JENDELAISLAM.ID – Dulu, ada seorang pangeran kaya raya. Ia hidup di istana yang sangat megah. Meski bergelimang harta, sang pangeran bukanlah tipe orang yang suka menghamburkan kekayaan, tidak pamer kekuasaan, dan juga tidak sombong.
Suatu hari, sang pangeran gelisah. Pikirannya kalut. Ia duduk termenung di istana. Ia seakan merasakan suasana istana terasa panas dan membuat penat pikirannya.
Mendadak, ia berkeinginan pergi ke hutan. Ia hendak mencari susana baru, suasana yang lebih segar dan menyenangkan, sambil berburu binatang. Barangkali sesampai di sana, pikirannya bisa jauh lebih tenang dan menemukan semangat hidup yang baru dan menggairahkan.
Sang pangeran mempersiapkan segala peralatan dan perbekalan selama berburu. Ia meminta beberapa pengawal untuk menemaninya selama pergi ke hutan. Sang pangeran menyamar sebagai orang biasa segera memacu kudanya meninggalkan kerajaan menuju hutan.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka pun sampai. Sang pangeran sudah tidak tahan untuk segera menjelajahi hutan dan berburu. Prediksi mereka ternyata benar bahwa banyak hewan buruan di dalam hutan. Mereka tidak begitu kesulitan untuk mendapatkan hewan-hewan buruan.
Burung Gagak yang Baik Hati
Karena kelelahan, mereka beristirahat. Mereka membuka perbekalan. Namun saat mereka sedang menyantap makanan, tetiba seekor burung gagak menukik dan menyambar lauk milik sang pangeran.
“Dasar gagak! Berani-beraninya menyambar daging laukku,” katanya dongkol sekaligus kaget.
Tanpa menunggu lama, mereka pun mengejar burung gagak tersebut beramai-ramai. Saat burung gagak itu hinggap di sebuah ranting pohon, sang pangeran segera melepaskan anak panah ke arahnya. Namun sasarannya meleset.
Burung gagak itu kembali terbang tinggi hingga di balik bukit. Mereka terus mengejarnya.
“Itu di sana!” kata salah seorang pengawal memberitahu yang lain.
“Tunggu… tunggu!” sahut sang pangeran, “Kalian semua tunggu di sini. Biar aku sendiri yang mendekatinya agar tidak terbang.”
Kali ini, sang pangeran mendekati burung gagak itu dengan sangat hati-hati seraya membidikkan anak panahnya. Tapi belum sempat melepaskan anak panah dari busurnya, mendadak konsentrasinya terganggu oleh suara rintihan orang.
Seketika, ia mengurungkan niatnya. Sebaliknya, ia mencari sumber suara tersebut.
“Ternyata benar dugaanku, suara tadi adalah suara rintihan orang yang sedang kesakitan,” gumamnya sembari melihat sesosok tubuh orang yang kedua buah tangan dan kakinya terikat. Sementara badannya diikatkan pada sebatang pohon hingga tidak bisa bergerak sama sekali.
Sang pangeran segera memanggil para pengawalnya. Ia perintahkan pengawalnya untuk membebaskan ikatan orang tersebut.
Serentak, para pengawal menghampiri dan melepaskan tali-tali ikatannya. Wajah orang itu pucat pasi dan sangat lemah karena kurang makan dan minum.
Begitu ikatan terlepas, sang pangeran langsung memberinya makan dan minum secukupnya.
“Siapakah sebenarnya engkau, dan mengapa engkau bisa seperti ini?” sapa sang pangeran.
“Sebenarnya saya ini seorang saudagar,” jawab orang tersebut.
“Lantas kenapa engkau seperti ini?” tanya sang pangeran penuh selidik.
“Saat saya melintasi hutan ini, saya dikeroyok oleh kawanan perampok. Mereka merampas seluruh harta dagangan. Mereka mengikat tangan dan kaki saya dengan tali, lalu mengikatnya pada pohon ini agar saya tidak bisa pergi mengejar dan melacak jejak mereka.”
“Berapa hari engkau dalam keadaan seperti ini?” tanya sang pangeran.
“Sudah tujuh hari.”
“Ha… lalu bagaimana engkau makan?”
