JENDELAISLAM.ID – Suatu hari, Sultan Harun ar-Rasyid sakit. Seluruh anggota badannya tak berdaya. Sehingga untuk berjalan saja sangat berat.
Tabib istana sudah dipanggil, tapi belum membuahkan hasil. Karena itu, sultan pun memerintahkan pengawalnya untuk memanggil para tabib yang ada di Kota Baghdad. Namun hasilya setali tiga uang.
Akhirnya, sultan berinisiatif mengadakan sayembara; Barang siapa yang bisa mengobatinya, maka orang itu akan mendapatkan hadiah uang emas yang banyak. Para pengawal segera mengabarkan sayembara itu ke seluruh penjuru kota.
Karena hadiah yang ditawarkan menarik, banyak orang yang berpartisipasi. Salah satu di antara pengikut sayembara itu adalah Abu Nawas. Pemuda cerdik ini bukanlah tabib, tapi ia nekat mengikuti. Tak heran bila ada yang sempat menegurnya, “Hai Abu Nawas, apa bisa kamu mengobati sakit sang sultan, padahal kamu bukan seorang tabib?”
“Benar,” jawab Abu Nawas.
“Apa kamu punya resep mujarab. Sebab sudah banyak tabib mencobanya, tapi semuanya gagal,” ucap orang itu.
“Tidak apa-apa. Bukan berarti penyakit yang diderita sang sultan itu hanya bisa disembuhkan oleh tabib. Kita harus berusaha dan mencobanya. Siapa tahu orang yang bukan tabib sepertiku ini malah bisa mengobati sakit sang sultan dan berhasil memenangkan sayembara,” imbuh Abu Nawas.
Abu Nawas Ikut Sayembara
Berangkatlah Abu Nawas ke istana. Sesampai di istana, sang sultan menegurnya, “Hai Abu Nawas, rupanya engkau ikut pula dalam sayembara ini. Apa kamu bisa mengobati penyakitku ini?”
“Akan saya coba baginda. Hamba akan coba menggunakan cara-cara yang belum pernah dilakukan oleh para tabib.”
“Cara apa itu, Abu Nawas, coba terangkan!”
“Tunggu sebentar baginda, sebab saya harus memeriksa Baginda terlebih dahulu. Coba Baginda terangkan, apa keluhkan Baginda!”
“Tubuhku terasa nyeri, tangan dan kaki pegal-pegal”
Lelaki dengan hidung mancung dan sedikit bengkok ke bawah itu kemudian memeriksanya yang terbaring di atas ranjang. “Bagaimana Abu Nawas, apakah kamu bisa menyembuhkan penyakit saya ini?”
“Hamba akan coba, Baginda. Tapi berilah hamba waktu dua hari untuk meramu resep untuk baginda.”
Sepanjang jalan, ia bingung dan memikirkan terus, kira-kira obat apa yang bisa menyembuhkan sakit sang sultan. Sampai ia letih sendiri dan akhirnya berhenti di bawah pohon.
Di situ, ia menyandarkan badannya di pohon sembari terus berpikir. Tak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat seorang laki-laki tua memetik buah kurma di kebun sendirian. Penasaran, Abu Nawas menghampiri.
“Mengapa Tuan memetik buah kurma yang banyak ini sendirian? Dimana anak-anak, Tuan?” tanya Abu Nawas.
“Mereka berjualan di pasar,” jawab lelaki tua itu.
“Mengapa tidak menunggu mereka saja dari pasar?”
“Tidak apa-apa. Aku masih sanggup memetik buah-buah ini sendiri.”
“Tapi, bukankah Tuan sudah cukup tua untuk melakukan pekerjaan ini sendirian?”
“Tidak, tidak, Nak!” tukas lelaki tua itu. “Malahan bila aku menganggur dan berdiam diri saja di rumah, badanku terasa nyeri, pegal-pegal, dan sakit semua. Jadi, bila aku melakukan pekerjaan ini, secara tidak langsung aku telah menggerakkan badanku sehingga badanku tetap sehat.”
Abu Nawas mulai mengerti. Pikirannya melesat, “Jangan-jangan sakit yang dirasa Baginda, itu semua karena beliau tidak pernah berolahraga. Ya, Baginda selama ini memang jarang menggerakkan badannya karena saat ia menginginkan sesuatu tinggal menyuruh saja. Akibat kurang gerak ini, peredaran darahnya tidak lancar dan akhirnya sakit.”
Terjawab sudah teka-teki penyebab sakitnya sang sultan. Sekarang, Abu Nawas tinggal mencari akal bagaimana caranya sultan mau menggerakkan badan biar sehat.
Seharian di rumah, wajah Abu Nawas nampak murung. Makanan yang dihidangkan isterinya tak disentuh. Ia mengurung diri di dalam kamar. Tetapi ketika tengah malam lewat, barulah wajahnya agak sumringah. Sebab nampaknya ia sudah menemukan cara.
Mencari Telur Unta
Esok harinya, Abu Nawas berangkat ke istana.
“Mana obat itu, Abu Nawas? Aku akan segera meminumnya supaya lekas sembuh,” tagih sultan pada Abu Nawas.
