Apa yang Menjadikan Hari Jum’at sebagai Hari Paling Suci dalam Islam?

Muslim Friday mass prayer in Imam Mosque in Isfahan, Iran

JENDELAISLAM.ID – Bagi umat Islam, hari Jumat bukan sekedar hari biasa, melainkan hari paling suci di antara hari-hari lainnya.

Dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa hari Jum’at adalah raja hari, dan hari yang paling agung di sisi Allah. Bahkan lebih agung di sisi Allah daripada hari raya Adha dan hari raya Fitri.

Kenapa?

Dari sisi teologis, ada peristiwa-peristiwa penting terjadi di hari Jum’at, seperti penciptaan Adam AS, turunnya Adam AS ke bumi, wafatnya Adam AS, serta terjadinya kiamat.  

Pada hari Jum’at, umat Islam hendaknya melakukan perbuatan baik agar dapat mencapai kedekatan dengan Allah SWT, sekaligus menutupi berbagai kekurangan yang terjadi selama seminggu.

Allah SWT menjadikan sebuah perbuatan paling mulia yang menjadi perantara diri pada-Nya, yakni berupa perintah shalat Jum’at. Jumat sendiri berarti menghimpun (mengumpulkan).

Alasan-alasan inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa hari Jum’at merupakan momentum yang baik untuk memulai/melakukan sesuatu.

Soal Shalat Jum’at

Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat Jum’at adalah suatu kewajiban setiap Muslim. Dasarnya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (al-Jumu’ah: 9).

Ayat tersebut bersifat umum dan tidak menyebutkan jamaah dengan jumlah tertentu. Segala sesuatu yang bersifat umum tidak boleh ditakhsis (dikhususkan) begitu saja tanpa berdasar al-Qur’an, sunnah atau ijma’ ulama.

Karena itu, kontroversi antara para ulama terjadi. Di antaranya seputar keabsahan shalat Jum’at, haruskah berjamaah meski hanya dua orang atau harus dalam jumlah tertentu? Apakah penduduk yang tinggal di sebuah desa kecil atau orang-orang yang tinggal di kemah dengan berpindah-pindah itu berkewajiban melakukan shalat Jum’at atau tidak?

Ada sebagian ulama mengatakan, setiap penduduk desa yang ada pemimpinnya, mereka harus melakukan shalat Jum’at dan yang menjadi imam adalah pemimpin mereka. Demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, al-Auzai dan Laits bin Sa’ad.

Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishak, menyatakan wajib ada shalat Jum’at dalam sebuah tempat yang di dalamnya terdapat empat puluh penduduk laki-laki yang sudah akil baligh dan berstatus merdeka.

Al-Auzai menanggap syarat empat puluh orang ini. Menurut al-Auzai, tidak perlu sebanyak itu asal ada 3 orang saja dan ada pemimpinnya, mereka wajib shalat Jum’at. Sebab pada dasarnya, shalat Jum’at itu sama seperti shalat-shalat lainnya, hanya saja dalam shalat Jum’at itu ada khutbahnya.

Yang harus Shalat Jum’at

Shalat Jum’at wajib bagi laki-laki yang sudah akil baligh, merdeka, tidak sedang bepergian dan tidak memiliki udzur. Di luar ketentuan tersebut, tidak ada kewajiban menjalankan shalat Jum’at.

Jadi, shalat Jum’at mutlak wajib kepada laki-laki. Sedangkan perempuan tidak wajib shalat Jum’at, namun tetap harus menunaikan shalat Dzuhur. Bagi perempuan yang ikut shalat Jum’at, tidak perlu melakukan shalat Dzuhur.

Orang-orang yang tidak perlu melakukan shalat Jum’at antara lain: anak-anak, perempuan, orang gila juga tidak ada kewajiban shalat Jum’at .

Sebagian besar ulama juga sepakat, juga tidak ada kewajiban melakukan shalat Jum’at bagi kaum budak.

Selanjutnya, bagi orang-orang yang udzur, seperti: sakit atau khawatir sakitnya bertambah parah, termasuk orang yang merawatnya, apabila tugas merawat itu tidak ada yang bisa menggantinya, atau terhalang hujan atau terhalang jalan becek, mereka tidak wajib mendatangi shalat Jum’at.

