JENDELAISLAM.ID – Aisyah binti Ahmad ath-Thawwil al-Marwaziyah, seorang perempuan sufi yang hidup pada abad ke-4 Hijriyah, adalah sosok yang dikenal tidak hanya karena kedalaman spiritualnya, tetapi juga kedermawanannya yang luar biasa.
Istri dari Abdul Wahid as-Sayyari ini dianggap sebagai salah satu perempuan dengan kedudukan spiritual yang sulit ditandingi pada zamannya.
Imam Abu Abdurrahman as-Sulami dan Imam Abu Na’im al-Asfahani, dua ulama besar, mencatat nama Aisyah dalam karya mereka.
Mereka mengungkapkan bahwa tidak ada di masanya yang memiliki kehalusan dalam menjalani tasawuf seperti dirinya. Salah satu keutamaannya adalah sikap dermawannya.
Aisyah al-Marwaziyah menghabiskan lebih dari lima ribu dirham untuk membantu orang-orang miskin, khususnya para sufi yang tengah melakukan perjalanan. Meski kaya, ia hidup sederhana dan tidak terikat pada harta benda.
Selain kedermawanannya, Aisyah juga dikenal dengan pandangannya yang bijaksana tentang kemiskinan dalam tradisi tasawuf.
Menurutnya, kemiskinan bukan hanya kondisi materi, tetapi lebih pada keadaan spiritual yang membantu seseorang mendekatkan diri kepada Allah.
“Siapa pun yang tidak merasakan nikmatnya kefakiran, maka keutamaan-keutamaan kefakiran tidak akan terungkap baginya,” demikian katanya.
Aisyah juga menghadapi diskriminasi karena gendernya. Dalam suatu peristiwa, bantuan yang ingin ia berikan ditolak oleh seseorang hanya karena ia seorang perempuan.
Menanggapi hal tersebut, Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa kehormatan seseorang tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh niat dan amalnya.
Bagi Aisyah, orang yang masih menilai sesuatu dari gender dalam ibadah adalah orang yang belum memahami esensi pengabdian kepada Allah.
Warisan spiritual Aisyah al-Marwaziyah tetap hidup hingga kini, menginspirasi banyak orang untuk menjalani hidup dengan kedermawanan, kesederhanaan, dan ketulusan hati.***
Sumber: NU Online/Alonesia
