JENDELAISLAM.ID -Dalam al-Qur’an Surat (QS) al-Baqarah: 34 menyatakan, “Dan (renungkanlah) ketika Kami memerintahkan kepada para malaikat, sujudlah kepada Adam, maka mereka pun segera sujud. Tetapi iblis enggan dan angkuh. Dan Dia termasuk kelompok yang kafir.”
Ayat ini bercerita tentang kisah penciptaan Adam. Ayat ini juga memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat dari kisah Adam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada para malaikat dan iblis agar bersujud kepada Nabi Adam sebagai penghormatan karena Nabi Adam telah dianugerahi ilmu dan dapat mengelola bumi (khalifah fil ardh).
Menurut pakar tafsir, M. Quraish Shihab, para malaikat memenuhi perintah Allah karena menyadari bahwa perintah tersebut tidak boleh ditangguhkan. Hal tersebut merupakan bentuk ketaatan dan penyerahan diri kepada-Nya. Para malaikat tanpa pikir panjang memenuhi perintah Allah.
Sebaliknya, iblis justru enggan dan menolak untuk bersujud. Hal ini, kata Quraish Shihab, bukan lantaran mereka tidak ingin bersujud kepada selain Allah, tetapi karena dia angkuh, yakni mengabaikan hak Nabi Adam. Para iblis memandang rendah Nabi Adam sambil mengganggap diri mereka lebih tinggi.
Sujud yang Allah perintahkan dalam konteks ini adalah sujud sebagai bentuk penghormatan, dan bukan sujud ibadah.
Menurut Ibnu Katsir, sujud yang dimaksud di sini adalah bentuk penghormatan, pengagungan, penghargaan, dan pemberian salam.
Lebih Dekat dengan Kata “Iblis”
Banyak pakar bahasa berpendapat bahwa kata “iblis” terambil dari kata Arab “ablasa” yang berarti “putus asa” atau kata “balasa” yang berarti “tiada kebaikannya”. Konon, makhluk yang kemudian bernama iblis pada mulanya bernama “azazil” dalam arti ketua para malaikat. Hal ini karena ia sangat taat beribadah dan karena itu ketika Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam, peritah ini juga diarahkan kepadanya. Tetapi, karena ia enggan, maka ia mendapat murka dari Allah.
Dari manakah asal-usulnya iblis? Apakah ia dari jenis malaikat yang menurut informasi tercipta dari cahaya, atau dari jenis jin yang menurut al-Qur’an tercipta dari api? Dalam hal ini, al-Qur’an menjawab, “Iblis dari jenis jin” (QS. al-Kahfi: 50).
Ketika diperintahkan Allah untuk bersujud, malaikat menunjukkan rasa hormat dengan bersujud kepada Nabi Adam AS. Sementara iblis tidak.
Dalam menerjemahkan kata “illa iblis aba”, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menerjemahkan kata “illa” dengan kecuali, dan ada pula yang menerjemahkan dengan kata “tetapi.”
Ulama yang menerjemahkan kata “illa” dengan “kecuali” beranggapan bahwa iblis termasuk kelompok malaikat. Dan kaidah bahasa Arab, kata “illa” merupakan “istitsna muttashil,” dalam arti yang dikecualikan adalah sebagian dari kelompok atau jenis yang sama dengan sebelumnya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa “illa” dikaegorikan “istitsna munqathi’,” yang berarti bahwa yang dikecualikan tidak termasuk bagian atau jenis yang disebut sebelumnya. Karena itu, kata “illa” tidak diterjmeahkan dengan “kecuali”, tapi dengan arti “tetapi.”
Karena itu, kalimat dalam ayat tersebut, menurut pandangan ulama ini, iblis tidak termasuk jenis malaikat.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir yang mengutip sanad dari al-Hasan. Dia pernah berkata, “Iblis sama sekali bukan dari golongan malaikat. Iblis adalah asli bangsa jin, sebagaimana halnya Adam berasal dari bangsa manusia.”
Tafsir Kata “Kafir”
Sejumlah ahli tafsir berpendapat bahwa iblis menolak sujud kepada Adam bukan lantaran karena sujud kepada Adam adalah syirik. Keengganan iblis untuk tidak sujud kepada Adam karena keangkuhannya, yang menyebabkan ia menduga dirinya lebih baik dari Adam (lihat QS. al-Isra: 61).
Iblis berpikir bahwa tidak wajar apabila makhluk yang lebih baik dari unsur api harus bersujud kepada makhluk yang terbuat dari unsur tanah. Tanah lebih rendah dari api.
Dalam QS. al-Baqarah: 34, “istakbara” (angkuh) itu berasal dari akar kata “kabara.” Dalam struktur bahasa Arab, akar kata yang mendapat imbuhan huruf “sin” dan “ta” menggambarkan betapa mantap dan kukuh keangkuhan itu. Jadi, “istakbara” dapat diartikan dengan keangkuhan yang luar biasa.
Ini mengisyaratkan bahwa keangkuhan merupakan upaya seseorang untuk melebihkan dirinya dari pihak lain. Dari sini, keangkuhan tidak sama dengan kebanggaan atau membanggakan diri karena yang membanggakan diri belum tentu menganggap dirinya lebih dari pihak lain. Tapi, keangkuhan tidak terjadi kecuali jika pelakunya melihat dirinya memiliki kelebihan.
Al-Baqarah: 34 menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berpengetahuan. Adam, secara eksplisit, memiliki keunggulan dengan makhluk lainnya, baik malaikat maupun iblis.
Keunggulannya itu terletak pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena itu, ayat ini secara implisit mengandung pesan bahwa kita harus menghormati orang yang lebih berilmu.
Ayat tersebut juga merupakan kelanjutan dan ayat-ayat sebelumnya yang menceritakan bahwa Adam diberi fasilitas oleh Allah untuk tinggal di surga. Kenyamanan dan kemewahan didapat oleh Adam. Itu juga mengandung arti bahwa orang berilmu dan berpengetahuan akan memperolah fasilitas lebih dari Allah ketimbang orang yang tidak berilmu. Seorang ilmuwan dijanjikan Allah akan memperoleh fasilitas yang bagus di dunia maupun di akhirat.
Sementara kalimat “wakana mina kafirin” (Dan dia termasuk kelompok orang yang kafir), ayat ini menjadi pembahasan cukup panjang di kalangan ulama tafsir. Ada yang memahami bahwa iblis memang telah kafir sejak ia belum diciptakan. Ada juga yang mengandung arti bahwa kata “kana” (telah termasuk) dalam arti “menjadi”. Ayat tersebut dimaknai keengganan iblis untuk sujud sehingga “menjadikannya” masuk dalam kelompok orang-orang kafir.***
Sumber Foto: Pixabay/Joko_Narimo
