JENDELAISLAM.ID – Di zaman sekarang ini, banyak orang yang menggilai jabatan dan kekuasaan. Banyak orang yang mengagungkan status sosial yang tinggi, sehingga apapun caranya ditempuh. Dengan suap, iming-iming gravitasi, atau kemudahan fasilitas demi mencapai keinginannya.
Kenapa demikian? Sebab jabatan dan kekuasaan merupakan simbol kehormatan seseorang di hadapan masyarakat.
Semakin tinggi jabatan yang digenggamnya, maka semakin tinggi pula status sosialnya di tengah masyarakat. Padahal sejatinya, kekuasaan kerapkali melenakan seseorang. Bisa membuat seseorang buta hatinya, bisa menulikan telinganya dari permasalahan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Amat sedikit orang yang takut saat menerima sebuah jabatan. Amat sedikit orang yang berani menolak saat disodorkan di depannya kekuasaan yang menjanjikan. Sebab khawatir tidak bisa menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab.Jjuga tidak bisa memenuhi harapan-harapan masyarakat yang diembankan kepadanya.
Dalam sejarah, ada seseorang yang sama sekali tidak silau terhadap kekuasaan yang diberikan padanya, yaitu Ibnu Umar. Meskipun ia sangat bersemangat saat mendengar panggilan jihad, tetapi sesungguhnya, ia sangat anti-kekerasan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Berulang kali ia mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, namun tawaran itu ditolaknya.
Berikut adalah kisahnya yang bersumber dari buku 101 Sahabat Nabi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2002.
Penolakan Ibnu Umar menjadi Khalifah
Hasan RA meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada Anda.”
“Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan karena aku,” sahut Ibnu Umar.
Masa di luar mengancam, “Anda harus keluar atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu.”
Diancam begitu, Ibnu Umar tak bergerak. Massa pun bubar.
Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah, Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan. Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah.
Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, saling mengangkat senjata juga. Ada juga yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.
“Seandainya Anda mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang.”
“Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak.”
Lagi-lagi, Ibnu Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Begitu pun saat sudah berusia lanjut, harapan orang dipimpin Ibnu Umar tetap ada. Ketika Muawiyah bin Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar.
“Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya.”
“Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?”
“Kita gempur mereka sampai mau bertobat.”
“Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku.”
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu dan melontarkan syair.
“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa,” Abu Laila yang dimaksudkannya adalah Muawiyah bin Yazid.
Sikap penolakan Ibnu Umar ini, karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah.
Ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih jika umat Islam terpecah dalam beberapa golongan. Ia tak suka berpihak pada salah satunya.
Ibnu Umar mengatakan, “Kita memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang, apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan, “Lai ilaha illallah.”
Tanggung-jawab Dunia Akhirat
Amanah adalah tanggung jawab yang besar. Pertanggung-jawabannya bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Sekiranya di antara kita mendapatkan kekuasaan, sesungguhnya itu adalah ujian yang sangat berat. Konsekwensinya juga berat.
Manakala seseorang menganggap kekuasaan adalah tujuan untuk mendapat keuntungan pribadi dengan cara menumpuk-numpuk kekayaan, maka sesungguhnya ia telah terjerembab kehidupannya, karena terjebak dalam kesenangan semu.
Sebaliknya, apabila amanah dilakukan secara bertanggung-jawab dan ikhtiar yang maksimal, kekuasaan itu akan mengantarkan dirinya ke dalam kebahagiaan.
Ini yang disadari Ibnu Umar, karena itu ia tidak mau dekat-dekat dengan kekuasaan, meskipun pada akhirnya ia mendapat kritikan dari masyarakat karena sikapnya itu.***
Sumber Foto: Pixabay/OpenClipart_Vectors