“Maaf baginda, kali ini hamba datang belum membawa obat yang dapat baginda minum.”
“Kenapa demikian?”
“Sebab obat yang dapat menyembuhkan baginda itu adalah telur unta. Baginda harus minum telur unta itu dua kali sehari.”
“Baiklah! Akan segera kuperintahkan para pengawal untuk mendapatkan telur unta secepatnya.”
“Baginda tidak boleh menyuruh orang lain untuk mencari telur unta tersebut. Tetapi bagindalah yang harus mencarinya sendiri. Sebab jika orang lain yang mencarinya, maka telur unta itu tidak akan mujarab lagi.”
“Baik, akan kucari sendiri.”
Dengan sekuat tenaga, Baginda terpaksa bangkit dan berangkat mencari telur unta. Dia menuju pasar menemui pedagang telur.
Saat pedagang itu ditanya, apakah ia menjual telur unta, pedagang itu terkejut bukan main. “Mana ada telur unta. Bukankah unta itu tidak bertelur, tapi beranak?” gumam pedagang itu.
Tapi karena yang bertanya seorang raja, pedagang itu diam saja dan menjawab halus, “Maaf Baginda, kami tidak memiliki telur unta. Tapi kami memiliki telur-telur ayam dan unggas.”
Sultan Harun ar-Rasyid melanjutkan pencariannya ke tempat lain. Seluruh pelosok negeri beliau jelajahi. Anehnya, semua orang yang ditanya hanya terbengong. Mereka menjawab tidak memiliki telur unta.
Disadarkan Seorang Nenek
Sepanjang hari sultan berjalan dan berkeliling, tapi tidak ada hasilnya. Pencariannya dihentikan untuk sementara, baru besok akan ia lanjutkan.
Di tengah perjalanan pulang, ia berpapasan dengan seorang nenek yang sedang menggendong sebongkok kayu bakar.
Ia berhenti sejenak, dan bertanya, “Maaf, Nek! Bisakah nenek menunjukkan kira-kira siapakah orang yang memiliki telur unta dan dimanakah ia berada?”
“Apa? Telur unta? Bukankah unta tidak bertelur melainkan beranak?” jawab nenek heran.
Seketika Baginda menyadari bahwa memang tidak ada unta yang bisa bertelur. Sebab binatang yang bertelur itu tidak mempunyai daun telinga. Padahal unta itu dimana-mana mempunyai daun telinga sebagai tanda bahwa unta itu berkembang biak dengan cara melahirkan. Saat itu, ia sadar bahwa ia dipermainkan oleh Abu Nawas.
Merasa si nenek itu telah memberikan keterangan yang menyadarkan dirinya, baginda memohon agar kayu bakar yang dibawa si nenek berkenan dibawanya.
Tanpa basa-basi, Baginda langsung membongkok kayu bakar tersebut dan berjalan di belakang nenek sampai rumahnya. Setelah itu beliau kembali ke istana.
Hati baginda gusar. Namun karena merasa letih dan malam segera tiba, beliau langsung tidur. Lelap sekali.
Paginya, beliau nampak segar bugar, sakit dan pegal-pegal yang dideritanya pun telah hilang. Lalu beliau perintahkan pengawal untuk menghadirkan Abu Nawas.
“Rupanya engkau telah mempermainkanku?” kata Baginda.
“Saya tak mengerti, Baginda?” tukas Abu Nawas tanpa merasa bersalah.
“Kau menyuruhku untuk mencari telur unta, bukankah selama ini unta tidak ada yang bertelur melainkan beranak?”
Abu Nawas kemudian menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang lelaki tua pemetik kurma di kebun hingga memperoleh pelajaran bahwa anggota badan yang tidak pernah digerakkan, akan membuat orang sakit. Pengalaman itulah yang coba ia tularkan, supaya baginda mau menggerakkan anggota badannya, maka caranya dengan mencari telur unta sendirian tanpa perwakilan.
“Tentu saja baginda tidak akan bisa menemukan telur unta itu. Sebab tidak akan mungkin ada binatang unta yang bertelur. Tapi bukankah sekarang Baginda sudah merasa lebih enak?” tanya Abu Nawas.
“Benar, Abu Nawas,” jawab baginda yang sudah mereda amarahnya arah karena mendengar penjelasan Abu Nawas.
“Badanku sekarang lebih segar bahkan semalam aku tidur pulas sekali dan pagi tadi aku makan terasa lezat sekali.”
“Betul kata pepatah, Baginda, ‘wamalladzdzatu illa ba’dat ta’bi”, yaitu tidak ada kelezatan kecuali setelah kepayahan,” sahut Abu Nawas.
Sultan hanya tertawa dan geleng-geleng kepala karena kagum atas kecerdikan Abu Nawas. Sesuai dengan janjinya, beliau pun menyerahkan hadiah uang emas yang banyak pada Abu Nawas karena telah berhasil menyembuhkan sakitnya.***
(Diadaptasi dari Buku Abu Nawas & Telur Unta yang ditulis oleh Imam Musbikin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta)
Sumber Foto: Shutterstock