“Setiap hari, burung gagak itu memberi makan saya. Dia juga yang menyuapi saya sedikit demi sedikit hingga saya bisa bertahan hidup dan bertemu kalian seperti sekarang ini. Saya sangat bersyukur kepada Allah lantaran Dia-lah yang membimbing kalian hingga ke tempat ini.”
Akhirnya sang pangeran juga menceritakan bahwa mereka semua sampai di tempat itu bukanlah kebetulan. Tapi mereka pada awalnya ingin menangkap burung gagak yang telah membawa terbang daging lauk makanannya.
“Jadi, burung gagak yang membawa kabur laukku adalah burung gagak yang selama tujuh hari ini selalu mengirimkan makanan untukmu,” kata sang pangeran kagum.
“Subhanallah… subhanallah…”
Pelajaran Berharga dari Burung Gagak
Setelah peristiwa ini, sang pangeran akhirnya sadar bahwa ternyata kasih sayang Allah kepada hamba-Nya sangat luas.
Kejadian itu membuat gaya hidup sang pangeran berubah total, dari seorang yang selalu hidup bergelimang harta menjadi seorang yang hidup ala kadarnya. Semua budak yang dimilkinya segera dimerdekakan. Begitu juga dengan harta bendanya, semuanya disedekahkan kepada para fakir miskin.
Ia merasa bahwa pangkat dan kekayaan miliknya tidak bisa membahagiakannya. Ia memilih hidup apa adanya seraya memperbanyak ibadah serta memilih jalan sufi.
Bahkan tatkala ia pergi ke Makkah, ia pun berangkat tanpa membawa bekal atau pun kendaraan. Terbukti, ia tidak mengalami kelaparan sedikit pun hingga bisa pulang kembali.
Ternyata benar janji Allah yang menyebutkan bahwa Dia akan menjamin rezeki setiap makhluk hidup (hamba-hamba-Nya). “Dan tidak ada suatu pun makhluk hidup Allah yang bernyawa di bumi ini melainkan Allah-lah yang akan memberi rizki-Nya” (QS. Hud: 6).
Siapakah lelaki tersebut? Dialah sufi bernama Ibrahim bin Adham. Rupanya seekor burung pun bisa memberikan contoh yang baik bagi manusia. Dengan nalurinya, seekor burung gagak punya kepedulian terhadap makhluk lain. Dengan caranya, ia berusaha mencari makan dan memberikan kepada orang yang sudah lemah tak berdaya.
Kisah di atas memberikan pelajaran berharga bagi kita.
Pertama, hidup di dunia ini untuk menebarkan kasih sayang, bukan untuk memupuk ego. Bila ada teman atau makhluk lain, terutama yang sangat lemah kondisinya dan sangat membutuhkan, ada panggilan jiwa untuk menolongnya.
Ini selaras dengan firman Allah SWT, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah SWT berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah: 2).
Kedua, hidup adalah untuk berbagi. Materi yang kita punya sebenarnya hanyalah titipan dari Allah SWT semata. Materi bisa mendatangkan kemaslahatan asalkan kita manfaatkan untuk hal-hal yang Allah SWT ridhai, bisa juga materi mendatangkan kemadharatan bila kita menghamburkan untuk hal-hal yang membuat murka-Nya.
Allah SWT berfirman, “Dan belanjakanlah (infakkanlah) harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Baqarah: 195).
Ketiga, rasa syukur harus selalu tertanam dalam diri, dalam kondisi berkecukupan atau kekurangan, sedih atau bahagia, sehat atau sakit. Tak perlu gerundel, atau iri pada orang lain atau memprotes kenapa Allah SWT menakdirkan manusia dalam kondisi yang berbeda.
Sebab, sesungguhnya gelimang materi bukanlah ukuran kebahagiaan seseorang, melainkan kebahagaiaan itu terpancar dari hati; bagaimana hati memposisikan sebagaimana mestinya dalam menyikapi hidup. Sesulit apa pun hidup yang dihadapi, rasa syukur dan berserah diri pada Allah SWT adalah hal utama.***
(Sumber cerita: Imam Musbikin, Abu Nawas & Telur Unta, cet. IV, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004)
Sumber Foto: Pexels/Zain Ali
