesuatu yang serupa dengannya, hukumnya haram.
Dr. Hembing Wijayakusuma, pakar pengobatan tradisional dan akupuntur. Dia menyatakan bahwa makanan yang halal dan sehat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Makanan yang halal akan membentuk jiwa yang bersih dan sehat. Sebaliknya makanan yang diharamkan mengandung dan akan mengakibatkan kemadlaratan, baik lahir ataupun batin.
Tak percaya. Daging babi misalnya, adalah dilarang oleh Allah SWT untuk dikonsumsi. Banyak ayat serta dalil ditambah lagi penelitian secara ilmiah tentang dampak yang diakibatkan apabila mengonsumsinya. Kemudian khamr, dalam berbagai penelitian banyak dampak buruk yang dialami penderita.
Bukti-bukti ilmiah inilah yang menjadi jawaban kenapa makanan serta minuman yang buruk itu diharamkan.
Dalam konteks inilah, Islam berada di antara suatu paham kebebasan soal makanan dan ekstrimis dalam soal larangan. Tentu ada hikmah di balik semuanya itu, mengonsumsi makanan yang halal lagi baik akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam proses pembersihan jiwa, terkabulnya doa dan diterimanya amal ibadah.
Sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram, akan menghalangi terkabulnya doa dan diterimanya ibadah. Allah SWT berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan makanan yang haram” (QS. al-Maidah: 41-42)
Macam-macam Makanan
Masalah makanan dan minuman memang menjadi perhatian yang serius dalam semua agama. Makanan yang diperbolehkan agama lain, namun bisa jadi menjadi terlarang dalam Islam. Sebaliknya makanan yang dihalalkan dalam Islam bisa menjadi haram bagi agama lain.
Kita lihat misalnya, masa Jahiliyah, darah dan bangkai boleh untuk dikonsumsi, namun makanan-makanan tersebut haram bagi umat Islam.
Ada juga golongan dari Brahmana (Hindu) dan filsuf yang mengharamkan dirinya menyembelih dan memakan binatang. Mereka cukup hidup dengan makanan-makanan dari tumbuh-tumbuhan. Golongan ini berpendapat, bahwa menyembelih binatang termasuk suatu keganasan manusia terhadap binatang hidup. Manusia tidak berhak untuk menghalangi hidupnya binatang.
Tetapi dalam Islam dan agama-agama besar lain mengatakan bahwa diciptanya binatang-binatang itu tidak mempunyai suatu tujuan. Sebab binatang tidak mempunyai akal dan kehendak. Bahkan secara nalurinya binatang-binatang itu dicipta guna memenuhi (khidmat) kebutuhan manusia.
Oleh karena itu tidak aneh kalau manusia dapat memanfaatkan dagingnya dengan cara menyembelih, sebagaimana halnya dia juga dapat memanfaatkan tenaganya dengan cara yang lazim.
Dalam Islam sendiri, sebagaimana dijelaskan Sayyid Sabiq dalam “Fiqh Sunnah”-nya, seluruh jenis makanan padat halal hukumnya, kecuali yang najis (seperti darah, bangkai dan sebagainya), mutanajjis (minyak yang kejatuhan bangkai), yang memabukkan (khamr dan sebagainya), yang masih ada kaitannya dengan hak orang lain (barang curian dan rampasan).
Mengenai masalah makanan dan minuman yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri tidak mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat dari anggur, korma, gandum atau pun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut sudah mencapai kadar memabukkan.
Begitu juga Islam mengharamkan semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan urat serta yang membahayakan tubuh.
Batasan-batasan makanan beserta hukum yang menyertainya sudah cukup jelas. Ini disebutkan pula dalam al-Qur’an dan al-hadits. Terlebih soal makanan yang diharamkan, diterangkan secara lugas, “Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau betul-betul kamu berbakti kepada-Nya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (al-Baqarah: 172-173).
Artinya, selain empat hal yang disebut dalam ayat tersebut adalah boleh untuk dimanfaatkan. Dan yang seperti ini disebutkan juga dalam ayat lain yang agaknya lebih tegas lagi dalam membatas yang diharamkan itu pada empat macam.
Hal ini juga dipertegas dalam QS. al-An’am: 145, “Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Maka barang siapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Namun penyebutan dalam ayat-ayat di atas terbilang masih global. Ayat lain yang menjelaskan lebih rinci adalah QS. al-Maidah: 3, yang bunyinya, “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang dapat kamu sembelih dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala.”
Antara QS. al-Maidah: 3, yang menetapkan 10 macam binatang yang haram, dengan QS. al-Baqarah: 172-173 serta QS. al-An’am: 145, yang menetapkan 4 macam itu, sama sekali tidaklah bertentangan. Menurut Yusuf al-Qardhawy, QS. al-Maidah: 3 hanya merupakan perincian dua ayat sebelumnya. Binatang yang dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk dan karena dimakan binatang buas, semua masuk dalam kategori bangkai.
Jadi semua itu sekedar perincian dari kata bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala semakna dengan yang disembelih bukan karena Allah. Jadi, kedua-duanya mempunyai pengertian yang sama.***
Sumber Foto: Pixabay/TheDesignLady87