Dari Thariq bin Syihab bahwa Nabi SAW bersabda, “Shalat Jum’at itu wajib atas setiap Muslim dengan cara berjamaah kecuali empat golongan, yaitu budak, perempuan, anak-anak, dan orang sakit”.

Sedang bagi musafir, menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib mengerjakan shalat Jum’at, sebab Nabi SAW ketika dalam perjalanan tidak mengerjakan shalat Jum’at. Begitu juga pada saat beliau mengerjakan haji wada’ di Arafah yang jatuh pada hari Jum’at, beliau hanya mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ takdim dan tidak melakukan shalat Jum’at.

Waktu Shalat Jum’at

Bersumber dari Sallamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Kami shalat hari Jum’at bersama Rasulullah SAW. Kemudian kami pulang ketika dinding sudah tidak punya bayangan yang bisa digunakan untuk berteduh” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalimat “Ketika dinding sudah tidak punya bayangan yang bisa digunakan berteduh”, inilah oleh mayoritas ulama menjadikan dasar bahwa waktu shalat Jum’at itu sama seperti waktu shalat Dzuhur, yakni begitu matahari condong ke arah barat.

Menurut Imam Ahmad dan Ishak, hadits tadi memberi petunjuk bahwa shalat Jum’at itu boleh dilakukan sebelum matahari condong ke arah barat, dan batas akhir shalat Jum’at ialah batas akhir shalat Dzuhur. Tetapi sebaiknya melakukan shalat Jum’at itu setelah matahari condong ke barat.

Oleh karena itu, mayoritas ulama berpedoman bahwa shalat Jum’at adalah sebagai ganti shalat Dzuhur. Jadi waktu shalat Jum’at adalah juga waktu shalat Dzuhur.  

Amalan pada Hari Jumat

Amalan pada hari Jum’at sangatlah banyak. Banyak sekali hadits yang berisi amalan di hari Jum’at. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. “Barang siapa yang mandi, mendatangi shalat Jum’at kemudian shalat seperti yang telah ditentukan kepadanya, kemudian serius mendengarkan khutbah, kemudian shalat bersamanya, niscaya diampuni dosanya yang terjadi antara Jum’at ini dan Jum’at yang lain ditambah tiga hari” (HR. Muslim).

Artinya, ada beberapa kesunnahan yang bila seorang Muslim melakukan dengan niatan hanya untuk menggapai ridha Ilahi akan menjadikan shalat Jum’atnya lebih sempurna.

Pertama, sunnah mandi Jum’at, berhias, menggosok gigi dan memakai wewangian. Islam mensyariatkan umat agar senantiasa bersih dan suci, hati yang bersih, perbuatan yang ikhlas, dan niat yang tulus.  

Kedua, memperbanyak ingat Allah SWT, beristighfar pada-Nya, memperbanyak membaca al-Qur’an, sering bershalawat pada Nabi dan keluarganya, serta bersedekah.

Ketiga, datang ke masjid lebih awal. Sehingga, seseorang bisa melakukan shalat sunnah dan berdzikir kepada Allah sebelum khutbah. Selama imam belum datang untuk memberikan khutbah, lakukanlah shalat sunnah, shalat sunnah tahiyyatul masjid misalnya.

Keempat, menyimak khutbah sang khatib. Tidak berbicara ketika imam sedang menyampaikan khutbah karena bisa membatalkan pahala shalat Jum’at

Khutbah Jumat

Khutbah Jum’at adalah wajib menurut jumhur. Mereka mendasarkan dari hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa setiap kali Nabi mengerjakan shalat Jum’at, maka ada khutbah di dalamnya. Bagi Syafi’i, hukum dua khutbah itu wajib.

Saat khutbah, Rasulullah SAW biasa memperpendek khutbah, memperpanjang shalat, memperbanyak zikir, dan menggunakan kalimat-kalimat singkat tetapi padat. Khutbah Rasulullah menitikberatkan pada pokok-pokok keimanan, saat berhadapan dengan Allah di hari kiamat, serta uraian mengenai surga dan neraka.***  

Sumber Foto: iStock